Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Minggu, 16 Mei 2021

TRADISI TAHUNAN PASAR RAMADHAN 
DI KAMPOENG RAMADHAN JOGOKARIYAN (KRJ)




Tradisi Tahunan Ramadhan di kampung Ramadhan Jogokariyan

Siti Harnisa Taonu/20310410016

Mata Kuliah : Psikologi Sosial I

Fakultas Psikologi Universsitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Dosen Pengampu : Dr. Arundhati Shinta M.A




Sudah memasuki tahun kedua kita memasuki bulan ramadhan perdampingan dengan adanya Pandemi Covid-19. Adanya Covid-19 membuat beberapa kegiatan Ramadhan berhenti, seperti tahun lalu saat ditiadakan event tahunan pasar sore Ramadhan salah satunya di Kampoeng Ramadhan Jogokariyan.
Ramadhan tahun lalu memang sepi karena banyak kegiatan yang dibatasi oleh pemerintah. Bulan ramadhan rasanya tak lengkap jika tanpa adanya pasar sore ramadhan karena event tersebut sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Yogyakarta. Namun, pada tahun ini karen keadaan berangsung membaik Kampoeng Ramadhan Jogokariyan kembali digelar untuk mengobati rindu masyarakat. Pemerintah daerah mengizinkan adanya pasar sore Ramadhan Kampoeng Ramadhan Jogokariyan ( KRJ) dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, seperti wajib memakai masker, menyediakan handsanitizer/tempat cuci tangan di beberapa titik dan jaga jarak.

Kampoeng Ramadhan Jogokariyan atau yang biasa disebut KRJ pada tahun ini kembali di gelar. Hal ini menjadi daya tarik bagi masyarakat yang sudah lama menanti adanya Kampoeng Ramadhan Jogokariyan. Tidak Hanya masyarakat/ pembeli saja yang ingin segera menikmati berbagai makanan dan minuman yang antusias karena dengan adanya pasar sore Ramadhan KRJ, namun masyarakat sekitar atau pemjual tidak kalah antusiasnya, karena dengan adanya pasar sore ramadhan KRJ dapat neningkatkan perekonomian masyarakat sekitar mulai dari penjual hingga tukang parkir. 

Ramadhan Jogokariyan yang beralokasi di Jalan Matrijeron, Kota Yogyakarta. Lokasi yang tidak jauh dari pusat Jogja juga menjadi salah satu alasan banyaknya masyarakat yang datang ke Kampoeng Ramadhan Yogyakarta. Sebelum memasuki Kampoeng Ramadhan Jogokariyan (KRJ) kita harus memarkirkan kendaraan terlebih dahulu. Parkir di wilayah Kampoeng Ramadhan Jogokariyan dikelola oleh masyarakat sekitar dan untuk biaya parkiran hanya Rp.2000.

Referensi : 

https://regional.kompas.com/read/2021/04/13/182323878/pasar-sore-kampung-ramadhan-jogokariyan-kembali-digelar-pedagang-diwajibkan

https://www-kompasiana-com.cdn.ampproject.org/v/s/www.kompasiana.com/amp/aidita07532/607f9576d541df6c016e8462/tradisi-tahunan-pasar-ramadhan-di-kampoeng-ramadhan-jogokariyan?amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQHKAFQArABIA%3D%3D#aoh=16211368786598&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s&ampshare=https%3A%2F%2Fwww.kompasiana.com%2Faidita07532%2F607f9576d541df6c016e8462%2Ftradisi-tahunan-pasar-ramadhan-di-kampoeng-ramadhan-jogokariyan


Tulisan ini adalah narasi untuk lomba memotret bertemakan "Street Photography" yang diselenggarakan oleh Kelas Pagi Jakarta bersama @andrydilindra dan @photowalkramean berkolaborasi dengan @xiaomi.indonesia. Periode lomba berlangsung pada tanggal 1 April - 1 Mei 2021.









Senin, 10 Mei 2021

INTERAKSI SOSIAL DI PASAR RAMADHAN PADA MASA PANDEMI COVID-19

 

INTERAKSI SOSIAL DI PASAR RAMADHAN PADA MASA PANDEMI COVID-19

Dwi Ratri Octavianita (20310410002)

Mata Kuliah: Psikologi Sosial I

Fakultas Psikologi Universitas 45 Yogyakarta

Dosen Pengampu: Dr. Arundhati Shinta, M.A 

            Dalam melakukan barter, dipilihlah sebuah tempat yang disepakati bersama dan berangsur-angsur tempat tersebut berubah menjadi pasar. Kegiatan yang dilakukan di pasar pun tidak hanya sekedar barter namun sudah berupa kegiatan jual beli dengan menggunakan alat pembayaran berupa uang (Damsar, 2002). Fenomena Pasar Ramadhan sepertinya bukan lagi hal yang asing bagi kita. Hal ini menjadi salah satu keunikan yang selalu menghiasi bulan Ramadhan di Indonesia. Pasar Ramadhan banyak ditemui di mana saja, tempatnya pun tidak harus di pasar pada umumnya. Bisa di pinggir jalan, sepanjang trotoar, atau di sebuah tanah lapang yang memungkinkan untuk menggelar dagangan di situ. Jika di perkampungan, para pedagang banyak bermunculan di setiap sudut simpang yang ramai dilintasi kendaraan.

            Adanya hubungan antara penjual dan pembeli membentuk sebuah interaksi sosial. Interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Hubungan tersebut dapat antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok (Effendy, 2007). Interaksi sosial merupakan bentuk umum dari proses sosial, sedangkan bentuk khususnya adalah aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 2002).

            Interaksi sosial di masa pandemi seperti ini memang membuat pola interaksi sosial di masyarakat terutama pada bulan Ramadhan ini menjadi berbeda. Seperti yang terlihat pada foto yang saya ambil di sebuah desa yaitu Pasar Ramadhan Desa Salam. Pasar tersebut merupakan Pasar Ramadhan yang berada di Desa Salam, Kapanewon Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagaimana interaksi sosial di pasar ramadhan pada masa pandemi covid-19?

            Pandemi Covid 19 (Corona Virus Disease 19) merupakan konflik yang sudah setahun ini dihadapi oleh masyarakat di seluruh belahan dunia. Coronavirus (Covid 19) adalah kumpulan virus yang bisa menginfeksi sistem pernapasan sampai pada akhirnya dapat mematikan banyak manusia. Akibat dari konflik ini, interaksi sosial di masyarakat pun menjadi berubah. Wujud konkretnya adalah aturan, norma, adat istiadat yang mengatur kebutuhan manusia. Pada bulan Ramadhan ini juga terasa perbedaan dalam interaksi sosial, seperti yang dapat dilihat pada foto tersebut bahwa kini untuk berburu takjil saja harus memperhatikan jarak kita dengan penjual atau pembeli lain, serta aturan menggunakan masker membuat kita menjadi sulit untuk dapat berinteraksi dengan orang lain. Biasanya kita berkomunikasi dengan menatap wajah tanpa adanya penghalang namun kini kita menjadi sulit untuk dapat memperhatikan ekspresi dan mimik wajah lawan bicara kita. Kemudian untuk saling menegur sapa pun kita harus menjaga jarak minimal satu meter.  

           

 

 

 

Referensi:

Damsar. (2002). Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Effendy, Onong Uchjana. (2007). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Soekanto, S. (2002). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

 

 

Tulisan ini adalah narasi untuk lomba memotret bertemakan "Damai Ramadhan" yang diselenggarakan oleh @denkapratamaid yang berkolaborasi dengan @gudangdigital.indonesia, @feiyutechindonesia, @mirfak.id, dan @ttartisan.id. Periode lomba berlangsung pada tanggal 17 April - 17 Mei 2021.


 



Minggu, 02 Mei 2021

SOLIDARITAS MASYARAKAT JAKARTA DI TENGAH HIRUK PIKUK KOTA METROPOLITAN

Rahayu (20310410061)

Dosen Pembimbing : Dr. Arundati Shinta, M. A

Psikologi Sosial 1

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45

Yogyakarta



Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial karena di dalam kehidupannya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Pada diri manusia juga terdapat dorongan untuk saling berhubungan (berinteraksi) dengan orang lain dan hidup berkelompok (Elly M Setiadi & Ridwan Effendi, 2009:79). Oleh sebab itu di dalam hubungan antara manusia dengan manusia yang berbeda terkadang seorang individu mencari keserasian dalam berbagai hal, seperti kesamaan ideologi, adat kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

Solidaritas secara bahasa diartikan kebersamaan, kekompakan, kesetiakawanan, empati, simpati, tenggang hati, dan tenggang rasa (Depdiknas, 2009: 551). Solidaritas sosial merupakan tema utama yang dibicarakan oleh Durkheim sebagai sumber moral untuk membentuk tatanan sosial di tengah masyarakat. Durkheim menyatakan bahwa asal usul otoritas moralitas harus ditelusuri sampai pada sesuatu yang agak samar-samar yang ia sebut "masyarakat".

Jakarta memang unik karena tidak bisa sekedar mewakili etnis penduduk aslinya, yaitu Betawi, tetapi juga menjadi rumah bagi berbagai manusia, suku, budaya, dan etnis lain yang datang, hidup, dan berkembang di dalamnya. Meskipun Di tengah kemacetan dan hiruk pikuknya, ibukota menyimpan sebuah budaya yang menarik untuk siapapun yang menyukai sejarah.

Betawi adalah sebuah etnik dengan jumlah penduduk yang mendominasi Jakarta. Orang Betawi telah ada jauh sebelum Jan Pieterzoon Coen membakar Jayakarta pada tahun 1619 dan mendirikan di atas reruntuhan tersebut sebuah kota bernama Batavia. Artinya, jauh sebelum menjadi ibu kota negara, sekelompok besar orang telah mendiami kota Jakarta. Bahkan, menurut sejarahwan Sagiman MD, penduduk Betawi telah mendiami Jakarta sekitar sejak zaman batu baru atau Neoliticum, yaitu 1500 SM. Dari masa ke masa, masyarakat Betawi terus berkembang dengan ciri budaya yang makin lama semakin mantap sehingga mudah dibedakan dengan kelompok etnis lain.

Berdasarkan ciri kebudayaan, etnik Betawi dibagi mejadi dua, yaitu Betawi Tengah (Betawi Kota) dan Betawi Pinggiran, yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda disebut Betawi Ora. Betawi Tengah/Kota menetap di bagian kota Jakarta yang dahulu dinamakan keresidenan Batavia (Jakarta Pusat - urban), mendapat pengaruh kuat kebudayaan Melayu (Islam). Betawi Tengah menganut gaya hidup tempo lama, misalnya perayaan upacara perkawinan, khitanan, tradisi lebaran, dan memegang teguh agama serta adat istiadat (mengaji). Orang Betawi yang tinggal di Jakarta Pusat mengalami tingkat arus urbanisasi dan modernisasi dalam skala paling tinggi, juga mengalami tingkat kawin campuran paling tinggi. Dalam bidang kesenian, mereka menikmati keroncong Tugu, musik Gambus, Qasidah, orkes Rebana, dan menggemari cerita bernafaskan Islam seperti cerita Seribu Satu Malam. Mereka memiliki dialek yang disebut dialek Betawi Kota, bervokal akhiran e pada beberapa kata yang dalam bahasa Indonesia berupa a atau ah, misalnya: kenapa menjadi kenape.


Referensi

Hasbullah, REWANG: Kearifan Lokal dalam Membangun Solidaritas dan Integrasi Sosial Masyarakat  di Desa Bukit Batu Kabupaten Bengkalis, Jurnal Sosial Budaya Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2012. https://media.neliti.com/media/publications/164769-ID-rewang-kearifan-lokal-dalam-membangun-so.pdf diakses pada tanggal 02 Mei 2021 pukul 12:16  

Mita Purbasari, INDAHNYA BETAWI, HUMANIORA Vol.1  No.1 April 2010: 1-10.  https://media.neliti.com/media/publications/166886-ID-indahnya-betawi.pdf diakses pada tanggal 02 Mei 2021 pukul 12:12 


Tulisan ini adalah narasi untuk lomba memotret bertemakan “Street Photography” yang diselenggarakan oleh Kelas Pagi Jakarta bersama @andrydilindra dan @photowalkramean berkolaborasi dengan @xiaomi.indonesia. Periode lomba berlangsung pada tanggal 1 April – 1 Mei 2021







Sabtu, 01 Mei 2021

Kedekatan Sosial Nenek dengan Cucu

Kedekatan Sosial Nenek dengan Cucu

(Semester Genap 2020/2021)

 

Rifa Rufianti (20310410053)

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, M.A

 


Kelahiran seorang anak dalam keluarga, menyebabkan adanya kakek-nenek, dan terbentuklah hubungan di dalam keluarga dan lintas generasi. Menjadi kakek-nenek merupakan suatu harapan yang dinantikan, terdapat fase 'ritus peralihan' pada usia dewasa, dimana jika individu berumur panjang, maka ia bisa menjadi kakek-nenek selama kurang lebih sepertiga dari masa hidupnya (Rosenbaum, 2016). Meskipun cukup banyak penelitian yang meng-eksplorasi pengalaman kakek-nenek dalam membesarkan cucu (Downie, Hay, Horner, Wichmann, & Hislop, 2010; Dunne & Kettler, 2007), tetapi ada pula cucu yang selama hidupnya tidak pernah memperoleh sentuhan kehangatan kasih sayang dari kakek dan neneknya.

Kakek-nenek menjadi sumber pendukung pengasuhan cucu yang semakin penting, meskipun merawat cucu mungkin memiliki konsekuensi kesehatan yang negatif bagi kakek-nenek (Di Gessa, Glaser, & Tinker, 2016). Hal ini disebabkan karena energi dan rasa ingin tahu seorang anak sangat besar. Pada umumnya cucu akan lebih manja dengan kakek dan neneknya. Begitupula kakek dan neneknya, mereka akan lebih sayang kepada cucunya daripada anaknya.

Keberadaan kakek-nenek dapat bervariasi baik di dalam maupun di luar keluarga, sebagai fungsi dari keadaan sosial, historis, keluarga, dan individu yang unik. Kualitas hubungan dengan cucu-cucu menjadi paling berpengaruh dan berhubungan secara positif dengan kepentingan peran kakek-nenek yang dirasakan (Mahne, & Klingebiel, 2012). Dalam menikmati peran sebagai kakek-nenek, orang dewasa madya melihat tahap kehidupan di kemudian hari ini sebagai kesempatan untuk mencapai kehidupan pribadi dan impian pensiun yang mungkin mereka tunda karena komitmen keluarga dan pekerjaan. Hasil suatu riset diantaranya menyebutkan bahwa menjadi sehat di usia tua, dan menikmati hari-hari dengan tetap bermanfaat adalah impian setiap lansia, daripada mengalami demensia dan mem-bebani orang-orang di sekitarnya (Gitlin, Winter, Dennis, Hodgson, & Hauck, 2010).

 

Daftar Pustaka

 

Di Gessa, G., Glaser, K., & Tinker, A. (2016). The impact of caring for grandchildren on the health of grandparents in Europe: A lifecourse approach. Social Science & Medicine, 152, 166-175. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2016.01.041

 

Downie, J. M., Hay, D. A., Horner, B. J., Wichmann, H., & Hislop, A. L. (2010). Children living with their grandparents: Resilience and wellbeing. International Journal of Social Welfare, 19(1), 8−22. DOI: 10.1111/j.1468-2397.2009.00654.x

 

Gitlin, L. N., Winter, L., Dennis, M. P., Hodgson, N., & Hauck, W. W. (2010) A biobehavioral home-based intervention and the well-being of patients with dementia and their caregivers: The COPE randomized trial. JAMA, 304(9), 983–991.

 

Mahne, K., & Klingebiel, A. M. (2012). The importance of the grandparent role—A class specific phenomenon? Evidence from Germany. Advances in Life Course Research, 17(3), 145-155. https://doi.org/10.1016/j.alcr.2012.06.001

 

Rosenbaum, P. (2016). Developmental disability: Shouldn't grandparents have a place at the table? Developmental Medicine and Child Neurology, 58(6), 528. http://dx.doi.org/10.1111/dmcn.13125

 

 

Tulisan ini adalah narasi untuk lomba memotret bertemakan "Street Photography" yang diselenggarakan oleh Kelas Pagi Jakarta bersama @andrydilindra dan @photowalkramean berkolaborasi dengan @xiaomi.indonesia. Periode lomba berlangsung pada tanggal 1 April - 1 Mei 2021.