Minggu, 16 Mei 2021
TRADISI TAHUNAN PASAR RAMADHAN
Senin, 10 Mei 2021
INTERAKSI SOSIAL DI PASAR RAMADHAN PADA MASA PANDEMI COVID-19
INTERAKSI SOSIAL DI PASAR RAMADHAN PADA MASA
PANDEMI COVID-19
Dwi Ratri Octavianita (20310410002)
Mata Kuliah: Psikologi Sosial I
Fakultas Psikologi Universitas 45 Yogyakarta
Dosen Pengampu: Dr. Arundhati Shinta, M.A
Dalam
melakukan barter, dipilihlah sebuah tempat yang disepakati bersama dan berangsur-angsur
tempat tersebut berubah menjadi pasar. Kegiatan yang dilakukan di pasar pun
tidak hanya sekedar barter namun sudah berupa kegiatan jual beli dengan
menggunakan alat pembayaran berupa uang (Damsar, 2002). Fenomena Pasar Ramadhan
sepertinya bukan lagi hal yang asing bagi kita. Hal ini menjadi salah satu
keunikan yang selalu menghiasi bulan Ramadhan di Indonesia. Pasar Ramadhan
banyak ditemui di mana saja, tempatnya pun tidak harus di pasar pada umumnya.
Bisa di pinggir jalan, sepanjang trotoar, atau di sebuah tanah lapang yang
memungkinkan untuk menggelar dagangan di situ. Jika di perkampungan, para
pedagang banyak bermunculan di setiap sudut simpang yang ramai dilintasi
kendaraan.
Adanya
hubungan antara penjual dan pembeli membentuk sebuah interaksi sosial.
Interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu yang
lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi
terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Hubungan tersebut dapat
antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan
kelompok (Effendy, 2007). Interaksi sosial merupakan bentuk umum dari proses
sosial, sedangkan bentuk khususnya adalah aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi
sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara
perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan dengan
kelompok manusia (Soekanto, 2002).
Interaksi
sosial di masa pandemi seperti ini memang membuat pola interaksi sosial di
masyarakat terutama pada bulan Ramadhan ini menjadi berbeda. Seperti yang
terlihat pada foto yang saya ambil di sebuah desa yaitu Pasar Ramadhan Desa
Salam. Pasar tersebut merupakan Pasar Ramadhan yang berada di Desa Salam,
Kapanewon Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagaimana
interaksi sosial di pasar ramadhan pada masa pandemi covid-19?
Pandemi
Covid 19 (Corona Virus Disease 19) merupakan konflik yang sudah setahun ini
dihadapi oleh masyarakat di seluruh belahan dunia. Coronavirus (Covid 19)
adalah kumpulan virus yang bisa menginfeksi sistem pernapasan sampai pada
akhirnya dapat mematikan banyak manusia. Akibat dari konflik ini, interaksi
sosial di masyarakat pun menjadi berubah. Wujud konkretnya adalah aturan, norma,
adat istiadat yang mengatur kebutuhan manusia. Pada bulan Ramadhan ini juga
terasa perbedaan dalam interaksi sosial, seperti yang dapat dilihat pada foto
tersebut bahwa kini untuk berburu takjil saja harus memperhatikan jarak kita
dengan penjual atau pembeli lain, serta aturan menggunakan masker membuat kita
menjadi sulit untuk dapat berinteraksi dengan orang lain. Biasanya kita
berkomunikasi dengan menatap wajah tanpa adanya penghalang namun kini kita
menjadi sulit untuk dapat memperhatikan ekspresi dan mimik wajah lawan bicara
kita. Kemudian untuk saling menegur sapa pun kita harus menjaga jarak minimal
satu meter.
Referensi:
Damsar. (2002). Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Effendy, Onong Uchjana. (2007). Ilmu Komunikasi Teori dan
Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Soekanto, S. (2002). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
Rajawali Press.
Tulisan ini adalah narasi untuk lomba memotret bertemakan
"Damai Ramadhan" yang diselenggarakan oleh @denkapratamaid yang
berkolaborasi dengan @gudangdigital.indonesia, @feiyutechindonesia, @mirfak.id, dan @ttartisan.id. Periode lomba berlangsung pada tanggal 17 April - 17 Mei 2021.
Minggu, 02 Mei 2021
SOLIDARITAS MASYARAKAT JAKARTA DI TENGAH HIRUK PIKUK KOTA METROPOLITAN
Rahayu (20310410061)
Dosen Pembimbing : Dr. Arundati
Shinta, M. A
Psikologi Sosial 1
Fakultas Psikologi Universitas
Proklamasi 45
Yogyakarta
Manusia
dikatakan sebagai makhluk sosial karena di dalam kehidupannya tidak bisa
melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Pada diri manusia juga terdapat
dorongan untuk saling berhubungan (berinteraksi) dengan orang lain dan hidup
berkelompok (Elly M Setiadi & Ridwan Effendi, 2009:79). Oleh sebab itu di dalam
hubungan antara manusia dengan manusia yang berbeda terkadang seorang individu
mencari keserasian dalam berbagai hal, seperti kesamaan ideologi, adat kebiasaan,
bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).
Solidaritas
secara bahasa diartikan kebersamaan, kekompakan, kesetiakawanan, empati, simpati,
tenggang hati, dan tenggang rasa (Depdiknas, 2009: 551). Solidaritas sosial
merupakan tema utama yang dibicarakan oleh Durkheim sebagai sumber moral untuk
membentuk tatanan sosial di tengah masyarakat. Durkheim menyatakan bahwa asal
usul otoritas moralitas harus ditelusuri sampai pada sesuatu yang agak
samar-samar yang ia sebut "masyarakat".
Jakarta
memang unik karena tidak bisa sekedar mewakili etnis penduduk aslinya, yaitu Betawi,
tetapi juga menjadi rumah bagi berbagai manusia, suku, budaya, dan etnis lain
yang datang, hidup, dan berkembang di dalamnya. Meskipun Di tengah kemacetan
dan hiruk pikuknya, ibukota menyimpan sebuah budaya yang menarik untuk siapapun
yang menyukai sejarah.
Betawi
adalah sebuah etnik dengan jumlah penduduk yang mendominasi Jakarta. Orang Betawi
telah ada jauh sebelum Jan Pieterzoon Coen membakar Jayakarta pada tahun 1619
dan mendirikan di atas reruntuhan tersebut sebuah kota bernama Batavia.
Artinya, jauh sebelum menjadi ibu kota negara, sekelompok besar orang telah
mendiami kota Jakarta. Bahkan, menurut sejarahwan Sagiman MD, penduduk Betawi
telah mendiami Jakarta sekitar sejak zaman batu baru atau Neoliticum, yaitu
1500 SM. Dari masa ke masa, masyarakat Betawi terus berkembang dengan ciri budaya
yang makin lama semakin mantap sehingga mudah dibedakan dengan kelompok etnis
lain.
Berdasarkan
ciri kebudayaan, etnik Betawi dibagi mejadi dua, yaitu Betawi Tengah (Betawi Kota)
dan Betawi Pinggiran, yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda disebut Betawi
Ora. Betawi Tengah/Kota menetap di bagian kota Jakarta yang dahulu dinamakan
keresidenan Batavia (Jakarta Pusat - urban), mendapat pengaruh kuat kebudayaan
Melayu (Islam). Betawi Tengah menganut gaya hidup tempo lama, misalnya perayaan
upacara perkawinan, khitanan, tradisi lebaran, dan memegang teguh agama serta
adat istiadat (mengaji). Orang Betawi yang tinggal di Jakarta Pusat mengalami
tingkat arus urbanisasi dan modernisasi dalam skala paling tinggi, juga
mengalami tingkat kawin campuran paling tinggi. Dalam bidang kesenian, mereka menikmati
keroncong Tugu, musik Gambus, Qasidah, orkes Rebana, dan menggemari cerita
bernafaskan Islam seperti cerita Seribu Satu Malam. Mereka memiliki dialek yang
disebut dialek Betawi Kota, bervokal akhiran e pada beberapa kata yang dalam
bahasa Indonesia berupa a atau ah, misalnya: kenapa menjadi kenape.
Referensi
Hasbullah,
REWANG: Kearifan Lokal dalam Membangun
Solidaritas dan Integrasi Sosial Masyarakat di Desa Bukit Batu Kabupaten Bengkalis, Jurnal
Sosial Budaya Vol. 9 No. 2 Juli-Desember 2012. https://media.neliti.com/media/publications/164769-ID-rewang-kearifan-lokal-dalam-membangun-so.pdf
diakses pada tanggal 02 Mei 2021 pukul 12:16
Mita Purbasari, INDAHNYA BETAWI, HUMANIORA Vol.1 No.1 April 2010: 1-10. https://media.neliti.com/media/publications/166886-ID-indahnya-betawi.pdf diakses pada tanggal 02 Mei 2021 pukul 12:12
Tulisan
ini adalah narasi untuk lomba memotret bertemakan “Street Photography” yang
diselenggarakan oleh Kelas Pagi Jakarta bersama @andrydilindra dan
@photowalkramean berkolaborasi dengan @xiaomi.indonesia. Periode lomba
berlangsung pada tanggal 1 April – 1 Mei 2021
Sabtu, 01 Mei 2021
Kedekatan Sosial Nenek dengan Cucu
Kedekatan
Sosial Nenek dengan Cucu
(Semester
Genap 2020/2021)
Rifa Rufianti (20310410053)
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, M.A
Kelahiran seorang anak dalam keluarga, menyebabkan adanya kakek-nenek, dan terbentuklah hubungan di dalam keluarga dan lintas generasi. Menjadi kakek-nenek merupakan suatu harapan yang dinantikan, terdapat fase 'ritus peralihan' pada usia dewasa, dimana jika individu berumur panjang, maka ia bisa menjadi kakek-nenek selama kurang lebih sepertiga dari masa hidupnya (Rosenbaum, 2016). Meskipun cukup banyak penelitian yang meng-eksplorasi pengalaman kakek-nenek dalam membesarkan cucu (Downie, Hay, Horner, Wichmann, & Hislop, 2010; Dunne & Kettler, 2007), tetapi ada pula cucu yang selama hidupnya tidak pernah memperoleh sentuhan kehangatan kasih sayang dari kakek dan neneknya.
Kakek-nenek menjadi sumber pendukung pengasuhan cucu yang semakin penting, meskipun merawat cucu mungkin memiliki konsekuensi kesehatan yang negatif bagi kakek-nenek (Di Gessa, Glaser, & Tinker, 2016). Hal ini disebabkan karena energi dan rasa ingin tahu seorang anak sangat besar. Pada umumnya cucu akan lebih manja dengan kakek dan neneknya. Begitupula kakek dan neneknya, mereka akan lebih sayang kepada cucunya daripada anaknya.
Keberadaan
kakek-nenek dapat bervariasi baik di dalam maupun di luar keluarga, sebagai
fungsi dari keadaan sosial, historis, keluarga, dan individu yang unik.
Kualitas hubungan dengan cucu-cucu menjadi paling berpengaruh dan berhubungan
secara positif dengan kepentingan peran kakek-nenek yang dirasakan (Mahne,
& Klingebiel, 2012). Dalam menikmati peran sebagai kakek-nenek, orang
dewasa madya melihat tahap kehidupan di kemudian hari ini sebagai kesempatan
untuk mencapai kehidupan pribadi dan impian pensiun yang mungkin mereka tunda
karena komitmen keluarga dan pekerjaan. Hasil suatu riset diantaranya
menyebutkan bahwa menjadi sehat di usia tua, dan menikmati hari-hari dengan
tetap bermanfaat adalah impian setiap lansia, daripada mengalami demensia dan
mem-bebani orang-orang di sekitarnya (Gitlin, Winter, Dennis, Hodgson, &
Hauck, 2010).
Daftar Pustaka
Di Gessa, G., Glaser, K., & Tinker, A.
(2016). The impact of caring for grandchildren on the health of grandparents in
Europe: A lifecourse approach. Social Science & Medicine, 152, 166-175. https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2016.01.041
Downie, J. M., Hay, D. A., Horner, B. J.,
Wichmann, H., & Hislop, A. L. (2010). Children living with their
grandparents: Resilience and wellbeing. International Journal of Social
Welfare, 19(1), 8−22. DOI: 10.1111/j.1468-2397.2009.00654.x
Gitlin, L. N., Winter, L., Dennis, M. P.,
Hodgson, N., & Hauck, W. W. (2010) A biobehavioral home-based intervention
and the well-being of patients with dementia and their caregivers: The COPE
randomized trial. JAMA, 304(9), 983–991.
Mahne, K., & Klingebiel, A. M. (2012).
The importance of the grandparent role—A class specific phenomenon? Evidence
from Germany. Advances in Life Course Research, 17(3), 145-155. https://doi.org/10.1016/j.alcr.2012.06.001
Rosenbaum, P. (2016). Developmental
disability: Shouldn't grandparents have a place at the table? Developmental
Medicine and Child Neurology, 58(6), 528. http://dx.doi.org/10.1111/dmcn.13125
Tulisan ini adalah narasi untuk lomba memotret bertemakan "Street Photography" yang diselenggarakan oleh Kelas Pagi Jakarta bersama @andrydilindra dan @photowalkramean berkolaborasi dengan @xiaomi.indonesia. Periode lomba berlangsung pada tanggal 1 April - 1 Mei 2021.