Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Minggu, 30 April 2023

Meringkas Jurnal II

 Meringkas Jurnal II

Teknik Penyusunan Skripsi

Dosen Pengampu: Dr. Arundati Shinta, M. A

Annisa Arsella (20310410038)

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta



 

Topik

Seni Musik, Perkembangan Belajar

Sumber

Suci, D. W. (2019). Manfaat Seni Musik Dalam Perkembangan Belajar Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Ilmu Pendidikan (Edukatif). 1(3), 177-184.

Permasalahan

Anak dan musik memiliki keterkaitan yang kuat, musik bermanfaat untuk meningkatkan kecerdasan anak dan perkembangan belajar anak. Melihat apakah kecerdasan emosionalnya akan lebih berkembang jika anak terbiasa mendengarkan musik.

Tujuan Penelitian

Untuk mengkaji manfaat musik pada perkembangan belajar peserta didik sekolah dasar.

Isi

  • Musik adalah salah satu seni yang nyata dan merupakan wujud bunyi pada fisika yang memiliki banyak manfaat atau keuntungan yang dapat merangsang pembentukan watak dan budi pekerti manusia
  • Istilah musik dapat didefinisikan sebagai suatu kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena musik dapat menjadikan orang merasa senang, gembira dan nyaman
  • Musik mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan belajar peserta didik karena musik merupakan luapan perasaan manusia dengan bahasa yang mudah dimengerti.
  • Perkembangan siswa sekolah dasar adalah masa yang paling penting sehingga perlu untuk anak belajar seni sebagai penyaluran imajinasi dan kreativitas.

Metode

Metode penelitian Literature review atau tinjauan pustaka.

Hasil

  • Merujuk hasil penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh musik terhadap kecerdasan emosi siswa sekolah dasar menggambarkan bahwa penerapan musik dalam pembelajaran memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kecerdasan emosi anak
  • Dalam sebuah penelitian yang dilakukan tentang efek musik terhadap daya ingat siswa sekolah dasar menemukan hasil, dengan mendengarkan musik terbukti dapat meningkatkan daya ingat.
  • Hasil penelitian efek musik dan suara Morton, menjelaskan bahwa pengaruh mendengarkan musik adalah meningkatkan memori jangka pendek, mengurangi kebingungan dan meningkatkan proses informasi.

Diskusi

  • Musik memberikan manfaat positif yaitu menghasilkan peningkatan terhadap suasana hati yang positif dan sebaliknya.dengan mendengarkan musik siswa menjadi bergairah dalam belajar dan menimbulkan rasa senang dalam dirinya. Sehingga materi pembelajaran mudah dapat sampai ke peserta didik.
  • Musik dengan komponen berirama kuat berakibat pada adaptasi motorik, sensori integrasi, proses kognitif dan gerakan fisiologis umum.
  • Musik dapat mengaktifkan hormon endofrin alami dan dapat meningkatkan perasaan tenang dan rilek.
  • Musik-musik klasik diyakini banyak memberikan efek yang baik bagi manusia, dapat menciptakan ketenangan emosi, menghilangkan stress dan dapat membuat rileks.
  • Peembelajaran dengan menggunakan pengantar musik yang bernuansa menenangkan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar siswa.

 

 

Meringkas Jurnal 1

 Meringkas Jurnal 1

Teknik Penyusunan Skripsi

Dosen Pengampu: Dr. Arundati Shinta, M. A

Annisa Arsella (20310410038)

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

 


Topik

Pola Asuh Orang Tua, Keterlambatan Bicara

Sumber

Hasanah, N. & Sugito. (2020). Analisis Pola Asuh Orang Tua terhadap Keterlambatan Bicara pada Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini (Obsesi). 4(2), 913-922

Permasalahan

Permasalahan pada umumnya adalah keterlambatan berbicara pada anak mungkin dikarenakan pola asuh orang tua yang kurang tepat diterapkan pada anak sehingga berkurang pula pengalaman yang didapatkan anak baik di dalam keluarga maupun di lingkungan.

Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis hubungan pola asuh orang tua terhadap keterlambatan bicara anak

Isi

  • Pendidikan anak usia dini ialah pendidikan yang berikan kepada anak usia 0-6 tahun. Usia ini merupakan masa yang penting dalam tumbuh kembang anak. Masa ini juga merupakan yang paling mudah dalam menerima stimulasi. Sehingga peran orang tua dan lingkungan sangat dibutuhkan dalam memberikan stimulasi perkembangan anak salah satunya adalah perkembangan bahasa.

  • Kemampuan anak untuk memperoleh kosakata sangat penting dalam mendukung perkembangan bahasa secara menyeluruh. Kemampuan anak untuk memperoleh kosakata sangat penting dalam mendukung perkembangan bahasa secara menyeluruh. Bahasa dibedakan menjadi dua yaitu bahasa ekspresif dan reseptif. Perkembangan bahasa ekspresif dalam penyampaian bahasanya melewati suatu sistem artikulasi yang diungkapkan melalui organ berbicara. Berbicara merupakan ungkapan lisan dan menjadi hal penting bagi seorang anak.

  • Secara signifikan anak dikatakan mengalami keterlambatan bicara, apabila ucapan anak di bawah normal untuk anak seusianya seperti membuat banyak kesalahan dalam berbahasa, adanya penambahan atau penghapusan konsonan. Sehingga keterampilan dan pola asuh orang tua sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan bahasa anak.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka. Kajian pustaka digunakan untuk menjawab permasalahan peniltian melalui literatur dan data-data penelitian terdahulu.

Hasil

  • Hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa keterlambatan bicara pada anak terlihat pada saat terdapat kerancuan bicara anak Keterlambatan bicara dalam bentuk kerancuan bicara memiliki banyak bentuk.
  • Berdasarkan identifikasi yang telah dilakukan terhadap pola asuh orang tua dan keterlambatan bicara anak ditemukan bahwa keterlambatan bicara pada anak diidentifikasi memiliki keterkaitan dengan pola asuh permisif yang diterapkan orang tua.    

Diskusi

  •  Ditemukan beberapa pola asuh orang tua yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari antara lain pola asuk demokratis, pola asuh otoriter, dan pola asuh permissive. Pola asuh demoktratis memberikan anak kebebasan dalam mengungkapkan pendapatnya, atau bahkan mempercayai keputusan yang diambil oleh anak. Pola asuh otoriter menerapkan pengasuhan dengan cara membatasi dan menuntut anak untuk selalu mengikuti arahan orang tua. pola asuh permisif memberikan kebebasan penuh pada anak yang menyebabkan kurangnya control diri pada anak.

  • Keterlambatan bicara pada anak diidentifikasi memiliki keterkaitan dengan pola asuh permisif yang diterapkan orang tua. Berikut penyebabnya: Pertama, kesibukan orang tua yang menyebabkan kurangnya perhatian dan keterlibatan orang tua terhadap perkembangan bicara anak. Padahal orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan anak karena orang tua menjadi orang pertama tempat anak dalam berkomunikasi. Kedua, rendahnya tingkat pendidikan orang tua menyebabkan kurangnya pengetahuan untuk memfasilitasi dan menstimulasi perkembangan bicara anak. Ketiga, kurangnya stimulasi, dukungan positif lingkungan dan interaksi. Keempat, keinginan orang tua agar anak mampu berbahasa asing. Oleh karena itu, orang tua berkomunikasi dengan anak menggunakan dua bahasa, seperti bahasa indonesia dan bahasa inggris.

 

 

MERINGKAS JURNAL

 

RESPONS MASYARAKAT INDONESIA MENGHADAPI PANDEMI COVID-19

Chelsea Oktavia Anjani

22310410027

Dosen Pengampu : Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA MA

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta


Topik

Adaptasi, Individual, Kolektif, Pandemi COVID-19

Sumber

Minza, W.M., Faturochman., Muhiddin, S. & Anggoro, W.J. (2022). Adaptasi individual dan kolektif: Respons masyarakat Indonesia menghadapi pandemi COVID-19. Jurnal Psikologi Sosial. 20(1), Februari (2022), 01-15.

Permasalahan

·       Adaptasi aktif terhadap pandemi dapat dilakukan baik secara kognitif maupun emosional yang lebih lanjut dapat dibedakan menjadi dua. Adaptasi aktif konstruktif dilakukan secara intensional dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku yang memiliki konsekuensi positif. Sebaliknya, adaptasi bersifat aktif-destruktif dapat diwujudkan dalam perilaku yang memiliki konsekuensi negatif bagi pelakunya.

 

·       Adaptasi pasif yang berupa suatu proses pasif yang mana individu secara intensional menerima situasi dan pasrah; ditandai dengan pengharapan atas hal eksternal di luar diri mereka. Hasil riset menunjukkan bahwa Pandemi telah membuat orang-orang di Indonesia menjadi lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan mempercayai rencana Tuhan.

 

·       Adaptasi secara berkelompok (kolektif) ketika berada dalam kondisi terancam. Dalam situasi penyebaran wabah di Indonesia, individu juga dapat menunjukkan pola pikir zero-sum yaitu pola pikir dalam konteks kompetisi yang mana keuntungan bagi seorang individu merupakan kerugian bagi individu lain. Jadi, individu akan cenderung memikirkan keselamatan diri dan keluarganya daripada harus bekerjasama dalam skala yang lebih besar.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi proses adaptasi masyarakat dalam menghadapi pandemi COVID-19 di Indonesia.

Isi

·       Pandemi COVID-19 yang menimbulkan kecemasan dan stres dapat direspon oleh individu sebagai bentuk strategi koping , mekanisme koping merujuk pada adaptasi psikologis. Strategi koping dapat diartikan sebagai upaya kognitif dan perilaku untuk memodulasi tuntutan internal dan eksternal yang dinilai melebihi sumber daya pribadi.

 

·       Secara umum, pandemi telah memberikan efek yang besar pada ekonomi dan infrastruktur masyarakat secara lebih luas. Dimulai dari masyarakat yang terinfeksi virus, kemudian dapat mengalami sakit fisik maupun psikologis dan tidak dapat melakukan pekerjaanpekerjaan mereka sehingga memengaruhi pelayanan esensial secara luas.

 

·       Beberapa penelitian di Indonesia telah menunjukkan proses adaptasi menghadapi COVID19. Proses adaptasi tersebut terutama merupakan proses adaptasi psikologis dalam hal ini strategi koping. Dari temuan yang ada, strategi koping yang diadopsi di Indonesia berfokus pada emosi seperti penilaian diri, kontrol diri dan berdoa, maupun dengan menitikberatkan pada penyelesaian masalah, seperti pemecahan masalah yang terencana dan pencarian dukungan social

 

·       Penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut umumnya menekankan pada adaptasi psikologis yang dilakukan pada level individu. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi proses adaptasi masyarakat Indonesia terhadap Pandemi COVID-19 secara umum pada masa-masa awal kemunculannya di Indonesia, tidak saja pada level individu, tetapi juga pada level kelompok. Hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman tentang cara ataupun pola masyarakat Indonesia merespon kondisi ketidakpastian dari perspektif adaptasi psikologis.

Metode

·       Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif. Responden merupakan masyarakat Indonesia tanpa adanya kriteria khusus, yang dipilih dengan teknik convenience sampling. Sebanyak 544 responden mengisi survei melalui Google Form.

 

·       Sebanyak 63% responden adalah perempuan (lakilaki = 37%). Sebagian besar responden berusia 21 hingga 40 tahun (66%), sebanyak 20% responden berusia diatas 40 tahun, sementara itu hanya sekitar 14% yang berusia di bawah 20 tahun. Sejalan dengan variabel usia, sebagian besar responden menempuh pendidikan S1 ataupun Diploma (60%). Responden yang menjalani pendidikan pascasarjana menempati urutan kedua (31%). Hanya sebanyak 9% responden yang merupakan pelajar, dalam hal ini siswa SMA.

 

·       Berdasarkan wilayah tempat tinggalnya, sebanyak 43% responden tinggal di kota menengah; 39% berada di kota besar. Hanya 6% responden yang hidup di kota kecil dan 3% responden di kota terisolasi. Selanjutnya, responden juga dibedakan berdasarkan risiko wilayah yang mana sebagian besar responden (71%) berada di wilayah berisiko terkait penyebaran COVID-19 (ditinjau dari penderita yang meninggal karena terkonfirmasi6,1% meninggal dari yang terkonfirmasi), sisanya berada di wilayah tidak berisiko

Hasil

Responden merasakan kecemasan tinggi terkait dengan kemungkinan jatuh sakit dan ketidakmampuan membantu orang-orang dekat yang dicintai. Kecemasan pada level sedang cenderung dikaitkan dengan ketidakpastian dan kejadian-kejadian yang akan datang. Sementara itu, kecemasan rendah berkaitan dengan kecemasan akan kehilangan kontrol. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa mereka yang memiliki kecemasan tinggi dan sedang kemungkinan merasa tidak memiliki kontrol akan kejadian pandemi ini. Sebaliknya, mereka yang memiliki kecemasan rendah kemungkinan merasa memiliki kontrol yang lebih besar.

Diskusi

Individu akan melakukan mekanisme adaptasi apabila menghadapi stimulus-stimulus ancaman dari lingkungan, termasuk pandemik COVID-19, yang mengakibatkan perubahan terhadap tatanan kehidupannya. Seperti halnya tinjauan psikologis terhadap adaptasi, penelitian ini menunjukkan berbagai bentuk adaptasi individual yang dilakukan, baik berupa adaptasi aktif yang bersifat konstruktif maupun yang bersifat destruktif. Penelitian ini juga menemukan bahwa pola adaptasi pasif tidak selalu bersifat destruktif, tapi justu dapat bersifat konstruktif, seperti berbagai bentuk doa yang dapat mendukung optimisme menghadapi dampak COVID-19 di Indonesia. Temuan menarik lainnya adalah bahwa adaptasi individual bukan satu-satunya bentuk adaptasi yang dilakukan, melainkan juga berkembangnya adaptasi kolektif atau komunal yang cukup menonjol; dengan solidaritas, terutama solidaritas reflektif, sebagai esensi dari upaya bersama. Pengembangan adaptasi kolektif juga didukung nilai-nilai kolektif masyarakat Indonesia.



Meringkas Jurnal III

                                             Tugas Mata Kuliah Teknik Penyusunan Skripsi

Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta, M.A

Rahayu (20310410061)

                                            Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

                                                                

   
        

Topik

Alexithymia, Agresivitas, Impulsif, dan Disregulasi Emosi.

Sumber

Garofalo, C., Velotti, P., & Zavattini, GC (2018). Regulasi emosi dan agresi: Kontribusi inkremental dari aspek alexithymia, impulsif, dan disregulasi emosi. Psikologi Kekerasan, 8(4), 470-483.

Permasalahan

Permasalahan pada penelitian ini adalah berkaitan dengan penelitian sebelumnya telah lama menekankan peran alexithymia dan impulsif untuk menjelaskan agresif kecenderungan. Baru-baru ini, semakin banyak penelitian tampaknya mendukung relevansi konstruksi yang lebih luas disregulasi emosi untuk memahami agresi. Penelitian ini adalah yang pertama untuk memeriksa secara komprehensif kontribusi relatif dari, dan mekanisme yang menghubungkan alexithymia, impulsif, dan disregulasi emosi dalam memprediksi dimensi agresi.metode: Pelaku kekerasan laki-laki (N=221) dan peserta masyarakat (N = 245) menyelesaikan langkah-langkah laporan diri multifaset dari alexithymia, impulsif, disregulasi emosi, dan agresi. Analisis regresi menguji kontribusi independen dari setiap segi pada dimensi agresi. Analisis bootstrap meneliti efek tidak langsung dari alexithymia pada agresi melalui disregulasi emosi dan impulsif.Hasil: Pelaku melaporkan tingkat kesulitan yang lebih tinggi dalam mengidentifikasi perasaan, emosional penolakan, agresi fisik, dan permusuhan. Kesulitan dalam mengidentifikasi dan menggambarkan perasaan, dan motorik dan impulsif perhatian, menjelaskan variasi unik dalam agresi fisik, kemarahan, dan permusuhan pada keduanya sampel, dan juga dalam agresi verbal di antara peserta masyarakat. Dalam kedua sampel, urgensi negatif dan penolakan emosional menjelaskan variasi tambahan dalam dimensi agresi di atas dan di luar pengaruh alexithymia dan impulsif. Disregulasi emosi dan impulsif memediasi hubungan tersebut antara alexithymia dan agresi pada kedua sampel, dengan disregulasi emosi menunjukkan hubungan yang relatif efek yang lebih kuat.Kesimpulan:Temuan menekankan relevansi unik alexithymia, impulsif, dan aspek disregulasi emosi dalam menjelaskan kecenderungan agresif. Implikasi klinis termasuk pentingnya dari berfokus pada keterampilan pengaturan emosi – seperti menerima emosi dan tidak menindakinya – untuk mengurangi kecenderungan agresi.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ialah untuk Menguraikan pekerjaan teoretis dan empiris yang diulas di atas, penelitian ini untuk mengkonfirmasi dan memperluas pengetahuan sebelumnya dengan memeriksa kontribusi independen alexithymia, impulsif, dan emosi aspek disregulasi dalam menjelaskan perbedaan individu dalam dimensi agresi (yaitu, fisik dan verbal agresi, kemarahan, dan permusuhan). Selanjutnya, kami menguji apakah alexithymia memiliki efek tidak langsung pada agresi dimensi melalui peran mediasi disregulasi emosi dan impulsif. Dalam upaya meningkatkan ketangguhan dan generalisasi temuan di seluruh populasi yang ditandai dengan berbagai tingkat keparahan agresi, penelitian ini melibatkan sampel pelanggar kekerasan laki-laki yang dipenjara serta laki-laki individu yang hidup dalam masyarakat. Mengingat studi sebelumnya (misalnya, Fossati et al., 2009; Garofalo et al., 2016; Roberton et al., 2015).

Isi

Regulasi dan Agresi Emosi Kontribusi Tambahan dari Aspek Alexithymia, Impulsif, dan Disregulasi Emosi Memahami mekanisme psikologis yang mendasari perilaku agresif secara historis merupakan upaya ilmiah yang penting Anderson Bushman, 2002 Nestor, 2002. Dari sisi perkembangan, agresi dianggap sebagai kecenderungan bawaan manusia yang dapat melayani tujuan adaptif dan maladaptif Fonagy, 2003 Nagin Tremblay, 2001. Dengan demikian, manifestasi destruktif dari kecenderungan agresif dapat terjadi dipahami dalam hal gangguan dalam proses-proses yang biasanya mengatur dan menyalurkan agresi menuju tujuan adaptif misalnya, kelangsungan hidup atau protes tulus terhadap ketidakadilan Fonagy, 2003. Dalam ranah perbedaan individu yang dapat menjelaskan peningkatan tingkat agresi, dalam dekade terakhir psikologis literatur telah menyaksikan peningkatan eksponensial teori dan studi yang berfokus pada pengaturan diri Anderson Bushman, 2002 Denissen, Thomaes, Bushman, 2017 atau mentalisasi Fonagy, 2003. Secara khusus, studi tentang agresi orang dewasa telah menekankan peran alexithymia yaitu, ketidakmampuan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan perasaan, impulsif, dan dalam beberapa tahun terakhir disregulasi emosi Garofalo Wright, 2017 Roberton, Daffern, Bucks, 2012. Namun, terlepas dari sifat multifaset dan tumpang tindih moderat di antara alexithymia, impulsif dan emosi disregulasi, ada kekurangan studi termasuk tiga yang berbeda ini - meskipun terkait - konstruksi secara bersamaan, untuk memeriksa kontribusi independen dari masing-masing fasetnya menjelaskan dimensi agresi. Selain itu, ada kebutuhan untuk memajukan pemahaman kita tentang kemungkinan mekanisme yang menghubungkan alexithymia, impulsif, dan disregulasi emosi dengan agresi. Dalam studi saat ini, kami berusaha untuk memajukan pengetahuan terkini di bidang ini dengan memeriksa kontribusi independen dari alexithymia, impulsif, dan emosi disregulasi aspek dalam menjelaskan kecenderungan agresif yaitu, fisik dan agresi verbal, kemarahan, dan permusuhan Buss Perry, 1992 kemungkinan efek tidak langsung dari alexithymia pada kecenderungan agresif melalui peran mediasi disregulasi emosi dan impulsif. Semakin banyak teori Davidson, Putnam, Larson, 2000 Day, 2009 Roberton et al. , 2012 dan karya empiris Garofalo Velotti, 2017 Roberton, Daffern, Bucks, 2015 memang menunjukkan bahwa pengetahuan yang lebih besar tentang peran regulasi emosi dalam agresi mungkin sangat berharga bagi keduanya menyempurnakan model etiologi pelanggaran dan untuk meningkatkan perawatan yang ada untuk pelaku. Beberapa penulis pergi begitu sejauh mengandaikan bahwa regulasi emosi merupakan awal dari kekerasan Davidson et al. , 2000. Klinis dan literatur empiris juga menyarankan bahwa satu batasan yang mungkin dari program perawatan yang ada adalah eksklusif fokus pada pengendalian emosi. Meskipun relevan, pendekatan semacam itu tampaknya sangat terfokus pada a pandangan tradisional tentang emosi negatif sebagai sesuatu yang buruk yang perlu dijinakkan, pada gilirannya mengabaikan potensi pentingnya aspek lain dari konstruk regulasi emosi yang lebih luas, seperti kemampuan untuk membiarkan emosi terungkap mengakui nilai adaptif mereka Day, 2009 Roberton et al. , 2015. Sebenarnya, kemajuan terbaru dalam penelitian emosi telah menyarankan bahwa emosi tidak secara inheren baik atau buruk, tetapi fungsional dalam arti bahwa mereka memberikan informasi tentang diri dan tentang bagaimana orang melakukannya di lingkungan mereka misalnya, Bonanno Burton, 2013 Tamir, 2011. Namun, kemungkinan emosi negatif juga bisa adaptif jika diatur dengan tepat relatif telah diabaikan dalam psikologi forensik hingga beberapa tahun terakhir, dan fokus yang lebih luas tentang pengaturan pengalaman emosional negatif dapat memberikan informasi penting untuk pekerjaan klinis pelaku kekerasan Roberton et al. , 2015. Alexithymia dan Agresi Alexithymia sering ditandai dengan gangguan dalam kemampuan untuk mengidentifikasi dan menggambarkan perasaan disertai dengan introspeksi yang berkurang yaitu, gaya berpikir yang berorientasi eksternal Nemiah Sifneos, 1970. Dari sudut pandang teoretis, hubungan antara alexithymia dan agresi biasanya dipahami dengan mempertimbangkan kemampuan untuk merefleksikan dan berbicara tentang perasaan sebagai faktor pelindung untuk agresi Fonagy, 2003 Levenson, 1999. Gangguan dalam kemampuan ini yang merupakan bagian dari konsep mentalisasi yang lebih luas Fonagy, 2003 akan oleh karena itu meningkatkan risiko menggunakan strategi perilaku maladaptif sebagai respons terhadap frustrasi, termasuk eksternalisasi perilaku seperti agresi Fonagy, 2003 Fossati et al. , 2009. Sejalan dengan asumsi tersebut, a studi buku harian harian baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat diferensiasi emosional yaitu, kemampuan untuk membedakan dan menggambarkan emosi diskrit memoderasi hubungan antara pengalaman kemarahan dan perilaku agresif, seperti bahwa hubungan kemarahan-agresi lebih kuat pada tingkat diferensiasi emosional yang rendah Pond et al. , 2012. Selanjutnya, beberapa penelitian telah memberikan dukungan tidak langsung untuk memahami relevansi alexithymia agresi dan pelanggaran, melaporkan tingkat alexithymia yang lebih tinggi di antara pelaku kekerasan, dibandingkan dengan yang tidak pelaku Keltikangas-Jrvinen, 1982 Manninen et al. , 2011 Teten, Miller, Bailey, Dunn, Kent, 2008. Studi terbaru telah mendokumentasikan hubungan yang signifikan antara alexithymia dan indeks yang berbeda dari agresi di berbagai populasi, termasuk sampel komunitas Fossati et al. , 2009, kejiwaan pasien rawat inap Velotti, Garofalo, Petrocchi, et al. , 2016, pelaku kekerasan Roberton, Daffern, Bucks, 2014 Velotti, Garofalo, Callea, et al. , 2016, dan pasien forensik Hornsveld Kraaimaat, 2012. Pada tingkat segi, a kesulitan dalam mengidentifikasi perasaan dan pemikiran yang berorientasi eksternal telah dikaitkan dengan agresi, dan dalam satu studi kesulitan mengidentifikasi perasaan yang dimediasi efek ketidakamanan keterikatan pada agresi Fossati et al. , 2009. Sebagai catatan, dalam dua penelitian, hubungan yang dimiliki alexithymia dengan ekspresi kemarahan dan agresi turun menjadi tidak signifikan setelah memperhitungkan tingkat disregulasi emosi Edwards Wupperman, 2016 Velotti, Garofalo, Callea, dkk. , 2016. Secara keseluruhan, temuan ini tampaknya memberikan dukungan yang konsisten untuk a hubungan positif antara alexithymia dan agresi, terutama mengenai kesulitan dalam mengidentifikasi perasaan, meskipun studi sebelumnya tidak meneliti aspek yang berbeda dari agresi misalnya, permusuhan. Selanjutnya, itu masih belum jelas apakah hubungan ini khusus untuk alexithymia atau karena variannya yang sama dengan emosi disregulasi, dan apakah alih-alih efek langsung alexithymia dapat memberikan kontribusi tidak langsung agresi melalui faktor mediasi, seperti impulsif dan disregulasi emosi Fonagy, 2004. Impulsif dan Agresi Impulsif adalah sifat kepribadian yang ditandai dengan kecenderungan ke arah reaksi yang cepat dan tidak terencana rangsangan internal atau eksternal tanpa memperhatikan konsekuensi negatif dari reaksi ini untuk diri sendiri dan lainnya Hamilton et al. , 2015 Moeller, Barratt, Dougherty, Schmitz, Swann, 2001.

Metode

·         Teknik pengumpulan data atau metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan pengukuran sesuai dengan dengan variabelnya sendiri yaitu 1. Alexithymia menggunakan alat ukur Toronto Alexithymia Scale-20 (TAS-20; Bagby, Parker, & Taylor, 1994). 2. Impulsif.Sifat impulsif dinilai menggunakan Barratt Impulsiveness Scale-11 (BIS-11; Patton et al., 1995), yang terdiri dari 30 item yang diberi peringkat pada skala Likert 4 poin. 3. Disregulasi Emosi menggunakan Kesulitan dalam Skala Regulasi Emosi (DERS; Gratz & Roemer, 2004). 4. Agresi. Agresi sifat diukur dengan Kuesioner Agresi (AQ; Buss & Perry, 1992)

Hasil

Peserta dalam sampel masyarakat secara signifikan, meskipun sedikit, lebih muda dari peserta di sampel pelaku,T(463,4) = 2,27,P< .05. Oleh karena itu, semua analisis selanjutnya diadakan berulang kali konstan efek usia, dan hasil tetap hampir tidak berubah. Tabel 1 menunjukkan statistik deskriptif dan perbandingan kelompok untuk semua variabel penelitian. Sampel pelaku melaporkan skor yang jauh lebih besar daripada peserta komunitas pada AQ Physical Aggression, Hostility, dan skor total. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua sampel terjadi pada skor total TAS-20, BIS-11, dan DERS. Namun, pelaku mencetak gol rata-rata secara signifikan lebih tinggi daripada peserta masyarakat pada subskala DIF TAS-20 dan pada Skala penolakan DERS. Selanjutnya, sampel pelaku melaporkan tingkat yang jauh lebih tinggi tekanan psikopatologis (GSI).Semua perbedaan kelompok ini signifikan juga menentukan signifikansinya nilai diP< .025 menggunakan koreksi Bonferroni untuk beberapa perbandingan.Sebagai catatan, ukuran efek menunjukkan hal itu perbedaan-perbedaan ini semua kecil dalam besarnya.

Pemeriksaan matriks korelasi (Tabel 2) mengungkapkan bahwa variabel penelitian sebagian besar saling berhubungan pada kedua sampel. Satu-satunya pengecualian yang perlu diperhatikan adalah skala Kesadaran DERS dan Verbal Skala agresi AQ, yang sebagian besar tidak berkorelasi dengan variabel lain. Korelasi parsial mengendalikan skor pada GSI mengungkapkan bahwa hanya 22 dari 240 koefisien korelasi (9%) yang berubah secara substansial. Skor total TAS-20, BIS-11, DERS, dan AQ secara signifikan berkorelasi dengan masing-masing lainnya, denganRberkisar antara 0,34 (TAS-20/AQ pada sampel masyarakat) dan 0,65 (TAS-20/DERS pada sampel pelaku).

Hasil analisis regresi ditampilkan pada Tabel 3. Sepanjang semua analisis regresi, Varians Nilai Faktor Inflasi VIF tidak pernah melebihi 2,8, menunjukkan bahwa multikolinearitas tidak membiaskan regresi hasil. Dalam sampel pelaku, model regresi signifikan untuk agresi fisik, kemarahan, dan permusuhan, kira-kira menjelaskan masing-masing 29, 34, dan 27 varian. Untuk ketiga model ini, semua langkahnya adalah signifikan, menunjukkan bahwa subskala BIS-11 secara signifikan menjelaskan porsi varians tambahan setelahnya memperhitungkan subskala TAS-20, dan bahwa subskala DERS secara signifikan menjelaskan sejumlah varian di atas dan di luar subskala TAS-20 dan BIS-11. Subskala berikut muncul sebagai prediktor independen dari dimensi AQ. Skala DIF dari TAS-20, skala Motor Impulsivitas dari BIS-11, dan Skala Urgensi Negatif dari DERS secara signifikan terkait dengan agresi fisik. Skala DIF dari TAS-20, skala Motor Impulsivitas dan Attentional Impulsivitas dari BIS-11, serta Nonacceptance dan skala Urgensi Negatif dari DERS secara signifikan terkait dengan kemarahan. Skala DIF dan DDF dari TAS-20, skala Attentional Impulsivity dari BIS-11, dan skala Nonacceptance dari DERS adalah sangat berhubungan dengan permusuhan. Semua koefisien positif, menunjukkan bahwa tingkat alexithymia yang lebih tinggi, aspek impulsif, dan disregulasi emosi dikaitkan dengan skor yang lebih tinggi pada dimensi agresi. Masukkan Tabel 4 di sini Dalam sampel masyarakat, model regresi Tabel 3 secara signifikan menjelaskan sebagian dari varians dalam semua dimensi AQ. Dalam model yang memprediksi skor pada subskala Agresi Fisik, Kemarahan, dan Permusuhan dari AQ masing-masing 28, 41, dan 41 varians dijelaskan, semua langkah signifikan, menunjukkan bahwa Subskala BIS-11 secara signifikan menjelaskan porsi varians tambahan setelah memperhitungkan TAS-20 subskala, dan bahwa subskala DERS secara signifikan menjelaskan jumlah varian di atas dan di luar TAS-20 dan subskala BIS-11. Subskala berikut muncul sebagai prediktor independen dari dimensi-dimensi AQ ini. Skala DIF dari TAS-20, skala Impulsivitas Motorik dan Impulsif Perhatian dari BIS-11, dan Skala Urgensi Negatif dari DERS secara signifikan terkait dengan agresi fisik. Skala DIF dari TAS-20, skala Impulsif Motorik dan Impulsif Perhatian dari BIS-11, dan Urgensi Negatif skala DERS secara signifikan terkait dengan kemarahan. Tingkat kemarahan juga berhubungan negatif dengan Subskala kejelasan dari DERS. Skala DIF dan DDF dari TAS-20, skala Impulsif Perhatian dari BIS-11, serta skala Nonacceptance, Negative Urgency, dan Strategies dari DERS secara signifikan berhubungan dengan permusuhan. Kecuali hubungan antara kejernihan emosi dan kemarahan, semua koefisien positif, menunjukkan bahwa tingkat alexithymia, impulsif, dan disregulasi emosi yang lebih tinggi terkait dengan skor yang lebih tinggi pada dimensi agresi.

Diskusi

Penelitian ini termasuk yang pertama meneliti peran alexithymia, disregulasi emosi, dan aspek impulsif - serta hubungan mereka - dalam menjelaskan dimensi agresi di antara pelaku kekerasan. Temuan sebagian besar konsisten dengan hipotesis penelitian dan melayani tujuan untuk mengidentifikasi potensi target untuk perawatan agresi (Hamby, McDonald, & Grych, 2014).Singkatnya, beberapa disregulasi emosi aspek (yaitu, urgensi negatif, nonacceptance emosional, dan - pada tingkat lebih rendah - regulasi emosi yang terbatas strategi)menjelaskan variasi inkremental dalam semua dimensi agresi, di atas dan di luar pengaruh alexithymia dan impulsif (Hipotesis 1). Selanjutnya, disregulasi emosi secara konsisten memediasi hubungan tersebut antara alexithymia dan agresi, sedangkan – hanya sebagian sesuai dengan hipotesis – peran mediasi impulsif agak terbatas pada agresi fisik dan, pada tingkat lebih rendah, kemarahan (Hipotesis 2).

Sabtu, 29 April 2023

Essay 3 Review Jurnal : Pengaruh Pendidikan Formal, Pelatihan, Dan Intensitas Pertemuan Terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian

 Pengaruh Pendidikan Formal, Pelatihan, Dan  Intensitas Pertemuan Terhadap Kompetensi  Penyuluh Pertanian

Essay 3

ANDIKA SATRIA SURYA PAMUNGKAS (22310410068)
Dosen Pengampu : Dr.,Dra.ARUNDATI SHINTA,MA
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta


Topik

Pengaruh Pendidikan Formal, Pelatihan, Dan  Intensitas Pertemuan Terhadap Kompetensi  Penyuluh Pertanian

Sumber

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Vol. 19, Nomor 1, Hal. 50 – 62

Permasalahan

Penyuluh pertanian Pegawai Negeri Sipil  garapan padi di Kabupaten Karawang dan  penyuluh garapan sayuran di Kabupaten  Garut Provinsi Jawa Barat kurang diperhatikan.

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengidentifikasi tingkat pendidikan  formal, intensitas pelatihan, intensitas  pertemuan antarpenyuluh, dan kompetensi  penyuluh pertanian.  

2. Untuk mengidentifikasi pengaruh tingkat  pendidikan formal, intensitas pelatihan, dan  intensitas pertemuan antarpenyuluh  terhadap peningkatan kompetensi penyuluh  pertanian.

Isi

1. Tingkat pendidikan formal yang diikuti penyuluh setelah menjadi penyuluh PNS tidak cukup signifikan berpengaruh dalam membentuk kompetensi penyuluh pertanian.

2. Intensitas mengikuti pertemuan antarpenyuluh yang tinggi berpengaruh signifikan terhadap kompetensi penyuluh pertanian.

3. Intensitas mengikuti pelatihan yang sangat rendah berpengaruh signifikan terhadap kompetensi penyuluh pertanian yang juga rendah.

4. Kontribusi variabel intensitas mengikuti pertemuan antarpenyuluh dan intensitas mengikuti pelatihan terhadap kompetensi penyuluh pertanian sebesar 30,9%. Ini berarti masih terdapat sekitar 69.1%

Metode Penelitian

1. Menggunakan metode survei, yaitu cross  sectional survey.  

2. Variabel yang diteliti yaitu :

•Tingkat pendidikan formal (X1)

•Intensitas pelatihan (X2)

•Intensitas pertemuan antarpenyuluh (X3) – Kompetensi penyuluh pertanian (Y)



3. Sampel diambil secara random  

menggunakan teknik random sampling  dengan menggunakan rumus Slovin

4. Jumlah sampel sebanyak 170 orang, yang  terdiri dari 80 orang penyuluh yang bertugas  di pertanian padi dan 90 orang penyuluh  yang bertugas di pertanian sayuran.

5. Instrumen penelitian :

– Uji validitas : validitas isi (content validity) dan validitas konstruk (construct validity).

– Reliabilitas : data diolah dengan  

menggunakan teknik Alpha Cronbach.

6. Pengumpulan data : menggunakan  beberapa cara, yaitu: pengamatan  

(observation), kuesioner (questioner), dan  wawancara (interview).

7. Pengolahan data digunakan analisis


Hasil

1. Tingkat pendidikan formal yang dilakukan  penyuluh cukup menyebar yaitu 34% dalam  katagori sedang, 28% dalam katagori rendah,

21% sangat rendah, dan hanya 17% dalam  katagori tinggi. Namun dari rata-rata skor  sebesar 50, berada dalam katagori rendah  (skor 26 s.d. 50).  

2. Intensitas pertemuan antarpenyuluh  sebagian besar (78%) dalam katagori tinggi.  Begitupun rata-rata skor (sebesar 93) yaitu  ada dalam katagori tinggi (skor 76 s.d. 100).  Pertemuan antarpenyuluh ini rutin dilakukan  sebulan dua kali. Tempat pertemuan  dilaksanakan di tingkat kecamatan masing masing atau kadang-kadang ditingkat  kabupaten.

3. Intensitas pelatihan yang diikuti penyuluh  dalam lima tahun terakhir menunjukkan

sebagian besar (71%) sangat rendah. Begitu  pula rata-rata skor sebesar 20, berada dalam  katagori sangat rendah (skor 0 s.d. 25).

4. Kompetensi penyuluh menunjukkan lebih  dari setengahnya (64%) dalam katagori  rendah. Begitu pula rata-rata skor berada  dalam katagori rendah (skor 26 s.d. 50).

5. Hasil uji regresi berganda diketahui bahwa  yang berpengaruh signifikan dan positif  terhadap kompetensi penyuluh yaitu:

1) Intensitas pertemuan antarpenyuluh  (p=0,000)

2) Intensitas pelatihan (p=0,000)

3) Tingkat pendidikan formal lanjutan  terbukti tidak berpengaruhsecara signifikan  (p=0,680)

6. Nilai R Square diketahui sebesar 0,309.  Artinya, kontribusi varaibel intensitas  pertemuan dan intensitas pelatihan terhadap kompetensi penyuluh sebesar 30,9%. Ini  berarti masih terdapat sekitar 69.1% variabel lain yang mempengaruhi kompetensi  penyuluh di luar kedua variabel tersebut.