Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Rabu, 30 Juni 2021

Faktor Kekerasan / Agresifitas Terhadap Pasangan

 Tulisan ini dibuat untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Psikologi Sosial I

Semester Genap 2020/2021

Muhammad Setiawan Hendianto NIM. 20310410031

Dosen Pengampu : Dr., Dra. Arundati Shinta, M.A

Fakultas Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta







Secara umum, kekerasan dapat didefinisikan sebagai perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau hilangnya nyawa seseorang atau dapat menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Secara sosiologis, kekerasan di lingkup sosial mungkin saja terjadi karena adanya pengabaiaan norma dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat tersebut oleh individu atau suatu kelompok. menurut psikologi sosial agresi merupakan sebuah bentuk dalam sebuah perilaku yang memiliki tujuan untuk menyakiti seseorang. Dalam hal ini menyakiti bisa secara psikis, namun bisa juga dengan cara fisik.

Menurut Buss dan Perry (1992) mengelompokkan agresivitas kedalam 4 bentuk agresi, yaitu:

1. Agresi fisik

Merupakan komponen perilaku motorik, seperti melukai dan menyakiti orang secara fisik. Contohnya terjadinya perkelahian antar pelajar yang mengakibatkan beberapa orang terluka parah.

            2.  Agresi verbal

Merupakan komponen motorik, seperti melukai dan menyakiti orang lain dengan menggunakan verbal atau perkataan. Misalnya seperti mencaci maki, berkata kasar, berdebat, menunjukkan ketidaksukaan atau ketidaksetujuan, menyebarkan gosip, dan lain-lain. Contohnya, beberapa siswa yang saling mengejek satu sama lainnya dengan ejekan yang menyakitkan.

            3. Agresi marah

Merupakan emosi atau afektif, seperti munculnya kesiapan psikologis untuk bertindak agresif. Misalnya kesal, hilang kesabaran dan tidak mampu mengontrol rasa marah. Contohnya, seseorang akan kesal kalau dituduh melakukan kejahatan yang tidak pernah dilakukannya.

         4. Sikap permusuhan, meliputi komponen kognitif, seperti benci dan curiga pada orang lain, iri hati dan merasa tidak adil dalam kehidupan. Contohnya, seseorang sering merasa curiga. terhadap orang lain, yang dikiranya menaruh dendam pada dirinya, padahal orang lain tersebut tidak dendam terhadapnya.


a. Faktor individu perempuan, jika dilihat dari bentuk pengesahan perkawinan, seperti melalui kawin siri, secara agama, adat, kontrak, atau lainnya perempuan yang menikah secara siri, kontrak, dan lainnya berpotensi 1,42 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang menikah secara resmi diakui negara melalui catatan sipil atau KUA.

Selain itu, faktor seringnya bertengkar dengan suami, perempuan dengan faktor ini beresiko 3,95 kali lebih tinggi mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual, dibandingkan yang jarang bertengkar dengan suami/pasangan. Perempuan yang sering menyerang suami/pasangan terlebih dahulu juga beresiko 6 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah menyerang suami/pasangan lebih dahulu.

b. Faktor pasangan, perempuan yang suaminya memiliki pasangan lain beresiko 1,34 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang suaminya tidak mempunyai istri/pasangan lain. Begitu juga dengan perempuan yang suaminya berselingkuh dengan perempuan lain cenderung mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2,48 kali lebih besar dibandingkan yang tidak berselingkuh.

Disamping itu, ada pula perempuan yang memiliki suami menggangur beresiko 1,36 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang pasangannya bekerja/tidak menganggur. Faktor suami yang pernah minum miras, perempuan dengan kondisi suami tersebut cenderung 1,56 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang suaminya tidak pernah minum miras. Begitu juga dengan perempuan yang memiliki suami suka mabuk minimal seminggu sekali, beresiko 2,25 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah mabuk.

Perempuan dengan suami  pengguna narkotika beresiko mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2 kali lebih besar dibandingkan yang tidak pernah menggunakan narkotika. Perempuan yang memiliki suami pengguna narkotika tercatat 45,1% mengalami kekerasan fisik, 35,6% mengalami kekerasan seksual, 54,7% mengalami kekerasan fisikdan/seksual, 59,3% mengalami kekerasan ekonomi, 61,3% mengalami kekerasan emosional/psikis, dan yang paling tinggi yaitu 74,8% mengalami kekerasan pembatasan aktivitas. Selain itu faktor suami yang pernah berkelahi fisik dengan orang lain, perempuan dengan suami kondisi ini beresiko 1,87 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah berkelahi fisik.

c. Faktor ekonomi, perempuan yang berasal dari rumahtangga dengan tingkat kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan. Perempuan yang berasal dari rumahtangga pada kelompok 25% termiskin memiliki risiko 1,4 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan kelompok 25% terkaya. Aspek ekonomi merupakan aspek yang lebih dominan menjadi faktor kekerasan pada perempuan dibandingkan dengan aspek pendidikan. Hal ini paling tidak diindikasikan oleh pekerjaan pelaku yang sebagian besar adalah buruh, dimana kita tahu bahwa tingkat upah buruh di Indonesia masih tergolong rendah dan hal ini berdampak pada tingkat kesejahteraan rumahtangga.

d. Faktor sosial budaya, seperti timbulnya rasa khawatir akan bahaya kejahatan yang mengancam. Perempuan yang selalu dibayangi kekhawatiran ini memiliki risiko 1,68 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan, dibandingkan mereka yang tidak merasa khawatir. Perempuan yang tinggal di daerah perkotaan memiliki risiko 1,2 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perdesaan




Daftar Pustaka :

Shinta, A., Rohyati, E., Handayani, D. & Widiantoro, W. (2016). Maximizing the passive-aggressive employees’ performance. ASEAN Seminar, Psychology Faculty, Muhammadiyah University in Malang, February. Retrieved on June 27, 2021

https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1742/perempuan-rentan-jadi-korban-kdrt-kenali-faktor-penyebabnya

Selasa, 29 Juni 2021

Pencegahan Dan Penanganan Perilaku Agresif Terhadap Remaja

 Tugas ini disusun untuk memenuhi Ujian Psikologi Sosial I

Semester Genap 2020/2021

Ade Rei Enggi Wijaya (20310410034)

Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta, M.A

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta


Perilaku agresif di kalangan remaja, khususnya pelajar sekolah menengah atas, dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari jumlahnya maupun variasi bentuk perilaku agresif yang dimunculkan. Perilaku agresif seperti pelanggaran berupa penggunaan senjata tajam, penganiayaan, pengeroyokan, pencabulan, pemerkosaan, termasuk pencurian dan penggelapan. Rentang usia pelaku berkisar 12 hingga 18 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat sejumlah siswa yang memiliki agresivitas yang tinggi dan mereka tidak ragu‐ragu untuk menyerang atau menyakiti orang lain, yang juga menggambarkan bahwa para siswa memiliki kontrol diri yang lemah sebagaimana hasil penelitian Elfida (1995) yang menyatakan bahwa kemampuan mengontrol diri berhubungan negatif dengan kecenderungan berperilaku delinkuen, termasuk didalamnya adalah perilaku agresif.

Perilaku agresif pada remaja terjadi karena banyak faktor yang menyebabkan, mempengaruhi, atau memperbesar peluang munculnya, seperti faktor biologis, temperamen yang sulit, pengaruh pergaulan yang negatif, penggunaan narkoba, pengaruh tayangan kekerasan, dan lain sebagainya. Dalam penelitian longitudinal terhadap remaja, Elliott Tremblay & Cairns , menemukan bahwa terdapat peningkatan tindakan kekerasan pada anak laki‐laki maupun perempuan pada usia 12 tahun sampai 17 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahap perkembangannya, remaja tergolong rentan berperilaku agresif, terutama jika terdapat faktor risiko yang menyertainya. Remaja yang agresif memiliki toleransi yang rendah terhadap frustasi dan kurang mampu menunda kesenangan, cenderung bereaksi dengan cepat terhadap dorongan agresinya, kurang dapat melakukan refleksi diri dan kurang dapat bertanggung jawab atas akibat perbuatannya .

Perilaku agresif diartikan sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk melukai atau menyakiti orang lain, baik fisik maupun psikis, yang menimbulkan kerugian atau bahaya bagi orang lain atau merusak milik orang lain . Menurut teori cognitive neoassociationist model (Berkowitz, 1995) dan teori general affective aggression model (GAAM) dari Anderson (dalam Lindsay & Anderson, 2000) penyebab munculnya perilaku agresif adalah situasi yang tidak menyenangkan atau mengganggu, dan adanya faktor individual dan situasional yang dapat saling berinteraksi mempengaruhi kondisi internal seseorang. Terdapat keterkaitan antara aspek afektif, kognitif, dan arousal yang bereaksi dan berproses terhadap stimulus yang ada dan memunculkan perasaan negatif, serta adanya peran proses kognitif dalam menentukan perilaku yang dimunculkan oleh remaja .

Solusi yang tepat untuk mengatasi perilaku agresif pada anak berdasarkan fakta , maka remaja yang memiliki tingkat amarah yang tinggi dan berisiko berperilaku agresif, perlu mendapatkan perhatian dengan memberi‐kan penanganan yang tepat dalam menge‐lola amarah dan mengendalikan dorongan agresinya. Wilkowski & Robinson (2008) menya‐takan bahwa amarah merupakan kondisi perasaan internal yang secara khusus berkaitan dengan meningkatnya dorongan untuk menyakiti orang lain, sedangkan agresi terkait langsung dengan Tindakan nyata menyakiti orang lain. Menurut teori integrasi kognitif tentang trait‐anger yang diajukan, individu yang memiliki trait‐anger yang tinggi lebih cenderung mengalami bias dalam menginterpretasi suatu situasi provokatif yang selanjutnya memicu proses yang secara spontan me‐ningkatkan amarah dan dorongan agresi‐nya.

Berdasar teori ini pula, program pengelolaan amarah dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan remaja mengendalikan diri melalui proses kognitif sehingga diharapkan kecenderungan ama‐rah dan perilaku agresifnya dapat dikurangi . Program yang dinilai efektif untuk mengurangi agresivitas, baik sebagai pencegahan maupun penanganan, adalah yang menggunakan pendekatan kognitif‐ perilakuan karena tidak hanya focus pada aspek kognitif saja, namun juga memperhitungkan fungsi individu pada aspek afektif dan perilaku. Perubahan pada salah satu aspek akan diikuti oleh peru‐bahan pada aspek yang lainnya .



DAFTAR PUSTAKA

Siddiqah, L. (2010). Pencegahan dan Penanganan Perilaku Agresif Remaja Melalui Pengelolaan Amarah (Anger Management). JURNAL PSIKOLOGI VOLUME 37, NO. 1, JUNI 2010: 50 – 64. ( https://media.neliti.com/media/publications/127368-ID-pencegahan-dan-penanganan-perilaku-agres.pdf )

Atmawati, D. (2011). Prinsip pollyanna dalam wacana dakwah (Kajian pragmatik). Kajian Lingusitik dan Sastra. 23(1), Juni, 55-65. ( http://journals.ums.ac.id/index.php/KLS/article/view/4321 )

 

Siby, P.S. (2020). Perilaku agresif. Manado Post. 4 Nov. Retrieved on June 27, 2021. ( https://manadopost.jawapos.com/opini/04/11/2020/perilaku-agresif/ )

Meminimalisir Perilaku Agresif dengan Prinsip Pollyanna dan Psikodrama

  Meminimalisir Perilaku Agresif dengan Prinsip Pollyanna dan Psikodrama 

Essay Ujian Akhir Semester Psikologi Sosial I

(Semester Genap 2020/2021)

Shafadita Putri Trisdianty  (20310410042)

Fakultas Psikologi Universitas 45 Yogyakarta

Dosen Pengampu: Dr. Arundati Shinta, M.A


Psikolog sosial mendefinisikan agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk merugikan individu lain yang tidak ingin dirugikan (Baron & Richardson, 1994). Keadaan remaja di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi remaja saat ini yang cenderung lebih bebas dan jarang memperhatikan nilai moral yang terkandung dalam setiap perbuatan yang mereka lakukan. Remaja mempunyai sifat yang cenderung lebih agresif, emosi tidak stabil, dan tidak bisa menahan dorongan nafsu. Pada masa pubertas atau masa menjelang dewasa, remaja mengalami banyak pengaruh-pengaruh dari luar yang menyebabkan remaja terbawa pengaruh oleh lingkungan tersebut. Hal tersebut mengakibatkan remaja yang tidak bisa menyesuaikan atau beradaptasi dengan lingkungan yang selalu berubah-ubah akan melakukan perilaku yang maladaptif, seperti contohnya perilaku agresif yang dapat merugikan orang lain dan juga diri sendiri (Santrock, 2002).

Unsur pengalaman hidup mempengaruhi terjadinya perilaku menyimpang melalui pengalaman hidup yang tidak nyaman. Misalnya, momen sedih di masa remaja yang tidak didukung secara memadai akan memprediksi perilaku marah dan menyimpang (Myers, 2000). Unsur-unsur keturunan dan pengalaman hidup adalah akar dari kepribadian (Wood, 1998). Menurut Sofyan (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif pada remaja meliputi : Kondisi pribadi remaja, Lingkungan keluarga, Lingkungan masyarakat dan Lingkungan sekolah. Contoh dari perilaku agresif remaja yaitu seperti memaki, tawuran, penganiayaan, penyiksaan dan pemerkosaan, bahkan sampai menghilangkan nyawa (Sarwono & Meinarno, 2009).Cara-cara dalam mengendalikan rasa marah dan perilaku agresi bisa dengan mengalihkan rasa marah pada objek yang dipandang lebih aman dan tidak langsung mengekspresikan impuls yang tidak diharapkan kepada sumber agresi, selanjutnya katarsis diri berupa mengeluarkan emosi negatif berupa rasa amarah dan frustasi dengan berteriak kencang, menangis, membanting barang, menulis diary, dan lainnya yang berkaitan dengan meluapkan emosi (Rahman,2018:212).

Perilaku agresif dapat di minimalisir dengan menerapkan prinsip pollyanna. Prinsip pollyanna menggambarkan kecenderungan orang untuk setuju dengan pernyataan positif mengenai diri mereka. Dia optimis dan tidak hanya melihat sesuatu yang baik untuk dirinya, tetapi juga sesuatu yang baik untuk orang lain.

1. Memandang Hidup secara Positif

Peran pola berpikir sangat penting dalam menghadapi permasalahan atau peristiwa yang tidak mengenakkan, individu bisa menjadi seorang yang optimis atau malah menjadi pesimis. Menurut Albrecht (Susetyo, 1998) manifestasi perasaan dapat diarahkan membentuk emosi yang positif dengan pemikiran positif.

2. Menyampaikan Hal-hal yang Menyenangkan.

Jika seseorang membuat kesal orang lain dengan perilaku kasar, tidak tahu cara membawa dan memposisikan diri, atau ambruk hanya karena stress sedikit saja, maka orang lain tidak akan betah bersamanya walau setinggi apapun IQ-nya. Arbadiati (Sabiq & M. As’ad Djalali, 2012) berpendapat bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosi dan memiliki kemampuan dalam merasakan emosi, mengelola dan memanfaatkan emosi secara cerdas dapat memudahlan dalam menjalani kehidupan sebagai makhluk sosial.

Selain menerapkan prinsip pollyanna, kita juga bisa menggunakan teknik  psikodrama yang berorientasi tingkah laku,gestalt, dan efektif membantu konseli agar mengalami kualitas emosional  dari  suatu  peristiwa.  Para  anggota psikodrama mempraktikkan model peran tanpa latihan terlebih dahulu dengan pemimpin kelompok sebagai sutradara, anggota kelompok lainnya adalah aktor dengan protagonis. Subjek diajak untuk merefleksikan perilaku agresif yang telah   dilakukan dan mengetahui dampak negatif perilaku agresif yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Subjek memainkan peran yang sesuai dengan keadaan dirinya, pemain peran leluasa mengungkapkan segala yang ada dalam dirinya.  Setelah  peran  diberikan  refleksi  dan masukan dari   anggota   yang   menyaksikan peran yang   dimainkan,   sehingga   menjadi gambaran   tenang   keadaan   dirinya.

Kita sebagai mahasiswa psikologi harus bisa konsisten mengurangi rasa cemas dengan tidak mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu terjadi, dan juga terus mengembangkan kecerdasan emosi yaitu dengan meningkatkan kesadaran diri, memotivasi diri sendiri, dan mampu menjaga hubungan sosial, serta menurunkan perilaku Kecenderungan perilaku agresivitas sehingga tidak merugikan orang lain baik secara fisik maupun non fisik.

Referensi :

Atmawati, D. (2011). Prinsip pollyanna dalam wacana dakwah (Kajian pragmatik). Kajian Lingusitik dan Sastra. 23(1), Juni, 55-65.

Pangastuti, Maya. 2014. PENGARUH PELATIHAN BERPIKIR POSITIF TERHADAP PENURUNAN TINGKAT KECEMASAN MENGHADAPI UJIAN NASIONAL PADA SISWA DAN SISWI SEKOLAH MENENGAH ATAS. Jurnal Psikologi Integratif, 2(1). 42-52.

Salmiati, 2015. Perilaku agresif Dan penanganannya (Studi Kasus Pada Siswa SMP Negri 8 Makassar). Jurnal Psikologi Pendidikan &  Konseling, 1(1)

Shinta, A., Rohyati, E., Handayani, D. & Widiantoro, W. (2016). Maximizing the passive-aggressive employees’ performance. ASEAN Seminar, Psychology Faculty, Muhammadiyah University in Malang, February. Retrieved on June 27, 2021 from: https://mpsi.umm.ac.id/files/file/647-651%20Arundati%20Shinta,%20Eny%20Rohyati,%20Wahyu%20Widiantoro,%20Dewi%20Handayani.pdf

Siby, P.S. (2020). Perilaku agresif. Manado Post. 4 Nov. Retrieved on June 27, 2021 from: https://manadopost.jawapos.com/opini/04/11/2020/perilaku-agresif/

Yanizon, A., Vina Sesriani. 2019. PENYEBAB MUNCULNYA PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA. Jurnal KOPASTA, 6(1), 23-36.


  Tulisan ini dibuat untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Psikologi Sosial I

Semester Genap 2020/2021

Setya Pramudi  NIM. 20310410032

Dosen Pengampu : Dr., Dra. Arundati Shinta, M.A

Fakultas Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta


Ahli psikologi menggunakan istilah kekerasan untuk merujuk pada agresi yang tujuannya menyebabkan kerusakan fisik yang ekstrem, seperti cedera atau kematian. Jadi kekerasan adalah bagian dari agresi. Semua tindakan kekerasan bersifat agresif, tetapi hanya tindakan yang dimaksudkan untuk menyebabkan kerusakan fisik yang ekstrem, seperti pembunuhan, penyerangan, pemerkosaan, dan perampokan, perusakan sarana prasarana fasilitas umum, dan juga perilaku destruktif lainnya yang merupakan kekerasan. Dalam KBBI, kekerasan didefinisikan dengan perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.

 

Perilaku agresif merupakan perasaan marah atau tindakan kasar akibat kekecewaan atau kegagalan dalam mencapai pemuasan atau tujuan, yang dapat diarahkan kepada orang atau benda, perbuatan bermusuhan yang dapat diarahkan kepada orang atau benda, sifat atau nafsu menyerang sesuatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengecewakan, menghalangi, atau menghambat (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2011).

 

Dari sudut pandang psikologi, ada sejumlah teori besar yang mendasari pemikiran mengenai agresi, antara lain teori instinct oleh Sigmund Frued, teori survival oleh Charles Darwin dan teori social learning oleh Neil Miller dan John Dollard, yang kemudian dikembangkan lagi oleh Albert Bandura. Teori Freud memandang perilaku agresif sebagai hal yang intrinsik dan merupakan instinct yang melekat pada diri manusia. Selanjutnya Darwin dengan teori survival-nya memandang bahwa secara historis, perilaku agresif ini dianggap sebagai suatu tindakan manusia untuk kebutuhan survival agar tetap dapat menjaga dan mengembangkan kemanusiawiannya ataupun membangun dan mengembangkan komunitas. Teori social learning yang dipelopori oleh Neil Miller dan John Dollard yang meyakini bahwa perilaku agresif merupakan perolehan daripada hasil belajar yang dipelajari sejak kecil dan dijadikan sebagai pola respon. Dalam perkembangannya selanjutnya, Bandura dan Walters mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima.

 

Ada tujuh perspektif agresif dalam ranah psikologi menurut Krahe (dalam Badrun Susantyo,2011), yaitu:

 

a) Perspektif psikoanalisis. Menurut Freud, manusia selalu mempunyai potensi bahwa sadar yaitu suatu dorongan untuk merusak diri atau thanatos. Operasionalisasi dorongan tersebut dikatakan oleh Baron dan Byrne (1994) dapat dilakukan melalui perilaku agresif, dialihkan pada objek yang dijadikan kambing hitam/ korban, atau mungkin disublimasikan dengan cara-cara yang lebih bisa diterima masyarakat;

b) Perspektif frustrasi-agresi. Salah satu teori agresi paling awal, diajukan pada tahun 1939 oleh sekelompok lima psikolog Yale: John Dollard, Neal E. Miller, Leonard W. Doob, Orval H. Mowrer, dan Robert R. Sears. Mereka mendefinisikan frustrasi sebagai sesuatu yang menghalangi atau mengganggu tujuan (definisi yang secara khusus mengecualikan reaksi emosional terhadap tujuan yang diblokir), dan mereka mendefinisikan agresi sebagai perilaku yang tujuannya adalah melukai atau melukai target

c) Perspektif neo-asosianisme kognitif, atau dikenal sebagai teori pengaruh negatif. Disampaikan oleh psikolog sosial Leonard Berkowitz, yang merupakan pengembangan dari hipotesis frustasi-agresi. Teori tersebut menyatakan bahwa pengalaman atau pengaruh tertentu dapat berkontribusi terhadap timbulnya perasaan atau perilaku agresif. Perspektif ini menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan akan menstimulasi perasaan negative, kemudian, perasaan negatif selanjutnya akan menstimulasi secara otomatis dan reaksi motorik; yang berasosiasi dengan reaksi melawan atau menyerang.

d) Model pengalihan rangsangan. Dibangun berdasarkan teori emosi dua faktor, yang memiliki pandangan bahwa intensitas pengalaman kemarahan merupakan fungsi dua komponen, yaitu 1) kekuatan rangsangan aversif, dan 2) cara rangsangan itu dijelaskan dan diberi label (Schachter, 1964; Zillmann, 1979). Rangsangan yang dibangkitkan oleh sumber yang tidak berhubungan dengan stimulasi aversif mungkin salah diatribusikan pada kejadian aversif sehingga mengintensifkan kemarahan yang ditimbulkan oleh kejadian semacam itu. Tetapi yang penting dalam hal ini adalah adanya kesadaran tentang sumber asli rangsangan telah hilang, sehingga individu tersebut masih merasakan rangsangan itu namun sudah tidak lagi menyadari asalnya;

e) Perspektif sosial kognitif. Dipelopori oleh Huesmann (1988, 1998) telah memperluas perspektif bahwa cara orang memikirkan kejadian aversif dan reaksi emosional yang mereka alami sebagai sebuah akibat, merupakan aspek penting dalam menentukan manifestasi dan kekuatan respon agresifnya. Pendekatan ini telah menemukan titik temu tentang perbedaan individual dalam agresi sebagai fungsi perbedaan dalam pemrosesan informasi sosial dengan melontarkan dua issue khas yaitu: 1) perkembangan skemata ( kognitif yang mengarahkan performa sosial perilaku agresif, dan 2) cara-cara pemrosesan informasi individu yang agresif dan yang non agresi (Krahe, 2001);

f) Teori pembelajaran sosial. yang dikembangkan secara lebih luas oleh Albert Bandura. Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku agresif merupakan perilaku yang dipelajari dari pengalaman masa lalu apakah melalui pengamatan langsung (imitasi), pengukuh positif, dan karena stimulus diskriminatif. Perilaku agresif juga dapat dipelajari melalui model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa. Perilaku agresi yang disertai pengukuh positif akan meningkatkan perilaku agresi. Pengukuh positif dalam konteks sehari-hari seringkali diekspresikan dengan persetujuan verbal dari orang-orang di sekelilingnya (Wiggins Wiggins & Zanden, 1994). Hal ini sering kali dijumpai pada kelompok yang mempunyai sub budaya agresif separti gang remaja, kelompok militer, maupun kelompok olah raga beladiri seperti tinju, silat dan lain-lain

g) Perspektif model interaksi sosial. Menurut model ini perilaku agresif dipandang sebagai pengaruh sosial yang koersif. Tedeshci dan Felson (1994) telah memperluas analisis perilaku agresif menjadi teori interaksi sosial mengenai tindakan koersif.

Pencegahan perilaku agresif merupakan sebuah upaya besar untuk membina sebuah bangsa yang besar dan berjaya. Oleh karena itu Polri dalam hal ini Polres ataupun Polsek yang merupakan ujung tombak dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat perlu menyusun program-program dalam menghadapi kejahatan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku, seperti melakukan pendekatan dan penyuluhan kepada masyarakat untuk bersama-sama mencegah dan mengatasi perilaku kekerasan dan atau kejahatan. Polri sebagai organisasi pelayan publik bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban publik masyarakat, serta bertugas dalam menegakkan hukum. Polri memiliki beban tugas yang tinggi dalam artian selalu berhadapan dengan imbas dari berbagai persoalan pergolakan ekonomi dan politik, persoalan sosial termasuk diantaranya unjukrasa, tawuran dan perkelahian warga. Petugas selalu mengahadapi situasi yang fluktuatif dan sewaktu-waktu dapat berubah menjadi tidak terkendali. Dalam menangani berbagai situasi tersebut, Polri bertindak dalam mekanisme kontrol dan berpedoman pada SOP.

 

Daftar pustaka :

Siby, P.S. (2020). Perilaku agresif. Manado Post. 4 Nov. Retrieved on June 27, 2021 from: https://manadopost.jawapos.com/opini/04/11/2020/perilaku-agresif/

 

 

AGRESIFITAS, PERMASALAHAN YANG MERUPAKAN CARA KOMUNIKASI LAIN

 

Psikolog sosial mendefinisikan agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk merugikan individu lain yang tidak ingin dirugikan (Baron & Richardson, 1994). Mac Neil dan Stewart menjelaskan bahwa perilaku agresif adalah suatu perilaku atau suatu tindakan yang diniatkan untuk mendominasi atau berperilaku secara destruktif, melalui kekuatan verbal maupun kekuatan fisik, yang diarahkan kepada objek sasaran perilaku agresif. Objek sasaran perilaku meliputi lingkungan fisik, orang lain dan diri sendiri.

Selain bentuk-bentuk agresi yang nyata seperti perkelahian, tawuran, melukai fisik, menyakiti perasaan, atau pun hanya sekedar menuliskan kalimat-kalimat bernada sinis ada juga bentuk agresi yang tidak ditampakkan yaitu disebut passive-aggressive. Pasif-agresif adalah semacam mekanisme pertahanan diri, terutama ketika individu harus menghadapi figur superior yaitu pemimpinnya, pasangannya, atau rekan kerjanya. Di angkatan kerja, angka tersebut dianggap negative dan bermusuhan oleh karyawan pasif-agresif. Namun, mereka berperilaku tidak tegas di depan pemimpin. Pada awalnya mereka pasif (selalu setuju untuk menyelesaikan tugas), tetapi mereka menolak secara agresif untuk melaksanakannya tugas ketika pemimpin pergi (Gaines, 1996).

Di sisi lain, perilaku agresi tersebut merupakan suatu bentuk respon jiwa dan pikiran dalam kita menghadapi sesuatu. Sebuah teori besar yang mendasari pemikiran mengenai agresi, antara lain teori instinct oleh Sigmund Frued, teori survival oleh Charles Darwin dan teori social learning oleh Neil Miller dan John Dollard, yang kemudian dikembangkan lagi oleh Albert Bandura. Teori Freud memandang perilaku agresif sebagai hal yang intrinsik dan merupakan instinct yang melekat pada diri manusia. Selanjutnya Darwin dengan teori survival-nya memandang bahwa secara historis, perilaku agresif ini dianggap sebagai suatu tindakan manusia untuk kebutuhan survival agar tetap dapat menjaga dan mengembangkan kemanusiawiannya ataupun membangun dan mengembangkan komunitas.

Dalam mengatasi permasalahan tersebut agar menjadi sebuah bentuk komunikasi yang baik, maka diperlukan cara-cara yang harus dijadikan prinsip. Yang pertama adalah dengan pengelolaan amarah. Cornell, Peterson, & Richards (1999) menyatakan bahwa amarah merupakan faktor predisposisi dari perilaku agresif dan amarah itu paralel dengan dorongan agresi (Berkowitz, 2003), sehingga inter‐vensi terhadap amarah perlu dilakukan sebagai sarana mengurangi perilaku agresif seseorang. Program yang dinilai efektif untuk mengurangi agresivitas, baik sebagai pencegahan maupun penanganan, adalah yang menggunakan pendekatan kognitif‐ perilakuan (Goldstein & Glick, 1994; Kellner & Tutin, 1995; Kellner & Bry, 1999; Whitfield, 1999; Deffenbacher, Oetting, & DiGiuseppe, 2002; Knorth et al., 2007; Blake & Hamrin, 2007) karena tidak hanya fokus pada aspek kognitif saja, namun juga memperhitungkan fungsi individu pada aspek afektif dan perilaku. Perubahan pada salah satu aspek akan diikuti oleh peru‐ bahan pada aspek yang lainnya (Martin & Sandra, 2005), yang seringkali disebut sebagai penanganan multikomponen atau multimodal (Sukholdosky et al., dalam Blake & Hamrin, 2007).

Penanganan kedua adalah dengan menerapkan prinsip Pollyana. Matlin dan Stang (1978) memberikan bukti bahwa orang lebih senang dengan rangsangan positif dan menghindari rangsangan negatif; orang memerlukan waktu lebih lama untuk mengenali apa yang tidak menyenangkan/mengancam daripada apa yang menyenangkan dan aman. Menurut prinsip pollyanna otak memproses informasi yang menyenangkan dengan cara lebih cepat dan tepat daripada informasi yang tidak menyenangkan.

 

 

Daftar Pustaka:

 

Atmawati, D. (2011). Prinsip pollyanna dalam wacana dakwah (Kajian pragmatik). Kajian Lingusitik dan Sastra. 23(1), Juni, 55-65.

Laela Siddiqah (2010). Pencegahan dan Penanganan Perilaku Agresif Remaja Melalui Pengelolaan Amarah   (Anger Management). JURNAL PSIKOLOGI VOLUME 37, NO. 1, JUNI 2010: 50 – 64

Shinta, A., Rohyati, E., Handayani, D. & Widiantoro, W. (2016). Maximizing the passive-aggressive employees’ performance. ASEAN Seminar, Psychology Faculty, Muhammadiyah University in Malang, February. Retrieved on June 27, 2021 from:

https://mpsi.umm.ac.id/files/file/647-651%20Arundati%20Shinta,%20Eny%20Rohyati,%20Wahyu%20Widiantoro,%20Dewi%20Handayani.pdf

Siby, P.S. (2020). Perilaku agresif. Manado Post. 4 Nov. Retrieved on June 27, 2021 from: https://manadopost.jawapos.com/opini/04/11/2020/perilaku-agresif/

PERILAKU AGRESIF DIKALANGAN REMAJA SEBAGAI GENERASI PENERUS BANGSA

 Tulisan ini dibuat untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Psikologi Sosial I

Semester Genap 2020/2021

Ikhsan Arifudin NIM. 20310410029

Dosen Pengampu : Dr., Dra. Arundati Shinta, M.A

Fakultas Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta



Saat ini banyak terjadinya tindak/ aksi kekerasan yang berkaitan dengan perilaku agresif di kalangan masyarakat, baik individu maupun massal. Tindakan tersebut dapat berupa kekerasan verbal maupun kekerasan fisik. Secara faktual perilaku tindak kekerasan tersebut menimbulkan banyak kerugian bagi orang lain. Banyak kasus kekerasan yang terjadi merupakan manifestasi dari perilaku agresif, baik kekerasan secara verbal maupun non verbal.

Perilaku agresif merupakan perasaan marah atau tindakan kasar akibat kekecewaan atau kegagalan dalam mencapai pemuasan atau tujuan, yang dapat diarahkan kepada orang atau benda, perbuatan bermusuhan yang dapat diarahkan kepada orang atau benda, sifat atau nafsu menyerang sesuatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengecewakan, menghalangi, atau menghambat (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2011).

Menurut Buss dan Perry (1992) mengelompokkan agresivitas kedalam 4 bentuk agresi, yaitu:

1. Agresi fisik

Merupakan komponen perilaku motorik, seperti melukai dan menyakiti orang secara fisik. Contohnya terjadinya perkelahian antar pelajar yang mengakibatkan beberapa orang terluka parah.

            2.  Agresi verbal

Merupakan komponen motorik, seperti melukai dan menyakiti orang lain dengan menggunakan verbal atau perkataan. Misalnya seperti mencaci maki, berkata kasar, berdebat, menunjukkan ketidaksukaan atau ketidaksetujuan, menyebarkan gosip, dan lain-lain. Contohnya, beberapa siswa yang saling mengejek satu sama lainnya dengan ejekan yang menyakitkan.

            3. Agresi marah

Merupakan emosi atau afektif, seperti munculnya kesiapan psikologis untuk bertindak agresif. Misalnya kesal, hilang kesabaran dan tidak mampu mengontrol rasa marah. Contohnya, seseorang akan kesal kalau dituduh melakukan kejahatan yang tidak pernah dilakukannya.

         4. Sikap permusuhan, meliputi komponen kognitif, seperti benci dan curiga pada orang lain, iri hati dan merasa tidak adil dalam kehidupan. Contohnya, seseorang sering merasa curiga. terhadap orang lain, yang dikiranya menaruh dendam pada dirinya, padahal orang lain tersebut tidak dendam terhadapnya.

 

Perilaku agresif dikalangan remaja saat ini memang sangat memprihatinkan seperti adanya bullying, senang melihat kawan susah, masa bodoh dengan musibah yang dialami temannya, acuh tak acuh dengan lingkungannya, hal ini tentunya akan sangat mengkhawatirkan jika dibiarkan begitu saja. Karena remaja yang ada saat ini dalam kurun waktu 20 tahun mendatang akan menjadi pemimpin di Negara Indonesia. Sejatinya seorang pemimpin harus mampu mengendalikan emosinya, mampu mengayomi anggotanya, dan misalnya dalam keadaan marah pun akan tepat tempat, waktu dan sasaran.

Perilaku agresif remaja sangat mungkin bisa dikendalikan dengan adanya fasilitator yang lengkap dan efektif. Fasilitator tersebut bisa dari lingkungan keluarga yaitu ayah ibu, dilingkungan sekolah yaitu guru dan bimbingan konseling, dan organisasi atau lingkungannya dalam bergaul. Saya berpendapat jika fasilitator tersebut bisa membangun mindset remaja yang cinta tanah air, peduli dengan lingkungannya, dan selalu mengedepankan kejujuran serta sopan santun dalam berperilaku dan bertutur kata maka perilaku agresif seperti itu tidak akan terjadi di Negara ini.

Oleh karena itu marilah kita mulai dari diri kita sendiri dan ajaklah orang lain disekitar kita untuk mengedepankan sikap kejujuran, peduli dengan lingkungan sekitar, menerapkan sikap sopan santun dalam berperilaku dan bertutur kata agar perilaku agresif dilingkungan kita dapat diminimalisir. Semoga tulisan saya ini bermenfaat. Sekian dan terimakasih.

 

Daftar Pustaka

 

Shinta, A., Rohyati, E., Handayani, D. & Widiantoro, W. (2016). Maximizing the passive-aggressive employees’ performance. ASEAN Seminar, Psychology Faculty, Muhammadiyah University in Malang, February. Retrieved on June 27, 2021

Siby, P.S. (2020). Perilaku agresif. Manado Post. 4 Nov. Retrieved on June 27, 2021

https://manadopost.jawapos.com/opini/04/11/2020/perilaku-agresif/


PERILAKU AGRESIF DI LINGKUNGAN REMAJA

 Perilaku Agresif Di Lingkungan Remaja




Tugas Ujian Akhir Semester

Nama : Indri Valeni (20310410050)

Psikologi B

Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, MA

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta




    Berkowitz (2003), mengemukakan bahwa agresi adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk untuk menyakiti individu, baik secara fisik maupun mental. Perilaku ini memiliki potensi untuk melukai orang lain atau suatu benda yang dapat berupa serangan fisik (memukul, menendang, dan menggigit), serangan verbal (membentak, menghina) serta melanggar hak orang lain (mengambil dengan paksa). Lebih lanjut Bekowitz (2003), juga menyatakan bahwa agresi merupakan salah satu perilaku yang dimanifestasikan dalam bentuk menyerang pihak lain dengan tujuan tertentu.


Sarwono (2002), menjelaskan bahwa agresivitas dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :
a. Kondisi Lingkungan : Lingkungan tempat individu berada mampu mempengaruhi kondisi psikis indvidu tersebut. Lingkungan yang tidak kondusif mampu menimbulkan ketegangan, ketidaknyamanan, dan rasa sakit hati. Menurut Bekowitz, rasa sakit hati tersebut terdapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku agresif. Myers dkk juga menjelasakan bahwa lingkungan yang penuh dengan sesak juga dapat memicu timbulnya perilaku agresif (dikutip Sarwono, 2002).

b. Pengaruh Kelompok : Perilaku agresif semakin meluas karena adanya faktor pengaruh anggota kelompok lain, misal adanya desakan dari kelompok (jika tidak ikut tidak dianggap sebagai bagian dari anggota kelompok).

c. Pengaruh kepribadian dan kondisi fisik : Baron (dikutip Sarwono, 2002), menjelasakan bahwa individu dengan kepribadian tipe A lebih cenderung berperilaku agresif instrumental sedangkan agresif emosi. Kemudian terdapat pandangan bahwa individu yang pemalu cenderung akan lebih berperilaku agresif dibanding individu yang tidak pemalu. Peran jenis kelamin juga dipengaruhi terhadap perilaku agresif, pria lebih agresif dibandingkan perempuan perilaku dibanding individu.


    Ide untuk menekan atau mengelola agresivitas adalah faktor lingkungan. Lingkungan merupakan salah satu aspek penting yang mampu mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku remaja. Banyak tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja untuk berembang secara optimal salah satunya adalah mampu menjalin hubungan baik dengan teman-teman sebayanya serta mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Remaja yang berada pada lingkungan (keluarga dan masyarakat) yang menunjukkan dan memperlakukan mereka dengan perilaku-perilaku positif, maka remaja akan meniru dan menerapkan perilaku positif tersebut. Sebaliknya, remaja yang tinggal di lingkungan (keluarga dan masyarakat) yang menunjukkan perilaku negatif, maka akan cenderung meniru dan menerapkan perilaku agresif sesuai dengan model yang diamati.



DAFTAR PUSTAKA

Berkowitz, L. (2003). Emotional Behavior. Terjemahan oleh Herviantini. Jakarta: Binaan Presindo.

Atmawati, D. (2011). Prinsip Pollyanna dalam wacana dakwah (Kajian pragmatik). Kajian Lingusitik dan Sastra. 23(1), Juni, 55-65.

Shinta, A., Rohyati, E., Handayani, D. & Widiantoro, W. (2016). Maximizing the passive-aggressive employees' performance. ASEAN Seminar, Psychology Faculty. Muhammadiyah University in Malang, February. Retrieved on June 27, 2021 from: https://mpsi.umm.ac.id/files/file/647-651%20Arundati%20Shinta,%20Eny%Rohyati,%20Wahyu%20Widiantoro,%20Dewi%20Handayani.pdf