Stereotype Gender
Syarat Mengikuti Ujian Akhir
Semester
Psikologi Sosial Semester 2
Dosen Pengampu : Dr. Arundhati
Shinta, M.A
Nama : Rahayu
NIM : 20310410061
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Pendahuluan
Dalam
kehidupan sehari-hari sering kita mendengar baik dalam obrolan biasa maupun
dalam forum-forum resmi, pada umumnya perempuan dianggap mempunyai konsep diri
yang rendah. Penulis sendiri sangat sering menerima pertanyaan dan pernyataan
baik dari mahasiswa yang belajar Studi Gender dalam Islam, maupun dari peserta
training yang berasal dari kalangan yang berbeda yang hampir selalu mengatakan
bahwa terjadinya ketidakadilan gender seperti marginalisasi dan subordinasi
adalah karena perempuan sendiri yang sering tidak percaya diri. Pernyataan yang
sering dilontarkan adalah bahwa perempuan meskipun sudah diberi peluang untuk
menduduki suatu jabatan tetapi malah menolak dan merasa tidak mampu. Kesalahan
ini dianggap sebagai kesalahan perempuan itu sendiri yang tidak punya rasa percaya
diri, dari perspektif diatas maka terbentuklah yang di maksud stereotype
gender.
Stereotip
gender adalah kategori luas yang merefleksikan kesan dan keyakinan tentang apa
perilaku yang tepat untuk pria dan wanita. Semua stereotip, entah itu
berhubungan dengan gender, etnis, atau kategori lainnya, mengacu pada citra dari
anggota kategori tersebut. Jika orang-orang membentuk pendapat tentang
segolongan objek atau orang tertentu dan bertindak sesuai dengan pendapat itu,
hal ini dinamakan stereotype. Kata “stereotype” digunakan untuk menunjukkan pendapat
yang baik atau buruk pada umumnya yang dipunyai oleh seseorang tentang sekelompok
orang tertentu.[1]
Terkait
dengan stereotype ada penelitian menarik yang dilakukan oleh Robert Roen- thal
dan Leonare Jacobson pada tahun 1968 yang meneliti tentang pengaruh ekspektasi
guru terhadap prestasi murid. Apakah murid yang diduga cerdas akan lebih berhasil?
Penelitian yang dilakukan pada siswa Sekolah Dasar dengan melakukan tes kecerdasan.
Nama- nama siswa yang dihipotesiskan akan memperoleh prestasi yang menonjol
disampaikan kepada para guru. Nama-nama tersebut sebenarnya diambil secara
acak, di mana tingkat kecerdasan mereka tidak terlalu berbeda. Hasil tes tersebut
menunjukkan bahwa anak-anak yang diharap- kan cerdas menunjukkan prestasi akademik
yang jauh lebih menonjol dibandingkan teman- temannya. Para peneliti mengungkapkan
kemungkinan guru lebih memperhatikan siswa tersebut dan memberikan motivasi.
Kemungkinan guru juga mengkomunikasikan baik secara verbal maupun nonverbal
persepsinya terhadap siswa-siswa tersebut, sehingga mereka merespon positif dengan
memperbaiki konsep dirinya.[2]
Saya
sempat mewawancarai teman saya yang bernama Diah Ayu Rizqi Wulandari seorang
mahasiswi Universitas Negeri Malang prodi Sastra Inggris, mengenai bagaimana
sikapnya bila menaksir seorang laik-laki, mulai dari aspek kognisi, afeksi, dan
konasi.
Jadi
kesimpulan nya, semenjak adanya kesetaraan gender di Indonesia yang dipelopori
oleh RA Kartini, pelabelan terhadap
salah satu jenis kelamin yang seringkali bersifat negatif dan pada umumnya
menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Misalnya, karena perempuan dianggap
ramah, lembut, rapi, maka lebih pantas bekerja sebagai sekretaris, guru Taman
Kanak-kanak. Padahal disisi lain laki-laki pun bisa menjadi sekretaris tidak
hanya perempuan saja. Dan hikmah dibalik adanya kesetaraan gender ini,
perempuan bisa ikut andil dalam peran apapun, adanya hak asasi manusia bagi
perempuan.
Daftar
Pustaka
Ismiati,
PENGARUH STEREOTYPE GENDER TERHADAP KONSEP
DIRI PEREMPUAN, Jurnal
Studi Gender dan Islam serta Perlindungan Anak, Vol. 7 No. 1, 2018, hlm. 13. https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/takamul/article/view/2460/pdf
diakses pada tanggal 7 Juni 2021
https://id.wikipedia.org/wiki/Stereotip_gender
diakses pada tanggal 8 Juni 2021
Pareek,
Udai, Perilaku Organisasi, (Jakarta :
Pustaka Binaman Pressindo, 1996), hal. 22.[1]
Rakhmat,
Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Cet. ke. 25 (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2007), hal. 52[2]
0 komentar:
Posting Komentar