Tulisan ini dibuat untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Psikologi Sosial I
Semester Genap 2020/2021
Setya Pramudi NIM. 20310410032
Dosen Pengampu : Dr., Dra. Arundati Shinta, M.A
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Ahli psikologi menggunakan istilah kekerasan untuk merujuk
pada agresi yang tujuannya menyebabkan kerusakan fisik yang ekstrem, seperti
cedera atau kematian. Jadi kekerasan adalah bagian dari agresi. Semua tindakan
kekerasan bersifat agresif, tetapi hanya tindakan yang dimaksudkan untuk
menyebabkan kerusakan fisik yang ekstrem, seperti pembunuhan, penyerangan,
pemerkosaan, dan perampokan, perusakan sarana prasarana fasilitas umum, dan
juga perilaku destruktif lainnya yang merupakan kekerasan. Dalam KBBI,
kekerasan didefinisikan dengan perbuatan seseorang atau kelompok orang yang
menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik
atau barang orang lain.
Perilaku agresif merupakan perasaan marah atau tindakan
kasar akibat kekecewaan atau kegagalan dalam mencapai pemuasan atau tujuan,
yang dapat diarahkan kepada orang atau benda, perbuatan bermusuhan yang dapat
diarahkan kepada orang atau benda, sifat atau nafsu menyerang sesuatu yang
dipandang sebagai hal atau situasi yang mengecewakan, menghalangi, atau
menghambat (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2011).
Dari sudut pandang psikologi, ada sejumlah teori besar yang
mendasari pemikiran mengenai agresi, antara lain teori instinct oleh Sigmund
Frued, teori survival oleh Charles Darwin dan teori social learning oleh Neil
Miller dan John Dollard, yang kemudian dikembangkan lagi oleh Albert Bandura.
Teori Freud memandang perilaku agresif sebagai hal yang intrinsik dan merupakan
instinct yang melekat pada diri manusia. Selanjutnya Darwin dengan teori
survival-nya memandang bahwa secara historis, perilaku agresif ini dianggap
sebagai suatu tindakan manusia untuk kebutuhan survival agar tetap dapat
menjaga dan mengembangkan kemanusiawiannya ataupun membangun dan mengembangkan
komunitas. Teori social learning yang dipelopori oleh Neil Miller dan John
Dollard yang meyakini bahwa perilaku agresif merupakan perolehan daripada hasil
belajar yang dipelajari sejak kecil dan dijadikan sebagai pola respon. Dalam
perkembangannya selanjutnya, Bandura dan Walters mengusulkan satu perbaikan
atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan. Bandura dan
Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan
tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima.
Ada tujuh perspektif agresif dalam ranah psikologi menurut
Krahe (dalam Badrun Susantyo,2011), yaitu:
a) Perspektif psikoanalisis. Menurut Freud, manusia selalu
mempunyai potensi bahwa sadar yaitu suatu dorongan untuk merusak diri atau
thanatos. Operasionalisasi dorongan tersebut dikatakan oleh Baron dan Byrne
(1994) dapat dilakukan melalui perilaku agresif, dialihkan pada objek yang
dijadikan kambing hitam/ korban, atau mungkin disublimasikan dengan cara-cara
yang lebih bisa diterima masyarakat;
b) Perspektif frustrasi-agresi. Salah satu teori agresi paling
awal, diajukan pada tahun 1939 oleh sekelompok lima psikolog Yale: John
Dollard, Neal E. Miller, Leonard W. Doob, Orval H. Mowrer, dan Robert R. Sears.
Mereka mendefinisikan frustrasi sebagai sesuatu yang menghalangi atau
mengganggu tujuan (definisi yang secara khusus mengecualikan reaksi emosional
terhadap tujuan yang diblokir), dan mereka mendefinisikan agresi sebagai
perilaku yang tujuannya adalah melukai atau melukai target
c) Perspektif neo-asosianisme kognitif, atau dikenal sebagai
teori pengaruh negatif. Disampaikan oleh psikolog sosial Leonard Berkowitz,
yang merupakan pengembangan dari hipotesis frustasi-agresi. Teori tersebut
menyatakan bahwa pengalaman atau pengaruh tertentu dapat berkontribusi terhadap
timbulnya perasaan atau perilaku agresif. Perspektif ini menyatakan bahwa
peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan akan menstimulasi perasaan negative,
kemudian, perasaan negatif selanjutnya akan menstimulasi secara otomatis dan
reaksi motorik; yang berasosiasi dengan reaksi melawan atau menyerang.
d) Model pengalihan rangsangan. Dibangun berdasarkan teori
emosi dua faktor, yang memiliki pandangan bahwa intensitas pengalaman kemarahan
merupakan fungsi dua komponen, yaitu 1) kekuatan rangsangan aversif, dan 2)
cara rangsangan itu dijelaskan dan diberi label (Schachter, 1964; Zillmann,
1979). Rangsangan yang dibangkitkan oleh sumber yang tidak berhubungan dengan
stimulasi aversif mungkin salah diatribusikan pada kejadian aversif sehingga
mengintensifkan kemarahan yang ditimbulkan oleh kejadian semacam itu. Tetapi
yang penting dalam hal ini adalah adanya kesadaran tentang sumber asli
rangsangan telah hilang, sehingga individu tersebut masih merasakan rangsangan
itu namun sudah tidak lagi menyadari asalnya;
e) Perspektif sosial kognitif. Dipelopori oleh Huesmann
(1988, 1998) telah memperluas perspektif bahwa cara orang memikirkan kejadian
aversif dan reaksi emosional yang mereka alami sebagai sebuah akibat, merupakan
aspek penting dalam menentukan manifestasi dan kekuatan respon agresifnya.
Pendekatan ini telah menemukan titik temu tentang perbedaan individual dalam
agresi sebagai fungsi perbedaan dalam pemrosesan informasi sosial dengan
melontarkan dua issue khas yaitu: 1) perkembangan skemata ( kognitif yang
mengarahkan performa sosial perilaku agresif, dan 2) cara-cara pemrosesan
informasi individu yang agresif dan yang non agresi (Krahe, 2001);
f) Teori pembelajaran sosial. yang dikembangkan secara lebih
luas oleh Albert Bandura. Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku agresif
merupakan perilaku yang dipelajari dari pengalaman masa lalu apakah melalui
pengamatan langsung (imitasi), pengukuh positif, dan karena stimulus
diskriminatif. Perilaku agresif juga dapat dipelajari melalui model yang
dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media
massa. Perilaku agresi yang disertai pengukuh positif akan meningkatkan
perilaku agresi. Pengukuh positif dalam konteks sehari-hari seringkali
diekspresikan dengan persetujuan verbal dari orang-orang di sekelilingnya
(Wiggins Wiggins & Zanden, 1994). Hal ini sering kali dijumpai pada
kelompok yang mempunyai sub budaya agresif separti gang remaja, kelompok
militer, maupun kelompok olah raga beladiri seperti tinju, silat dan lain-lain
g) Perspektif model interaksi sosial. Menurut model ini
perilaku agresif dipandang sebagai pengaruh sosial yang koersif. Tedeshci dan
Felson (1994) telah memperluas analisis perilaku agresif menjadi teori
interaksi sosial mengenai tindakan koersif.
Pencegahan perilaku agresif merupakan sebuah upaya besar
untuk membina sebuah bangsa yang besar dan berjaya. Oleh karena itu Polri dalam
hal ini Polres ataupun Polsek yang merupakan ujung tombak dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat perlu menyusun program-program dalam
menghadapi kejahatan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku, seperti melakukan
pendekatan dan penyuluhan kepada masyarakat untuk bersama-sama mencegah dan
mengatasi perilaku kekerasan dan atau kejahatan. Polri sebagai organisasi
pelayan publik bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban publik
masyarakat, serta bertugas dalam menegakkan hukum. Polri memiliki beban tugas
yang tinggi dalam artian selalu berhadapan dengan imbas dari berbagai persoalan
pergolakan ekonomi dan politik, persoalan sosial termasuk diantaranya
unjukrasa, tawuran dan perkelahian warga. Petugas selalu mengahadapi situasi
yang fluktuatif dan sewaktu-waktu dapat berubah menjadi tidak terkendali. Dalam
menangani berbagai situasi tersebut, Polri bertindak dalam mekanisme kontrol
dan berpedoman pada SOP.
Daftar pustaka :
Siby, P.S. (2020). Perilaku agresif. Manado Post. 4 Nov. Retrieved on June 27, 2021 from: https://manadopost.jawapos.com/opini/04/11/2020/perilaku-agresif/
0 komentar:
Posting Komentar