Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Klinik Psikologi

Minggu, 15 April 2018

Gangguan Paranoid


                                                       Gangguan Paranoid
Nama : Meissy Bella Sari
Nim : 163104101143
Psikologi Abnormal



Gangguan kepribadian paranoid adalah perasaan curiga yang pervasive, cenderung untuk menginterpretasi perliaku orang lain sebagai hal yang mengancam atau merendahkan. Orang dengan gangguan ini sangat tidak percaya pada orang lain, dan hubungan sosial mereka terganggu karenanya. Meski mereka mencurigai rekan kerja aau penyelia mereka, pada umunya mereka tetap dapat bekerja.
Ciri –ciri paranoid, penderita paranoid pada umumnya akan memiliki rasa curiga yang berlebihan pada semua orang, termasuk pada keluarga atau bahkan pasangannya. Penderita paranoid juga akan sangat sulit untuk mempercayai orang lain, termasuk orang-orang terdekatnya. Sulit memaafkan dan cenderung selalu menyimpan dendam di hatinya, bagi seorang penderita paranoid, masalah-masalah kecil saja bisa menjadi begitu rumit di dalam pandangannya, meskipun hal tersebut telah terselesaikan dengan baik sebelumnya. Penderita paranoid tidak mudah melupakan, bahkan cenderung menyimpan dendam atas berbagai masalah yang pernah dialaminya. Bukan hanya pada masalah yang besar, kesalahan kecil yang dianggapnya telah dilakukan oleh seseorang padanya juga akan menjadi catatan buruk yang sulit dimaafkan. Penderita paranoid juga tidak mau untuk berbagi informasi tertentu yang dimilikinya kepada orang lain. Hal ini bahkan dianggapnya sebagai sebuah ancaman, di mana penderita berpikir dan memiliki rasa takut jika orang tersebut kelak akan menyakitinya. Berbagai ketakutan dan juga kekhawatiran ini biasanya muncul tanpa alasan yang kuat dari penderita paranoid. Reaksi yang berlebihan juga kerap ditunjukkan oleh para penderita paranoid, bahkan pada hal-hal yang sebenarnya tidak begitu penting. Penderita paranoid juga memiliki tingkat kecurigaan yang sangat tinggi pada pasangannya. Selalu salah mengartikan kata-kata atau bahkan sekedar sapaan dari orang lain.
Gejala yang dialami gangguan paranoid, merasa cemas, takut, khawatir, dan tidak merasa nyaman pada lingkungannya sekalipun. Merasakan halusinasi dalam bentuk suara, sehingga sulit berkonsentrasi pada berbagai hal di sekitarnya.  Mengalami perasaan cemburu yang tidak realistis, hal ini juga berlangsung secara terus-menerus dan berulang. Mengalami gangguan persepsi terhadap berbagai hal. Merasakan delusi kebesaran, di mana penderita merasa dirinya memiliki kemampuan lebih daripada kenyataan yang sebenarnya. Mengalami delusi paranoid secara rutin dan stabil, bahkan dalam kurun waktu yang sangat panjang sekalipun.
Contoh kasus gangguan kepribadian paranoid, seorang pensiunan pengusaha berusia 85 tahun diwawancarai oleh pekerja sosial untuk menetukan kebutuhan perawatan kesehatan bagi dirinya serta istrinya yang sakit dan lemah. Pria ini tidak memiliki sejarah penanganan gangguan mental. Ia dan istriya telah menikah selama 60 tahun, dan tampak bahwa istrinya merupakan satu-satunya orang yang benar-benar ia percaya. Dia selalu curiga pada orang lain, ia tidak akan mengungkap informasi pribadi pada siapa pun kecuali istrinya, yakin bahwa orang lain akan mengambil keuntungan darinya. Saat menerima telepon ia akan menolak untuk menyebutkan namanya sampai ia tahu maksud si penelepon. Ia selalu melibatkan dirinya dalam “pekerjaan yang berguna” untuk mengisi waktunya, bahkan selama 20 tahun masa pensiunnya. Ia meluangkan waktu yang cukup banyak untuk memonitor investasinya dan pernah bertengkar dengan pialangnya saat terjadi kesalahan dalam rekening bulanannya yang membuatnya curiga bahwa pialangnya tersebut berusaha menutupi transaksi yang curang.
Menurut saya kecurigaan orang yang menderita gangguan kepribadian paranoid sangatlah berlebihan dan tidak berdasar, orang yang memiliki kepribadian paranoid cenderung tidak mencari penanganan untuk diri mereka, namun mereka memandang orang lain sebagai penyebab dari masalah mereka. untuk menjauhkan diri dari gangguan paranoid haruslah dari keyakinan diri penderita itu sendiri, mampu mengetahui apa yang sedang ia alami dan juga dapat mengontrol diri dengan baik.


Sumber :
Jeffrey S. Nevid, Spencer A Rathus, Beverly Greene. (2003). Psikologi Abnormal. Edisi kelima Jilid 1. Jakarta : Penerbit Erlangga

Depresi Mayor


Gangguan Depresi Mayor
Nama : Meissy Bella Sari
Nim : 163104101143
Psikologi Abnormal



Diagnosis dari gangguan depressive mayor (major depressive disorder) didasarkan pada munculnua satu atau lebih episode mayor tanpa adanya riwayat episode manik atau hipomanik. Dalam episode depresi mayor, orang tersebut mengalami salah satu di antara mood depresi (merasa sedih, putus asa, atau “terpuruk”) atau kehilangan rasa senang dalam semua atau nerbagai aktivitas untuk periode waktu paling sedikit 2 minggu (APA,2000).
Sintom-sintom diagnostik dari episode depresi mayor adalah, mood atu depresi hampir sepanjang hari atau setiap hari, penurunan kesenangan atau minat secara drastic dalam semua aau hampir aktivitas, penurunan atau penambahan berat badan yang signifikan (penolakan atau peningkatan nafsu makan), mengalami insomnia, agitasi yang berlebihan atau melambatnya respon gerakan, perasaan lelah, perasaan tidak berharga, berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi, munculnya pikiran untuk bunuh diri.
Gangguan depresi mayor adalah tipe yang paling umum dari gangguan mood yang dapat didiagnosis, dengan perkiraan prevalensi semasa hidup berkisar antara 10% hingga 25% untuk wanita dan 5% hingga 12% untuk pria (APA,200). Depresi mayor khususnya pada episode yang lebih parah dapat disertai dengan ciri psikosis, seperti delusi bahwa tubuhnya digerogoti penyakit (Drus dkk, 1996). Orang dengan depresi berat juga dapat mengalami halusinasi seperti “mendengar” suara-suara orang lain, atau iblis, yang mengutuk mereka atas kesalahan yang dipersepsikan.
Contoh kasus gangguan depresi mayor, seorang pegawai administrasi perempuan, berusia 38 tahun, telah menderita depresi singkat yang muncul berulang kali sejak ia berusia 13 tahun. Terakhir ia merasa terganggu oleh serangan menangis di tempat kerjanya, terkadang muncul secara sangat tiba-tiba sehingga ia tidak punya cukup waktu untuk lari ke toilet wanita demi menyembunyikan tangisannya dari orang lain, ia mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi saat bekerja dan merasa kurang mendapat kepuasaan dari pekerjaan yang sebelumnya sangat ia nikmati. Ia menyimpan perasaan pesimistis dan rasa marah yang parah, yang akhir-akhir ini telah menjadikan semakin parah karena berat badannya bertambah dan ia mengabaikan perawatan terhadap diabetes yang diidapnya. Ia merasa bersalah terhadap kemungkinan bahwa ia sedang membunuh dirinya sendiri secara perlahan-lahan dengan tidak menjaga kesehatannya secara baik. Ia terkadang merasa pantas untuk mati, ia merasa terganggu oleh rasa kantuk yang berlebihan selama satu etengah tahun terakhir ini, dan surat izin mengemudinya telah ditahan karena kecelakaan bulan kemarin di mana ia tertidur saat menyetir, yang menyebabkan mobilnya menabrak kotak telepon umum. Hampir tiap pagi ia bangun dengan rasa pusing dan merasa “tidak bersemangat”, serta tetap mengantuk sepanjang hari. Ia tidak pernah memiliki pacar tetap, dan hidup tentram dengan ibunya, tanpa adanya teman dekat di luar keluarga. Selama wawancara, ia berulang kali menangis dan menjawab prtanyaan dengan nada suara yang lambat, sambil terus-menerus melihat kebawah.
Episode-episode depresi mayor dapat berlangsung dalam jangka bulanan atau satu tahun atau bahkan lebih. Orang yang terus memiliki sintom-sintom sisa depresi setelah satu episode depresi pertama cenderung lebih sering kambuh. Dengan adanya pola kemunculan berulang dari episode depresi mayor dan simtom-simtom yang terus bertanbah, banyak ahli memandang depresi mayor sebagai suatu gagguan kronis, bahkan sepanjang hidup. Dari sisi positinya semakin panjang periode kesembuhan depresi mayor, semakin rendah resiko untuk kambuh di kemudian hari (Solomon dkk, 2000).
Menurut pendapat saya, meski perubahan dalam mood sebagai respon dari naik dan turunya kehidupan sehari-hari cukup normal, perubahan mood yang persisten atau parah atau siklus kegirangan dan depresi yang ektrem, dapat menjadi petunjuk adanya suatu gangguan mood.


Sumber :
Jeffrey S. Nevid, Spencer A Rathus, Beverly Greene. (2003). Psikologi Abnormal. Edisi kelima Jilid 1. Jakarta : Penerbit Erlangga

Rabu, 04 April 2018

Artikel Gangguan Bulimia Nervosa

GANGGUAN MAKAN
BULIMIA NERVOSA
Ana Istiqomah
163104101126
Mata kuliah Psikologi Abnormal


Bulimia nervosa adalah suatu sindrom yang ditandai oleh serangan berulang perilaku makan berlebih dan preokupasi berlebihan perihal berat badannya, sehingga pasien menggunakan cara yang sangat ketat untuk mengurangi efek “menggemukkan” dari makanan (PPDGJ III). Untuk mengurangi efek “menggemukkan” ini mereka mengeluarkan makanan yang telah dimakan, bisa melalui muntah yang biasanya diinduksi dengan obat pencahar, atau bisa juga dengan mengeluarkannya lewat kencing dengan menggunakan obat diuretik.
Orang yang mengidap bulimia biasanya terobsesi untuk memelihara atau mengurangi berat badan mereka. Sebagian besar penderitanya adalah wanita, yang sangat peduli akan bentuk tubuh dan berat badan dan termasuk golongan sosial ekonomi menengah ke atas. Pengidap bulimia cenderung menderita depresi, kecemasan, penghargaan-diri yang rendah, dan kontrol impuls yang rendah.
Ada beberapa karakteristik diagnostik gangguan makan bulimia nervosa, yaitu:
1.       Episode berulang dari makan berlebihan. Penderita makan dalam jumlah yang sangat banyak dalam periode waktu 2 jam
2.      Merasa kehilangan control terhadap makanan yang masuk dalam tubuh pada saat episode tersebut.
3.      Ada perilaku kompensasi untuk menjaga berat badan agar tidak bertambah, yaitu dengan membangkitkan rasa ingin muntah, menyalahgunakan obat pencahar atau diuretic, dan olahraga serta puasa berlebihan.
4.      Rata-rata terjadi dua episode makan berlebihan dalam kurun waktu satu minggu dan diikuti perilaku kompensasi untuk menghindari penambahan berat badan selama minimal 3 bulan.
5.      Perhatian berlebihan yang terus menerus pada bentuk dan berat tubuh.

Gangguan makan tipe bulimia nervosa ini berakibat pada beberapa komplikasi medis. Memuntahkan makanan yang dilakukan secara terus menerus dapat menimbulkan iritasi pada kerongkongan, kulit mulut, masalah pada gigi, masalah gastrointestinal seperti sakit pada perut dan hiatan hernia. Pada kasus ekstrem, obat pencahar yang dikonsumsi secara terus menerus dapat menyebabkan kekurangan mineral tubuh, membuat otot-otot tubuh melemah, fungsi jantung yang tidak normal dan kematian mendadak. Gangguan makan ini dapat membahayakan diri sendiri apabila tidak segera ditangani.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor sosio-kultural, misalnya tekanan akan standar kurus yang tidak realistis bagi perempuan muda. Faktor psikologis, misalnya ketidakpuasan pada bentuk tubuh, merasa kurang memiliki kontrol atas berbagai aspek kehidupan selain diet, dll. Faktor keluarga juga dapat menjadi penyebab munculnya gangguan ini, misalnya adanya konflik dalam keluarga, kurangnya kedekatan dan pengasuhan, gagal membangun otonomi kemandirian pada anak perempuan mereka. Selanjutnya adalah faktor biologis, hal ini berkaitan dengan jumlah neurotransmitter pengatur mood dan nafsu makan yang dimiliki individu, serta kemungkinan pengaruh genetis.  
Contoh kasus yang terjadi pada Tina Toon. Penyanyi cilik yang terkenal dengan tubuh gempal itu dulu pernah mengalami bulimia, sebelum bertransformasi menjadi langsing seperti sekarang. Ia menderita bulimia disebabkan oleh stres berat yang ia rasakan akibat dibuli oleh teman-temannya karena tubuh gempalnya itu. Akan tetapi, ia memendam sendiri masalahnya tersebut sehingga ia melampiaskan stresnya ke makanan. Ia menderita bulimia selama 3 tahun. Dengan penanganan yang benar dan penguatan dari keluarga serta mengubah mindsetnya untuk berpikir lebih positif, akhirnya ia dapat sembuh dari gangguan bulimia tersebut.
Dari uraian di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa suatu penghargaan diri dan pemikiran yang positif memiliki andil yang besar dalam kesehatan mental seseorang. Siapa saja dapat terserang gangguan mental, seperti bulimia nervosa ini, yang membedakan adalah bagiamana proses koping yang dilakukan individu untuk menyelesaikan masalahnya. Namun demikian, dukungan dari lingkungan juga penting bagi individu sebagai penguat.

Referensi
Boeree, C. George. 2013. General Psychology: Psikologi Kepribadian, Persepsi, Kognisi, Emosi dan Perilaku. Yogyakarta: Prismasophie.
Briawan, Dodik dan Kurniawan, Mohamad Yulianto. (2014). Persepsi Tubuh Dan Gangguan Makan Pada Remaja Perempuan (Body Image Perception And Eating Disorders In Female Adolescents). Jurnal Gizi dan Pangan, 9(2), 103-108. http://download.portalgaruda.org/
Mukhlis, Akhmad. (2013). Berpikir Positif Pada Ketidakpuasan Terhadap Citra Tubuh  (Body Image Dissatisfaction). Jurnal Psikologi Islam, 10(1), 5-14. http://psikologi.uin-malang.ac.id


Artikel Gangguan Bipolar

GANGGUAN PERUBAHAN MOOD
(BIPOLAR)
Ana Istiqomah
163104101126
Mata Kuliah Psikologi Abnormal


Mood merupakan kondisi perasaan yang ada yang mewarnai kondisi psikologis seseorang. Orang dengan gangguan mood (mood disorder) adalah orang yang mengalami gangguan mood yang luar biasa parah atau berlangsung lama dan mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi dalam memenuhi tanggung jawab secara normal. Ada bermacam-macam gangguan mood, salah satunya ialah gangguan bipolar.
Gangguan perubahan mood (bipolar) adalah sebuah gangguan suasana hati kambuhan yang menggambarkan satu atau lebih peristiwa mania atau gabungan antara mania dan depresi (DSM IV; Godwin and Jamison, 1990). Indikator kunci untuk bipolar adalah kecenderungan episode-episode manik yang bergantian dengan episode-episode depresif yang berjalan seperti lintasan roller coaster tak berujung, naik turun dari puncak kegembiraan yang meluap-lupa kedasar keputus asaan yang mendalam. Episode manik biasanya bertahan beberapa minggu hingga bulan umumnya berdurasi singkat dan berakhir secara tiba-tiba daripada episode depresi mayor.
DSM membedakan dua tipe umum dari bipolar, yaitu gangguan bipolar I dan ganguan bipolar II. Pada gangguan bipolar I, biasanya individu mengalami perubahan mood antara rasa girang dan depresi dengan diselingi periode antara mood yang normal. Sedangkan pada gangguan bipolar II individu akan mengalami satu atau lebih episode-episode depresi mayor dan paling tidak satu episode hipomanik. Akan tetapi, individu tersebut tidak pernah mengalami episode manik secara penuh. Selama fase-fase manik atau hipomanik, individu pasti akan menyangkal bahwa dirinya sedang bermasalah.
Menurut DSM-IV TR, gejala-gejala yang sering muncul untuk kasus bipolar ini antara lain, menurunnya kebutuhan tidur; lebih banyak berbicara dari biasanya; pikiran meloncat-loncat; perhatian mudah beralih; peningkatan aktivitas dalam bidang sosial, pekerjaan, sekolah atau seksual; keterlibatan yang berlebihan pada aktivitas yang menyenangkan namun berakibat buruk.
Penyebab munculnya gangguan ini dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu faktor biologis, faktor genetis; lingkungan-sosial seperti misalnya peristiwa hidup yang penuh tekanan; behavioral misalnya kurangnya reinforcement dan interaksi yang negative dengan orang lain yang menghasilkan penolakan; emosional dan kognitif, misalnya kesulitan melakukan koping, kurangnya makna atau tujuan hidup, atau bisa jadi karena cara berpikir yang bias dan terdistorsi.
 Contoh kasus, si Y ia adalah seorang publik figur. Sebagai seorang publik figur, yang menjadi trendsetter masyarakat, bahkan untuk urusan berekspresi saja diatur sesuai kebutuhan publik. Tekanan-tekanan yang ia rasakan terkadang membuatnya memiliki masalah untuk berekspresi, misal ia sedang sedih tetapi harus tetap menampilkan senyum.  Suatu hari ia mendatangi sahabatnya, entah mengapa ia begitu kegirangan, penuh semangat, bercerita dengan menggebu-gebu, namun tiba-tiba ia menangis meraung sejadi-jadinya tanpa temannya itu tahu penyebabnya. Selang beberapa saat ia kembali tertawa-tawa sambil bercerita penuh antusias pada temannya itu.
Kesimpulan yang saya dapat adalah bahwa gangguan bipolar ini merupakan gangguan suasana hati yang kambuhan –kadang “sembuh”, kadang “sakit”. Saat ia merasa senang, ekspresi yang ia tampilkan benar-benar seperti orang menang lotre, tapi ketika ia ingat kesedihan yang ia miliki, maka seketika itu juga tak segan-segan ia langsung meraung. Suasana hatinya persis roller coaster.

Referensi
Boeree, C. George. 2013. General Psychology: Psikologi Kepribadian, Persepsi, Kognisi, Emosi dan Perilaku. Yogyakarta: Prismasophie.
Infrando, D., dkk. (2014). Gangguan Mood Pada Remaja. The Journal of Medical School, 47 (1), 35-39. file:///C:/Users/hp/AppData/Local/Temp/18180-42708-1-SM.pdf


Artikel Gangguan Somatisasi

GANGGUAN SOMATISASI
Ana Istiqomah
163104101126
Mata Kuliah Psikologi Abnormal



Gangguan somatoform (somatoform disorder) adalah suatu kelompok gangguan yang ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik (Nevid, dkk, 2005). Orang-orang yang mengidap gangguan somatoform memiliki riwayat keluhan-keluhan yang berkenaan dengan kesehatan fisik mereka, namun menunjukkan sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali dari keluhan-keluhan itu benar-benar mereka alami seperti yang mereka pikirkan. Gejala dan keluhan somatik menyebabkan penderitaan emosional, gangguan pada kemampuan untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Gangguan somatoform ini tidak disebabkan oleh kepura-puraan yang disadari atau gangguan buatan. Dalam gangguan ini faktor psikologis merupakan suatu penyumbang terbesar untuk onset, keparahan dan durasi gejala.
Gangguan somatoform memiliki beberapa variasi, salah satunya adalah gangguan somatisasi.
Gangguan somatisasi ditandai dengan adanya keluhan-keluhan berupa gejala fisik yang bermacam-macam dan hampir mengenai semua sistem tubuh. Keluhan ini biasanya sudah berulang-ulang akan tetapi di tempat-tempat yang berbeda. Pengidap biasanya telah banyak berganti-ganti dokter (doctor shopping).
Keluhan yang paling sering biasanya ialah yang berhubungan dengan sistem gastrointestinal (perasaan sakit, kembung, mual dan muntah) dan keluhan pada kulit seperti rasa gatal, kesemutan, terbakar dan pedih. Individu juga sering mengeluh sakit di berbagai organ atau sistem tubuh, seperti sakit kepala, punggung, persendian, dada atau nyeri saat berhubungan badan. Terkadang individu juga mengeluhkan mengenai disfungsi seksual dan gangguan haid.
Untuk memenuhi kriteria diagnostik, individu harus mengalami keempat gejala berikut, yakni empat simtom rasa sakit di bagian yang berbeda (kepala, punggung, sendi); dua simptom gastrointestinal (diare, mual); satu simptom seksual selain rasa sakit (tidak berminat pada hubungan seksual, disfungsi erektil); dan satu simptom pseudineurologis (seperti yang terjadi dalam gangguan konversi).
Gejala-gejala (simtom) tersebut yang lebih pervasif dibanding keluhan hipokondriasis, biasanya menyebabkan hendaya, terutama dalam pekerjaan. Dalam DSM-IV-TR tercatat bahwa, simptom-simptom spesifik gangguan ini dapat bervariasi antarbudaya. Sebagai contoh, tangan terbakar atau sperti ada semut yang berjalan di bawah lutut, hal ini sering terjadi di Asia dan Afrika dibanding di Amerika Utara. Terlebih lagi gangguan tersebut dinilai sering terjadi pada budaya yang tidak mendorong ekspresi emosi secara terbuka. Gangguan somatisasi ini biasanya dimulai pada awal masa dewasa (Cloninger et al., 1986). Ada dua jenis proses somatisasi, yang pertama yaitu proses somatisasi yang bersumber dari ketidakmampuan individu mengenali reaksi perasaan disforik serta hubungannya dengan stresor dan reaksi fisiologis yang menyertainya; kedua, proses somatisasi sebagai mekanisme pertahanan diri yaitu berupa upaya disadari menggunakan keluhan atau sakit fisik untuk mendapatkan bantuan dan simpati dari lingkungannya serta kontrol terhadap lingkungan.
Contoh kasus, X seorang pegawai yang berusia 30 tahun. Sudah satu tahun lebih ia merasakan keluhan penyakit yang sering berpindah-pindah. Dari yang pegal-pegal, badan tidak enak, nyeri tulang belakang, mual, muntah serta keluar keringat dingin. X juga merasa sering sesak napas. Si X ini sudah pernah pemeriksaan ke dokter khusus penyakit dalam dan sudah melakukan serangkaian tes, akan tetapi hasilnya berada pada batas normal. Si X merasa tidak percaya pada hasil tersebut, ia kemudian pindah dan berobat pada dokter lain karena ia percaya bahwa ada yang salah dengan tubuhnya. Akan tetapi hasil yang ia dapat tetap sama, bahwa semua berada pada batas normalnya. Kemudian ia disarankan oleh temannya untuk datang ke psikiater atau psikolog, temannya berpikir mungkin saja ada masalah psikis yang melatarbelakangi keluhan-keluhannya tersebut. Akan tetapi dengan keras X menolak, karena ia merasa kehidupannya baik-baik saja. Bila ada masalah pun X lebih suka memendamnya sendiri tanpa mau menceritakan masalahnya pada istrinya.
Jadi, gangguan somatisasi ini merupakan gangguan yang timbul akibat adanya suatu tekanan psikis, yang kemudian disupresikan dan timbul dalam wujud yang berbeda, yaitu sakit fisik. Meski demikian, sakit yang individu tersebut rasakan tidak dapat dijelaskan secara medis dengan penjelasan yang kuat. Akan tetapi si pengidap memiliki keyakinan bahwa ia memanglah sakit.
Somatisasi dapat timbul karena stress, kecemasan yang berlebihan, maupun sebagai mekanisme pertahanan diri. Gejala-gejala spesifik yang timbul dari gangguan ini juga dipengaruhi oleh faktor budaya. Gangguan ini dapat dikurangi dengan terapi, salah satunya terapi kognitif.

Referensi
Boeree, C. George. 2013. General Psychology: Psikologi Kepribadian, Persepsi, Kognisi, Emosi dan Perilaku. Yogyakarta: Prismasophie.
Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., dkk. 2003. Psikologi Abnormal Edisi Ke lima/Jilid I, Terj. Abnormal Psychology in a Changing World/Fifth Edition. Jakarta: Erlangga.
Susana, Tjipto. (2010). Proses Somatisasi Dan Strategi Koping Pada Individu Alosentris (Somatization Process And Coping Strategies In Allocentric Individual). Jurnal Psikologi Indonesia, 7(1), 29-49. http://download.portalgaruda.org/
Syarif, D.F. Tryani. (2013). Hubungan Antara Stres Dengan Kecenderungan Somatisasi  Pada Mahasiswi Semester Akhir Prodi Farmasi  Fakultas Ilmu Kesehatan  Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. Pedagogik Jurnal Pendidikan, 8(2), 72 – 86.