THE IMPACT OF COGNITIVE DISSONANCE ON ACTIVE
SMOKERS' BEHAVIOR
PSIKOLOGI
INOVASI
E2
– WAWANCARA DISONANSI KOGNITIF
DOSEN
PENGAMPU: Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA.
FINDA
PENSIUNA WATI
22310410189
FAKULTAS
PSIKOLOGI UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
YOGYAKARTA
SEPTEMBER
– 2024
Merokok termasuk perilaku yang
sering menjadi dilema untuk perokok aktif. Sebetulnya, mereka menyadari risiko
kesehatan yang di timbulkan oleh Si
Nikotin. Namun, di sisi lain keinginan atau ketergantungan yang membuat
meraka kesulitan untuk berhenti. Kondisi ini sering kali di sangkut – pautkan
dengan fenomena psikologi yang di sebut dengan disonansi kognitif, ketidak
nyamanan mental yang sering muncul ketika seseorang menghadapi dua atau lebih
keyakinan, ataupun tindakan yang saling bertentangan. Dengan ini, saya akan
mengeksplorasi bagaimana disonansi kognitif akan mempengaruhi perokok aktif
melalui wawancara dengan salah satu perokok aktif yang telah lama mengalami
konflik antara kebiasaan merokok, namun tahu resikonya.
Banyak
para perokok aktif yang mengembangkan
mekanisme pertahanan diri sebagai cara untuk mengurangi ketidaknyamanan mereka
rasakan akibat dari disonansi kognitif. Salah satu mekanisme sering kali muncul
yaitu rationalization, perokok aktif sering kali mencari banyak alasan untuk
membenarkan kebiasaannya.
Dalam
wawancara dengan Charles Toon (48) seorang Project Engineering di perusahaan
swasta yang berada di Qatar, Toon termasuk perokok aktif dari usia 21 tahun.
Toon mengungkapkan, “ Saya tahu merokok itu tindakan yang sangat buruk, tapi hidup
juga penuh dengan stress, terlebih saat pekerjaan saya menumpuk. Kalo tidak
merokok saya tidak bisa focus bekerja ”. Hal ini mencerminkan bahwa upanyanya
adalah membenarkan kebiasaan merokok dengan mengkaitkan rokok sebagai cara
untuk mengelola stress yang dia hadapi, walaupun dia juga menyadari tindakan
tersebut sangatlah beresiko untuk kesehatannya.
Denial ataupun penyangkalan sering kali di gunakan kebanyakan perokok aktif untuk mengatasi disonansi. “ Saya selama ini baik-baik saja. Menurut saya tergantung dengan daya tahan tubuh setiap individunya.” tambahnya. Mekanisme ini memungkinkan Toon untuk menolak fakta yang bertentangan dengan perilaku dan masih merasa nyaman untuk merokok.
Toon mengalami konflik batin antara keinginan untuk berhenti dan telah menjadi candu. “ Saya telah mencoba untuk berhenti beberapa kali. Tapi tetap gagal, akhirnya berlanjut sampai saat ini, “. ungkapnya. Dalam situasi tersebut Toon mencoba untuk mengurangi disonansi kognitif dengan cara memberikan justifikasi sementara bagi perilaku yang ia tahu tidak sesuai dengan nilai dan tujuannya.
Fenomena
ini juga menjadikan Toon merasa bersalah. “ setiap saya merokok di hadapan anak
saya. Saya merasa bersalah. Saya menyadari bahwa ini contoh yang buruk
untuknya,” paparnya. Rasa bersalah inilah yang menjadi bagian dari
ketidaknyamanan psikologis yang muncul akibat dari disonansi antara perilaku Toon seperti memberikan
contoh untuk anaknya.
Meskipun
Toon telah mengunakan mekanisme pertahanan diri, “ saya pernah mengikuti
program untuk berhenti merokok. Namun, gagal. Mungkin karena saya masih belum
siap secara mental.” Jelasnya. Toon berusaha untuk mengatasi ini dengan
mengubah perilakunya, namun, gagal karena factor dari psikologis ketergantungan
kepada Si Nikotin.
Sehingga,
disonansi kognitif yang di alami oleh perokok aktif seperti Charles Toon
merupakan fenomena psikologis yang kompleks, karena melibatkan pertentangan di
antara keinginan untuk bisa berhenti merokok ataupun kebiasaan untuk bisa dapat
mempertahankan kebutuhan merokoknya. Melalui wawancara ini, saya dapat melihat
mekanisme untuk mempertahankan diri pada rasionalisasi dan penyangkalan yang di
gunakan oleh perokok untuk mengurangi setidaknyamanan yang mereka rasakan
akibat konflik antara kesadaran akan resiko terhadap rokok dan kebiasaannya.
Dalam
jangka waktu berkepanjangan, disonansi kognitif dapat memicu perasaan bersalah,
stress, dan kegagalan dalam upaya untuk berhenti merokok. Karena itu, di
perlukan pendekatan psikologis untuk bisa membantu perokok aktif seperti Toon
agar dapat menghadapi konflik dan pada akhirnya bisa mengambil langkah tepat
untuk bisa lebih mementingkan kesehatan dan hidup sehat. Harapan saya
kedepannya, Toon bisa meninggalkan kebiasaan merokok tersebut.
Referensi
Festinger,
L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.
Tesser,
A., & Rosen, S. (1975). "The reluctance to transmit bad news."
Advances in Experimental Social Psychology, 8, 193-232.
Cooper,
J. (2007). Cognitive Dissonance: 50 Years of a Classic Theory. Sage
Publications.
Marlatt,
G. A., & Gordon, J. R. (1985). Relapse Prevention: Maintenance Strategies
in the Treatment of Addictive Behaviors. Guilford Press.
Tversky, A., & Kahneman, D. (1974). "Judgment under uncertainty: Heuristics and biases." Science, 185(4157), 1124-1131.
0 komentar:
Posting Komentar