"Upaya individu mengamankan diri dari situasi tidak nyaman menurut pendekatan EVLN Model"
PSIKOLOGI INOVASI
Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta, MA.
Ketidakpuasan karyawan adalah masalah yang sering muncul di berbagai
perusahaan, mulai dari masalah komunikasi yang buruk, kebijakan yang tidak
transparan, hingga tidak adanya kesempatan bagi karyawan untuk mengembangkan
diri. Ketika karyawan merasa suara mereka tidak didengarkan atau kontribusi
mereka tidak dihargai, ketidakpuasan dapat berkembang menjadi ancaman bagi
produktivitas, moral tim, dan lingkungan kerja yang kondusif. Memahami
bagaimana respons-respons yang berbeda muncul melalui EVLN Model membantu
perusahaan dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih positif, di mana
karyawan merasa didengarkan dan dihargai.
Model EVLN mengkategorikan respon karyawan melalui empat kuadran: Exit, Voice, Loyalty, dan Neglect.
Model ini terdiri dari dua dimensi: Active-Passive dan Constructive-Destructive (Rusbult
et al., 1988). Dimensi Active-Passive menunjukkan sejauh mana
keterlibatan individu dalam menghadapi masalah, sementara Constructive-Destructive mengindikasikan
apakah respons individu bertujuan memperbaiki situasi atau justru merusaknya.
Dalam lingkungan kerja, pemahaman atas model ini memungkinkan organisasi untuk
mengenali respons destruktif, seperti exit dan neglect, serta mempromosikan
respons konstruktif, seperti voice dan loyalty.
Exit termasuk kudran aktif-destruktif,
di mana individu memilih meninggalkan situasi yang tidak memuaskan. Exit biasanya
terjadi ketika karyawan merasa kondisi kerja tidak mungkin diperbaiki.
Misalnya, seorang staf administrasi di sebuah perusahaan retail yang frustasi
karena ketidakjelasan kebijakan promosi dan perkembangan karier dapat memilih
mengundurkan diri. Respons ini sering muncul ketika perusahaan tidak
menyediakan jalur komunikasi yang efektif untuk menangani ketidakpuasan
karyawan, sehingga exit dianggap sebagai solusi terakhir (Farrell, 1983). Untuk
mencegah respons exit, perusahaan perlu menyediakan jalur komunikasi yang lebih
terbuka dan transparan agar karyawan dapat merasa didengarkan dan dimengerti
sebelum memilih pergi.
Sebaliknya, Voice termasuk
kuadran aktif-konstruktif. Ketika karyawan memilih voice, mereka mencoba
memperbaiki situasi dengan menyampaikan keluhan atau memberi saran. Misalnya,
seorang desainer grafis yang merasa workload terlalu tinggi dapat berbicara
dengan manajer mengenai pembagian kerja atau mengusulkan pembagian tugas yang
lebih efisien. Respons voice memperlihatkan adanya harapan dan komitmen untuk
perbaikan situasi (Leck & Saunders, 1992). Untuk mendorong Voice,
perusahaan dapat membangun budaya kerja yang terbuka, di mana karyawan merasa
aman untuk berbicara mengenai masalah dan saran mereka. Lingkungan yang
mendukung voice cenderung menghasilkan solusi yang konstruktif untuk
masalah-masalah yang muncul.
Loyalty termasuk kuadran
pasif-konstruktif. Dalam hal ini, karyawan memilih bertahan dalam situasi tanpa
aktif berusaha mengubahnya, berharap kondisi akan membaik seiring waktu.
Contohnya, seorang pegawai yang loyal mungkin tetap bekerja dengan tekun
meskipun kecewa dengan kebijakan baru yang merugikan. Mereka mungkin percaya
bahwa kondisi kerja akan membaik atau bahwa manajemen akan melakukan perubahan
di masa depan (Withey & Cooper, 1989). Loyalitas ini bisa menjadi kekuatan
positif bagi organisasi, tetapi ada risiko bahwa jika harapan mereka tidak
terpenuhi, loyalitas dapat berubah menjadi apatisme atau pasrah. Untuk
memelihara loyalitas yang sehat, perusahaan bisa mendukung karyawan setia
melalui penghargaan atau insentif yang mendorong keterlibatan mereka lebih
jauh.
Neglect termasuk kuadran
pasif-destruktif. Ketika karyawan merasa tidak ada peluang untuk memperbaiki
situasi, mereka mungkin menunjukkan respons neglect, yaitu mengabaikan tanggung
jawab dan menunjukkan penurunan kinerja. Contoh nyata adalah seorang staf
layanan pelanggan yang merasa tidak didukung oleh manajemen dalam menangani
pelanggan sulit, sehingga mulai menurunkan standar layanan dan sering absen.
Respons ini bisa sangat merugikan perusahaan karena mengurangi produktivitas
dan berdampak buruk pada moral tim (Hagedoorn et al., 1999). Untuk menangani
neglect, perusahaan perlu menciptakan sistem pemantauan performa dan dukungan
karyawan agar mereka merasa bahwa tugas mereka dihargai dan didukung oleh
manajemen.
Secara keseluruhan, pendekatan ini dapat membantu
perusahaan untuk memahami berbagai respons karyawan terhadap ketidakpuasan.
Dengan mengenali kecenderungan Exit dan Neglect, serta
mendorong Voice dan Loyalty, perusahaan dapat menciptakan
lingkungan kerja yang lebih positif dan produktif. Misalnya, perusahaan yang
menyediakan jalur komunikasi terbuka untuk menerima saran karyawan dapat lebih
baik menangani masalah secara konstruktif, sehingga mengurangi risiko exit atau
neglect.
Farrell, D. (1983). Exit, voice, loyalty, and neglect as responses to job dissatisfaction: A multidimensional scaling study. Academy of Management Journal, 26(4), 596-607.
Hagedoorn, M., Van Yperen, N. W.,
Van de Vliert, E., & Buunk, B. P. (1999). Employees’ reactions to
problematic events: A circumplex structure of five categories of responses, and
the role of job satisfaction. Journal of Organizational Behavior, 20(3),
309-321.
Leck, J. D., & Saunders, D.
M. (1992). Hirschman's loyalty: attitude or behavior?. Employee
Responsibilities and Rights Journal, 5(3), 219-230.
Rusbult, C. E., Farrell, D.,
Rogers, G., & Mainous, A. G. (1988). Impact of exchange variables on exit,
voice, loyalty, and neglect: An integrative model of responses to declining job
satisfaction. Academy of Management Journal, 31(3), 599-627.
Withey,
M. J., & Cooper, W. H. (1989). Predicting exit, voice, loyalty, and
neglect. Administrative Science Quarterly, 34(4), 521-539.
0 komentar:
Posting Komentar