Senin, 10 Januari 2022
Konflik dalam Organisasi
Berteman dengan seorang yang dianggap aneh
Kepemimpinan yang buruk
Kepemmpinan
Yang Buruk
Essay
Persyaratan Ujian Akhir Semester Psikologi Sosial II
(Semester
3 Ganjil 2021/2022)
Astin
Lestari (20310410071)
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Dosen Pengampu: Dr. Arundati Shinta, M.A
Definisi Kepemimpinan
Kepemimpinan atau
leading merupakan bagian penting dan salah satu fungsi dari manajemen, tetapi
tidak bisa disamakan dengan manajemen. Kepemimpinan merupakan kemampuan yang
dipunyai seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar bekerja mencapai tujuan
dan sasaran yang diinginkan. Kepemimpinan yang dilihat sebagai kedudukan
merupakan suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh
seseorang atau badan.
Tetapi kepemimipinan
yang dilihat sebagai suatu proses merupakan tindakan yang dilakukan seseorang
atau badan yang menimbulkan aktivitas dari para bawahan. Kepemimpinan
memberikan berindikasi bahwa bagaimana manajer mengarahkan dan memengaruhi para
bawahan, bagaimana cara agar orang- orang lain melakukan tugas-tugas yang
esensial. Dengan menciptakan suasana yang tepat, manajer membantu para
bawahannya untuk bekerja sebaik-baiknya. Kepemimpinan termasuk di dalamnya
penggerakan (actuating) yaitu melakukan penggerakan fan memberikan
motivasi pada bawahan untuk melakukan tugas-tugasnya.
Peran dan Sifat
Kepemimpinan Menurut Sedarmayanti (2017:271) terdapat tiga peran seorang
pemimpin dalam proses memimpin, yaitu:
1. Peran Antar
Manusia
·
Peran
antar manusia ini meliputi:
·
Peran
selaku tokoh
·
Peran
selaku pemimpin
·
Peran
selaku penghubung
2. Peran
informatif
·
Peran-peran
informative dilakukan sebagai berikut:
·
Peran
selaku pemantau
·
Peran
selaku penyebar
·
Peran
selaku public relation (hubungan masyarakat)
3. Peran pembuat
keputusan
·
Peran
seorang pemimpin selaku pembuat keputusa meliputi:
·
Peran
selaku wiraswasta
·
Peran selaku penanggung jawab resiko
·
Peran selaku pembagi sumber daya
·
Peran selaku perunding
Ciri ciri pemimpin yang
tidak baik:
1. Pemimpin
yang “Tukang Perintah”
2. Pemim
Pemimpin Anti Kritikan dan Anti Memberikan Pujian
3. pin
yang Tidak Konsisten
4. Pemimpin
yang tidak bijaksana
5. Pemimpin
yang Kurang Wawasan dan Tidak Open minded
6. Merasa
Paling Benar dan Egois
7. Selalu
Melihat Kebelakang dan Tidak Bisa Move On
8. Tidak
Bertanggung Jawab
9. Tidak
Mampu Berbuat Adil
10. Tidak
Memiliki Perilaku yang Baik
Referensi:
Yulk, G. 1998. Kepemimpinan dalam Organisasi: Leadership in Organisasi 3 rd ed., PT. Prenhallindo, Jakarta
Sedarmayanti. (2017:273). Manajemen Sumber Daya Manusia Reformasi Dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil Edisi Revisi. Bandung: PT Refika Aditama.
Jenis dan Gaya Kepemimpinan
Jenis dan Gaya Kepemimpinan
Essay
Persyaratan Ujian Akhir Semester Psikologi Sosial II
(Semester
3 Ganjil 2021/2022)
Rahayu
(20310410061)
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Dosen
Pengampu: Dr. Arundati Shinta, M.A
Di
jaman modern saat ini diperlukan usaha yang baik dan seorang Pemimpin yang
bersifat jujur, adil dan transparan serta bisa meningkatkan kinerja karyawannya
mulai bawah sampai atas. Terbentuknya
kinerja yang baik akan menimbulkan umpan balik (feedback) kepada bawahan itu
sendiri/pegawai, yaitu akan menimbulkan motivasi kerja yang tinggi dan juga
umpan balik (feed back) pada atasan/pimpinan yaitu akan selalu memperbaiki
kepemimpinannya dan mampu untuk mendorong/memotivasi bawahan dan kemudian
performance akan tinggi sehingga kepuasan yang tercapai, pada akhirnya kinerja
akan meningkat, menurut Stoner (1996) dan Usaha pencapaian tujuan organisasi
ini tidak terlepas dari kinerja karyawannya, hal ini sangat penting karena
karyawan adalah pemikir, perencana sekaligus pelaksana.
Thoha
(1997) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang
digunakan oleh seorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku
orang lain. Dalam hal ini usaha menyelaraskan persepsi di antara orang yang
akan mempengaruhi dengan orang yang perilakunya dipengaruhi menjadi sangat penting
kedudukannya.
Menurut
University of Iowa Studies yang dikutip Robbins dan Coulter (2002), Lewin
menyimpulkan ada tiga gaya kepemimpinan; gaya kepemimpinan autokratis, gaya
kepemimpinan demokratis, gaya kepemimpinan Laissez-Faire (Kendali Bebas).
Gaya Kepemimpinan
Autokratis,
Robbins dan Coulter (2002) menyatakan gaya kepemimpinan autokratis
mendeskripsikan pemimpin yang cenderung memusatkan kekuasaan kepada dirinya
sendiri, mendikte bagaimana tugas harus diselesaikan, membuat keputusan secara
sepihak, dan meminimalisasi partisipasi karyawan. Sedangkan menurut Handoko dan
Reksohadiprodjo (1997), ciri-ciri gaya kepemimpinan autokratis :
1. Pemimpin kurang memperhatikan
kebutuhan bawahan.
2. Komunikasi hanya satu arah yaitu
kebawah saja.
3. Pemimpin cenderung menjadi
pribadi dalam pujian dan kecamannya terhadap setiap anggota.
4. Pemimpin mengambil jarak dari
partisipasi kelompok aktif kecuali bila menunjukan keahliannya.
Gaya kepemimpinan
Demokratis
Menurut Robbins dan Coulter (2002), gaya kepemimpinan demokratis
mendeskripsikan pemimpin yang cenderung mengikutsertakan karyawan dalam
pengambilan keputusan, mendelegasikan kekuasaan, mendorong partisipasi karyawan
dalam menentukan bagaimana metode kerja dan tujuan yang ingin dicapai, dan memandang
umpan balik sebagai suatu kesempatan untuk melatih karyawan.Lebih lanjut
ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis menurut Handoko dan Reksohadiprodjo
(1997):
1. Lebih memperhatikan bawahan untuk
mencapai tujuan organisasi.
2. Menekankan dua hal yaitu bawahan
dan tugas.
3. Pemimpin adalah obyektif atau
fact-minded dalam pujian dan kecamannya dan
4. Pemimpin mencoba menjadi seorang
anggota kelompok biasa.
Gaya Kepemimpinan
Laissez-faire (Kendali Bebas)
Gaya kepemimpinan kendali bebas mendeskripsikan pemimpin yang secara
keseluruhan memberikan karyawannya atau kelompok kebebasan dalam pembuatan
keputusan dan menyelesaikan pekerjaan menurut cara yang menurut karyawannya
paling sesuai menurut Robbins dan Coulter (2002). Ciri-ciri gaya kepemimpinan
kendali bebas menurut Handoko dan Reksohadiprodjo (1997):
1. Pemimpin membiarkan bawahannya
untuk mengatur dirinya sendiri.
2. Pemimpin hanya menentukan
kebijaksanaan dan tujuan umum. Bawahan dapat mengambil keputusan yang relevan
untuk mencapai tujuan dalam segala hal yang mereka anggap cocok.
Daftar Pustaka
Thoha, Miftah. 1993. Perilaku
Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Rajawali Pers. Jakarta.
Robbins dan Coulter. 2002.
Manajemen. PT Indeks Kelompok Gamedia. Jakarta.
Handoko, T Hani. 1999. Manajemen
Personalia dan Sumber Daya Manusia. BPFE. Yogyakarta.
PENTINGNYA MEMIMPIN DIRI SENDIRI SEBELUM MEMIMPIN ORANG LAIN
PERAN PEMIMPIN DALAM MEMOTIVASI KARYAWAN
Anak laki laki dituntut orang tua untuk menjadi pemimpin
Laki laki Mendorong Perempuan Untuk Menjadi Pemimpin
RINGELMAN EFFECT
RINGELMAN EFFECT
Dibuat untuk memenuhi tugas essay 3 mata kuliah Psikologi Sosial II dengan dosen pengampu Dr. Arundati shinta, M.A
Oleh
Siti nurhaliza (20310410055)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA
Dalam hidup atau dalam kehidupan ketika bekerja atau ketika melakukan suatu pekerjaan tidak selalu dilakukan oleh diri sendiri terkadang bekerjasama atau berramai-ramai mengerjakannya dengan yang lain. Akan tetapi akan perbedaan ketika dikerjakan sendiri dan ketika melakukan suatu pekerjaan secara berramai-ramai. Selain karena jumlahnya yang berbeda, yang tadinya sedikit menjadi banyak juga karena biasanya ketika bekerja sendirian individu cenderung mengerjakannya dengan sekuat tenaga tetapi ketika mengerjakannya bersama-sama individu justru malah mengerjakan dengan biasa-biasa saja dan cenderung seperti malah mengerjakannya (social loafing/ permalasan sosial).
Sosial loafing/ permalasan sosial pertama kali diperkenalkan oleh marx ringelmann pada tahun 1924. Ia melakukan penelitian pada sekelompok laki-laki, ia meminta mereka untuk menarik sebuah tali. Dari hasil penelitian yang dilakukan ia mendapatkan hasil bahwa ketika menarik tali dilakukan secara berkelompok atau bersamaan maka usaha yang dikeluarkan justru sedikit dibandingkan dengan saat melakukannya sendiri (Pratama & Farah: 2020). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Marx Ringelman maka dapat dismpulkan bahwa ketika jumlah anggota dalam suatu pekerjaan lebih besar atau bertambah maka usaha yang dikeluarkan oleh masing-masing individu justru semakin lemah atau sedikit dan ini disebut ringelman effect, hal ini terjadi karena hilangnya motivasi dan rasa bertanggung jawab dari masing-masing individu (Dewi: 2012). Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa ringelman effect adalah penurunan suatu usaha individu dalam suatu kelompok karena adanya penambahan jumlah anggota atau karena anggota yang tadinya sedikit menjadi bertambah banyak. Ringelman effect yang terjadi pada sebuah kelompok tentu kurang bagus, maka agar tidak terjadi ringelman effect pada suatu kelompok diperlukan aspek psikologis agar performa atau kualitas kelompok menjadi baik yaitu:
Motivasi anggota kelompok, motivasi dalam diri setiap anggota harus selalu ada dalam proses kerja kelompok atau saat kerja bersama kelompok. Performa tidak akan ada jika motivasi dari masing-masing anggotanya saat kerja kelompok tidak ada.
Koordinasi dalam kelompok, motivasi yang ada atau yang dimiliki individu ketika kerja kelompok atau kerja bersama kelompok memanglah penting, namun hal itu tidaklah cukup, perlu adanya koordinasi antara ketua kelompok dengan anggota ataupun antara anggota yang satu dengan anggota yang lain (Hudiy: 2016).
Daftar pustaka
Dewi, septaliza. (2012). Psikologi olga (makalah emosi, stalaness dan ringelmann effect). https://septalizadewi.blogspot.com/2012/09/psikologi-olga-makalah-emosi-stalaness.html?m=1 (diakses pada 10 januari 2022)
Pratama, kardila desta., & Farah aulia. (2020). Faktor-faktor yang berperan dalam permalasan sosial (social loafing): sebuah kajian literatur. Jurnal pendidikan tambusai. 4(2). 1460-1468
Hudiyana, joevarian. 2016. Performa kelompok: dua detemninan. Inside my mind, personality & social psychology https://joehudijana.wordpress.com/tag/motivation/ (diakses pada 10 januari 2022)
Minggu, 09 Januari 2022
PENJARA DI INDONESIA PENUH DENGAN KAUM ADAM! APAKAH GENDER MEMPENGARUHI AGRESIFITAS?
Essay Syarat Ujian
Akhir Semester Tiga Mata Kuliah Psikologi Sosial II Tahun Ajaran 2021/2022
Dosen Pengampu: Dr.,
Dra. Arundari Shinta, M.A
Rosita Permatahati
NIM 20310410075
FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM PENDIDIKAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA
Tahun
2018, jumlah tahanan di Indonesia mencapai 256.273 sedangkan tahanan laki-laki
sekitar 241.402 tahanan. Dalam kurun waktu tiga tahun penambahan tahanan di
Indonesia mencapai 80.000 tahanan (AntaraNews, 2018). Angka tersebut tentunya
tidak sebanding dengan kapasitas penjara yang tersedia, rata-rata penjara di
Indonesia sudah melebihi kapasitas atau overload (Kompas, 2021). Sedangkan
untuk tahanan perempuan pada tahun 2018 sebanyak 13.569 tahanan (Kompas, 2018).
Perbandingan antara jumlah tahanan laki-laki dan perempuan sangat jauh, tahanan
laki-laki 200.000 jiwa lebih dibanding jumlah tahanan perempuan. Bila saat ini
akan dibuatkan penjara baru itu hanya akan bisa menampung sekitar 35 ribu
tahanan saja (AntaraNews, 2018).
Apakah
gender mempengaruhi perilaku agresif? Sehingga penjara di penuhi oleh laki-laki.
Perilaku agresif merupakan perilaku yang bertujuan untuk merusak, menghilangkan
benda atau sesuatu milik orang lain baik secara verbal atau non verbal (Saputra.
Et., al, 2017). Pada penelitian yang dilakukan oleh Fitri dkk pada tahun 2017 menunjukkan
hasil bahwa tingkat agresif laki-laki lebih besar dari pada perempuan. Penelitian
juga dilakukan oleh Merdekasari dan Caer pada tahun 2017 dengan kesimpulan yaitu
tingkat perilaku agresif pada laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan.
Laki-laki
dikatakan lebih agresif dari pada perempuan karena laki-laki menghasilkan hormon
testosteron dan progesteron yang mana kedua hormon tersebut dapat meningkatkan tingkat
agresifitas pada laki-laki, sedangkan perempuan menghasilkan hormon estrogen yang
mempengaruhi perasaan dan psikis (Suhardi, 2015). Berbedaan hormon tersebut merupakan
faktor biologis yang mana sudah dibawa sejak individu lahir.
Jadi,
gender sangat mempengaruhi tingkat agresifitas seorang individu yang mana laki-laki
memproduksi hormon yang dapat meningkatkan agresifitas. Jadi tidak heran jika laki-laki
lebih mudah berperilaku agresif dari pada perempuan. Dan perilaku agresif yang merusak
dan tidak bisa di kontrol oleh individu itu sendiri membuat ia menjadi tahanan sehingga
jumlah tahanan di Indonesia meningkat . Perlu sekali bagi pemerintah untuk menambah
penjara di Indonesia serta sosialisasi mengenai pertahanan diri yang baik agar perilaku
agresifitas tidak merusak atau merugikan orang lain.
DATAR
PUSTAKA
Suhardi. (2015). Pengaruh perbedaan jenis kelamin
dan pengetahuan konsep dasar ekologi terhadap kepedulian lingkungan, Jurnal Penelitian
Pendidikan Agama dan Keagamaan, 14(1). April 117-132.
Kompas. (2021). 9 lapas dengan kelebihan penghuni
terbesar di indonesia https://amp.kompas.com/nasional/read/2021/09/10/15065291/9-lapas-dengan-kelebihan-penghuni-terbesar-di-indonesia
diakses pada tanggal 9 Januari 2022.
Antaranews. (2018). Jumlah tahanan di Indonesia
terlalu banyak https://m.antaranews.com/berita/697815/jumlah-tahanan-di-indonesia-terlalu-banyak
diakses pada tanggal 9 Januari 2022.
Merdekasari, Arih & Tqriqul Chaer.
(2017). Perbedaan perilaku agresif antara siswa laki-laki dan siswa perempuan di
SMPN 1 Kasreman Ngawi, Jurnal Psikoligi Pendidikan & Konserling.
3(1) Juni 53-60.
Fitri, S., Luawo, M. I. R., & Puspasari,
D. (2016). Gambaran agresifitas pada remaja laki-laki siswa SMA DI Jakarta, Jurnal
Bimbingan Konseling. 5(2). Desember 155-168.
Saputra, W. N. E., Hanifah, N., & Widagdo,
D., N. (2017). Perbedaan tingkat perilaku agresif berdasarkan jenis kelamin pada
siswa sekolah menengah kejuruan kota yogyakarta, Jurnal Kajian Bimbingan dan
Konserling. 2(4). Desember 142-147.
Sabtu, 08 Januari 2022
Perempuan Juga Memiliki Hak untuk Memimpin
Perempuan
Juga Memiliki Hak untuk Memimpin
Syarat
Mengikuti Ujian Akhir Semester 3 Psikologi Sosial 2
Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, M. A
Oleh :
Nama : Sofi Anggraini
NIM :
20310410065
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Pemimpin merupakan sosok yang di depan dan pembimbing pada kebenaran untuk menjadi petunjuk dalam kebaikan bagi anggotanya. Menjadi Seorang pemimpin harus bertanggung jawab, kerja keras, dan memiliki kemampuan untuk menggerakkan manusia menuju pada tujuan yang telah ditentukan. Kepemimpinan memiliki 3 unsur yang meliputi, adanya tujuan yang menggerakkan manusia, sekelompok orang, dan mengarahkan juga memberikan pengaruh pada manusia. (As-Suwaidan & Basyarahil, 2005).
Di Indonesia jumlah pemimpin laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa kehadiran pemimpin perempuan
menjadi masalah tersendiri. Namun pada dasarnya, perempuan memiliki hak yang
sama dengan laki-laki, terutama dalam hal memegang posisi kepemimpinan. Pada
kenyataannya masih banyak stereotip bahwa perempuan ketika menjadi pemimpin
akan mengungguli laki-laki (UMY, 2016). Pada prinsip kesetaraan harus mencakup
semua bidang dan tingkatan kehidupan, yang dimaksud dengan asas kesetaraan
dalam hal ini bukanlah kesetaraan fisik antara laki-laki dan perempuan.
Kesetaraan disini adalah menyamakan hak dan kewajiban antara laki-laki dan
perempuan (Hermanto, 2017). Pada hakekatnya perempuan dan laki-laki saling
membutuhkan dalam usahanya mencapai tujuan bersama yang tidak dapat dicapai
sendirian. Untuk mencapai kesetaraan laki-laki perempuan diperlukan
transformasi nilai yang berkenan dengan perubahan hubungan gender dan
keseimbangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki (Ambarsari, 2016).
Kesalahan penilaian gender pada dasarnya bersumber dari asumsi
dasar tentang keyakinan agama, yaitu, asumsi dogmatis eksplisit yang melihat
perempuan sebagai pelengkap, pandangan materialis ideologis masyarakat Makkah pra-Islam
yang memandang rendah peran perempuan dalam proses produksi. Memulai pendekatan
baru, diharapkan akan muncul perspektif yang lebih manusiawi dan adil.
Perempuan memiliki akses penuh untuk berpartisipasi dalam bidang politik,
ekonomi, sosial dan intelektual dan diperlakukan dengan rasa hormat yang sama
dengan laki-laki.
Daftar
Pustaka
As-Suwaidan,
Thariq. M. & Basyarahil, Faishal U. (2005). Melahirkan Pemimpin Masa
Depan. Jakarta: Gema Insani
Biro
Informasi Sistem UMY. (2016). Wanita Juga Memiliki Hak untuk Memimpin.
Retrieved on January 09, 2022 from: https://www.umy.ac.id/wanita-juga-miliki-hak-untuk-memimpin
Hermanto,
Agus. (2017). Teori Gender dalam Mewujudkan Kesetaran: Menggagas Fikih Baru. Jurnal
Hukum Islam. November 01, 5(2), 209-232. DOI: https://doi.org/10.21274/ahkam.2017.5.2.209-232
Ambarsari,
Wiwik. (2016). Pemberdayaan Perempuan. Journal Universitas Wiralodra,
3-8
The Short Index of Self Actualization Inventory
The Short Index of Self Actualization Inventory
Psikologi Manajemen dan
Organisasi
(Semester Ganjil 2021/2022)
Ade Rei Enggi Wijaya
(20310410034)
Fakultas Psikologi Universitas
Proklamasi 45 Yogyakarta
Dosen Pengampu : Dr., Arundati Shinta
Nomor butir & Pernyataan |
Setuju |
Agak setuju |
Agak tidak setuju |
Tidak setuju |
1)Saya tidak merasa
malu menampakkan emosi-emosi saya. |
|
|
|
V |
2)Saya merasa bahwa saya harus melakukan sesuatu seperti
yang orang lain harapkan dari saya. |
V |
|
|
|
3)
Saya yakin bahwa orang-orang
pada dasarnya adalah baik dan bisa dipercaya |
V |
|
|
|
4)Saya merasa leluasa untuk mengungkapkan rasa marah saya
pada orang2 yang saya cintai. |
|
|
|
V |
5)
Penting bagi saya
untuk mendapatkan persetujuan dari orang lain terlebih dahulu sebelum saya
melakukan segala hal. |
V |
|
|
|
6)Saya tidak bisa menerima sisi-sisi kelemahan saya. |
|
|
|
V |
7)Saya bisa
menyukai orang lain meskipun orang lain itu belum tentu menyukai saya. |
|
V |
|
|
8) Saya takut gagal |
|
|
|
V |
9)Saya menolak
usaha-usaha yang tujuannya menganalisis dan menyederhanakan hal-hal yang
kompleks. |
|
|
|
V |
10)Menjadi diri sendiri adalah lebih bagus daripada
menjadi populer |
V |
|
|
|
11) Saya
tidak punya tujuan hidup apa pun untuk hal2 yang semestinya menjadi dedikasi
saya. |
|
|
|
V |
12)Saya mampu mengekspresikan perasaan saya meskipun perasaan itu mungkin saja memberikan konsekuensi yang tidak menyenangkan. |
|
V |
|
|
13)Saya
merasa tidak perlu bertanggungjawab untuk menolong orang lain. |
|
|
|
V |
14) Saya terganggu oleh rasa takut bahwa saya orang
yang tidak memadai kemampuannya. |
|
|
|
V |
15) Saya
dicintai orang lain karena saya juga memberi cinta pada orang lain. |
V |
|
|
|
----- Terima kasih
-----