Minggu, 02 Januari 2022

Pesona Gunung Merapi Menyambut Pagi, Mari Pancarkan Aura Positif dalam Diri

 

Pesona Gunung Merapi Menyambut Pagi, Mari Pancarkan Aura Positif dalam Diri

Tulisan untuk Ujian Akhir Semester

Psikologi Manajemen dan Organisasi

(Semester Ganjil 2021/2022)

 

Rifa Rufianti (20310410053)

Kelas Regular (A)

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, M.A

 


Gambar diambil di Berbah, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta

 

Keindahan gunung bisa juga dinikmati dari jarak yang sangat jauh. Namun, hal ini tidak akan menghilangkan nuansa indah yang disuguhkan alam. Suasana pagi yang segar, siap menyambut makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan segala aktivitasnya. Manusia dan alam telah ditakdirkan hidup berdampingan. Manusia diberi mandat untuk menjaga kelestarian alamnya agar tetap sejuk dan asri. Alam yang dirawat tentu saja akan memberikan timbal balik positif untuk seluruh umat manusia dan makhluk lainnya. Begitu pula sebaliknya, alam yang hanya dirusak akan membawa bencana.

Sebagai gunung berapi yang masih aktif, Merapi merupakan pesona tersendiri bagi penduduk yang tinggal di lereng-lerengnya. Keserasian hubungan manusia dengan alam sebagaimana dalam konsep kearifan lokal Jawa memayu hayuning bawana, mempercantik atau memperindah dunia (Prasojo, 2018). Pesona gunung merapi yang diiringi hamparan sawah dengan tanaman padinya yang mulai menghijau menggambarkan aura positif tersendiri. Aura yang ditampilkan alam merupakan sumber energi bagi manusia yang mau untuk mensyukuri nikmat Tuhan karena tidak sedikit manusia yang hanya merusak alam. Padahal alam nan indah ini telah diciptakan untuk keseimbangan seluruh penghuni bumi ini. Mereka diciptakan untuk saling berdampingan. Sama halnya dengan jiwa dan raga yang diciptakan saling melekat dalam diri manusia. Sesungguhnya dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Dua hal tersebut harus ada keseimbangan yang saling berhubungan untuk terciptanya hal positif  yang mengandung nilai-nilai tertentu. Misalnya saja, tersenyum. Raga yang dipaksakan untuk tersenyum tidak akan memancarkan aura positif tanpa ada dorongan dan ketulusan hati. Senyum hanya akan menjadi sebuah tarikan bibir yang tidak ada nilainya sama sekali.

Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya. Dalam interaksinya tentu saja membutuhkan keutuhan energi jiwa dan raga. Hal ini disebabkan energi yang terpancar dari jiwa saja, sedangkan raga tidak digerakkan sejalan dengan jiwa maka kurang maksimal. Begitu pula dengan beribadah. Ibadah adalah media mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini juga memerlukan kekuatan lahir batin yang saling menyatu.

Dapat kita ketahui bahwa dalam melakukan apapun senantiasa membutuhkan keutuhan energi yang bersumber dari jiwa dan raga. Karena pada dasarnya, manusia terdiri dari ruh dan jasad yang saling berkesinambungan. Menjadi manusia yang mampu memancarkan aura positif akan memberikan benefit tersendiri untuk dirinya dan lingkungannya. Suasana menjadi nyaman, tenang, dan damai. Kebiasaan ini jika bisa dilakukan dengan konsisten, semakin meluaslah kekuatan positif pada diri manusia. Pada hakikatnya manusia yang bermanfaat adalah manusia yang senantiasa memberikan hal positif ke lingkungannya sebagai sarana rasa syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan.

 

Daftar Pustaka

Prasojo, M. N. B. (2018). Konstruksi Sosial Masyarakat Terhadap Alam Gunung Merapi: Studi Kualitatif tentang Kearifan Lokal yang Berkembang di Desa Tlogolele Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Jurnal Analisa Sosiologi, 4(2).

Tulisan ini adalah narasi untuk Lomba Memotret dengan tema “Potret Nusantara” Periode lomba berlangsung tanggal 1-31 Desember 2021.

0 komentar:

Posting Komentar