Selasa, 13 Mei 2025

Esai 9 UTS-DHIMAS RESTU PUTRA YULIYANTO-23310410136

Essai 9 : Ujian Tengah Semester

 

Psikologi Lingkungan

 

Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta, MA.

 

 


 

 

 

Dhimas restu putra yuliyanto-23310410136

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

 



 

 

PENDAHULUAN

Masalah limbah atau sampah menjadi perhatian utama dalam isu lingkungan di zaman modern ini. Seiring dengan pertumbuhan populasi, meningkatnya konsumsi, dan gaya hidup yang cenderung konsumtif, jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat terus bertambah. Jika limbah tidak dikelola dengan baik, hal ini dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, kesehatan, serta kualitas hidup manusia.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pengelolaan limbah dengan menggunakan hirarki prioritas pengelolaan limbah (waste management hierarchy) menjadi strategi yang efektif. Hirarki ini digambarkan dalam bentuk piramida terbalik yang menunjukkan urutan pengelolaan limbah dari yang paling dianjurkan hingga yang paling tidak dianjurkan. Menurut Chowdhury et al. (2014), terdapat enam tingkatan dalam hirarki ini, yaitu Prevention (Pencegahan), Reuse (Penggunaan Kembali), Reduce (Pengurangan), Recycling (Daur Ulang), Energy Recovery (Pemulihan Energi), dan Disposal (Pembuangan).

PEMBAHASAN

Prevention (Pencegahan) – Langkah Terbaik

Pencegahan menjadi langkah pertama karena dianggap paling efektif dan ramah lingkungan. Tujuannya adalah menghindari timbulnya sampah sejak awal sehingga tidak perlu melakukan pengolahan atau pembuangan.

Contohnya adalah 

1.     menghindari penggunaan barang sekali pakai seperti botol plastik dan sedotan, memutus rantai produksi sampah sejak sumbernya.

2.     Membawa tas belanja sendiri dari rumah untuk mengurangi penggunaan kantong plastik.

 

Reuse (Penggunaan Kembali)

Reuse berarti memanfaatkan kembali barang atau bahan tanpa proses pengolahan, baik untuk tujuan yang sama maupun berbeda. Dengan memperpanjang masa pakai barang, kebutuhan membeli barang baru berkurang dan limbah pun menurun.

Contohnya adalah 

1.     menggunakan kantong belanja kain yang dapat dipakai berulang kali, serta memanfaatkan kembali pakaian atau perabot bekas yang masih layak pakai. 

2.     Memakai kembali pakaian bekas, baik secara pribadi maupun dengan menyumbangkannya kepada orang lain.

 

Reduce (Pengurangan)

Reduce fokus pada pengurangan jumlah atau volume bahan yang digunakan dalam aktivitas sehari-hari, dengan menekankan efisiensi dan penghematan sumber daya.

Contoh penerapannya adalah 

1.     mengurangi penggunaan kertas dengan beralih ke dokumen digital 

2.     menghindari pemborosan makanan dengan memasak sesuai kebutuhan dan menyimpan sisa makanan dengan benar. 

3.     Mengurangi penggunaan tisu dengan menggantinya menggunakan kain lap yang bisa dicuci ulang.

Budaya reduce perlu dibiasakan sejak dini agar pengurangan sampah dapat berlangsung jangka panjang.

 

Recycling (Daur Ulang)

Daur ulang adalah proses mengolah limbah menjadi produk baru yang berguna. Walaupun memerlukan energi, daur ulang lebih baik dibandingkan membuang sampah langsung ke tempat pembuangan akhir (TPA). Daur ulang juga membuka peluang ekonomi melalui pengumpulan dan pengolahan limbah.

Contohnya adalah 

1.     memilah sampah berdasarkan jenisnya agar mudah didaur ulang dan mengirimkan sampah anorganik ke bank sampah.

2.     Memilah sampah rumah tangga ke dalam kategori organik, plastik, kertas, dan logam untuk memudahkan proses daur ulang.

Daur ulang tetap membutuhkan energi dan teknologi, sehingga posisinya di bawah reduce dan reuse dalam hirarki.

 

Energy Recovery (Pemulihan Energi)

Pemulihan energi adalah proses mengubah limbah menjadi energi seperti panas, listrik, atau bahan bakar. Contohnya adalah pembakaran limbah (insinerasi) yang menghasilkan energi panas atau pemanfaatan gas metana dari limbah organik untuk pembangkit listrik.

Contoh

1.     mendukung pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dan mengolah limbah organik menjadi biogas di pedesaan. Meskipun bermanfaat, 

2.      

metode ini tetap menghasilkan emisi dan residu yang perlu dikelola seperti saya pernah menungujungi TPS randu alas dengan membakar hasil residunya dan menyebabkan polusi udara, sehingga tidak bisa menjadi solusi utama.

 

Disposal (Pembuangan) – Langkah Terakhir dan Paling Tidak Dianjurkan

Pembuangan adalah tahap akhir dalam pengelolaan limbah dan paling tidak dianjurkan. Ini melibatkan pembuangan sampah ke TPA atau pembakaran terbuka tanpa pemanfaatan sebelumnya.Contoh

1.     membuang sampah sembarangan yang dapat mencemari lingkungan dan mengandalkan TPA sebagai satu-satunya solusi, yang berpotensi menimbulkan dampak negatif seperti pencemaran tanah dan air. Disposal hanya digunakan untuk limbah yang tidak bisa dimanfaatkan lagi, seperti limbah medis atau bahan beracun.

Kesimpulan

Hirarki pengelolaan limbah memberikan panduan sistematis dalam menangani masalah sampah secara bertahap. Pendekatan ini menekankan bahwa langkah utama adalah mencegah timbulnya sampah, bukan hanya mengelola setelah sampah ada. Semakin ke bawah urutan hirarki, dampak lingkungan dan biaya yang ditimbulkan semakin besar.

Kerjasama antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta sangat penting untuk menginternalisasi prinsip-prinsip hirarki ini dalam kebijakan dan perilaku sehari-hari. Edukasi tentang pemilahan sampah, pengurangan konsumsi, serta pengembangan infrastruktur daur ulang dan energi terbarukan menjadi kunci untuk mewujudkan Indonesia yang lebih bersih, sehat, dan berkelanjutan.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, kita tidak hanya melindungi lingkungan, tetapi juga membangun budaya baru yang lebih peduli terhadap keberlanjutan hidup.

 

 

Menurut saya Penempatan energy recovery di posisi kelima dalam hirarki pengelolaan limbah menurut Chowdhury et al. memang logis secara teori, tapi bisa jadi kurang realistis di lapangan. Masyarakat sering kehilangan motivasi untuk menerapkan prinsip 3R (Reuse, Reduce, Recycle), karena merasa pada akhirnya semua sampah akan dibakar dan dijadikan energi. Padahal, 3R bukan hal mudah—perlu waktu, biaya, pengetahuan, dan konsistensi. Membuat kompos, memilah sampah, atau mendaur ulang bukan kebiasaan umum dan seringkali dirasa merepotkan.

 

Sebaliknya, energy recovery tampak seperti solusi instan yang praktis: tinggal buang sampah, lalu keluar listrik. Inilah alasan mengapa sebagian orang berpikir langkah ini layak ada di posisi paling atas. Namun, bila dijadikan prioritas utama tanpa pengawasan ketat, justru bisa memicu konsumsi berlebihan karena masyarakat merasa tak perlu repot mengelola sampahnya.

 

Dari sisi teknis, proses ini juga bukan tanpa risiko. Insinerasi menghasilkan emisi berbahaya dan residu toksik. Fasilitas PLTSa mahal dan kompleks, dan jika dikelola buruk, bisa lebih berbahaya daripada bermanfaat.

 

Meski begitu, kritik ini memberi ide baru—mengombinasikan pendekatan teknologi dengan prinsip ekonomi sirkular. Memulai dari energy recovery, lalu memanfaatkan sisa limbah menjadi produk baru seperti kompos atau sabun cair bisa jadi pilihan pragmatis, terutama untuk kota besar yang kewalahan dengan volume sampah.

 

Kesimpulannya, hirarki dari Chowdhury tetap relevan sebagai panduan etis jangka panjang, tapi penerapannya harus fleksibel. Alih-alih mengubah urutannya, yang lebih bijak adalah mengintegrasikan teknologi modern dengan edukasi masyarakat agar solusi yang diambil tetap realistis, inklusif, dan berkelanjutan.

 

0 komentar:

Posting Komentar