Membangun Mental Berprestasi dan Keberanian Berubah dalam Psikologi Inovasi
Disusun oleh : Alfiyan Hidayat
Nim : 22310410030
Mata Kuliah : Psikologi Inovasi
Dosen Pengampu : Dr., Dra. Arundati Shinta, MA.
Permasalahan
Mata kuliah Psikologi Inovasi di UP45 memiliki dua misi utama: (1) membangun dorongan berprestasi (nAff) melalui esai prestasi, dan (2) melatih keberanian berubah meski berisiko gagal. Namun, kedua misi ini menghadapi tantangan serupa: kurangnya partisipasi mahasiswa. Esai prestasi diabaikan karena dianggap tidak wajib dan tidak berpengaruh pada nilai, sementara perubahan sering dihindari akibat ketakutan akan kegagalan. Padahal, kedua hal ini adalah fondasi untuk menciptakan mahasiswa yang inovatif dan tangguh, seperti masyarakat Kerala yang sukses berkat budaya kolaborasi (Harper, 1984) atau prinsip keberuntungan Wiseman (2003) yang menekankan ketekunan dan pola pikir positif.
Analisis Penyebab
1. Esai Prestasi: Dari nAff ke Persepsi “Low Hanging Fruits”
Esai prestasi dirancang sebagai praktikum teori dorongan berprestasi (nAff) ala Kerala, India. Masyarakat Kerala maju karena obsesi kolektif untuk saling mendukung melalui pelatihan wirausaha, diskusi positif, dan menghadirkan inspirasi (Harper, 1984). Sayangnya, mahasiswa UP45 justru melihat esai ini sebagai tugas “sekadar tambahan” karena sifatnya tidak wajib. Beberapa penyebabnya:
Minimnya Insentif: Tidak ada dampak langsung pada nilai akhir.
Ketidakterbiasaan dengan Kegiatan Sosial: Menulis di media massa atau pelayanan masyarakat dianggap rumit dan tidak praktis.
2. Keengganan Berubah: Antara Mekanisme Pertahanan Diri dan Teori Keberuntungan
Wiseman (2003) menjelaskan bahwa keberuntungan diciptakan melalui empat elemen: tekun, jejaring sosial, reframing positif, dan kepercayaan pada insting. Namun, mahasiswa sering terjebak dalam sikap defensif ketika perubahan gagal, seperti menyalahkan pihak lain atau mencari alasan. Penyebabnya:
Ketakutan akan Kegagalan: Perubahan dianggap berisiko, sehingga kegagalan direspons dengan mekanisme pertahanan diri.
Kurangnya Kebiasaan Introspeksi: Mahasiswa jarang mengevaluasi kegagalan secara objektif untuk mencari pelajaran.
Tekanan Sosial: Kesuksesan teman seangkatan membuat mahasiswa malu mengambil risiko baru.
Solusi Integratif
Untuk mengatasi kedua masalah ini, diperlukan pendekatan yang menyinergikan prinsip nAff Kerala dan teori keberuntungan Wiseman:
1. Integrasi Kegiatan ke Kurikulum
Esai prestasi bisa dijadikan proyek kelompok wajib yang dinilai berdasarkan partisipasi dalam pelayanan masyarakat atau publikasi media. Contoh: Mahasiswa membuat kampanye edukasi kesehatan mental di Instagram atau mengadakan pelatihan kewirausahaan sederhana di lingkungan kampus.
Perubahan dan eksperimen inovatif dimasukkan sebagai komponen penilaian, misalnya melalui simulasi bisnis atau proyek sosial yang mengharuskan mahasiswa mengambil risiko terukur.
2. Membangun Ekosistem Supportif ala Kerala
Forum Diskusi Rutin: Membuat kelompok kecil di mana mahasiswa saling berbagi pengalaman kegiatan sosial atau refleksi kegagalan. Dosen dan alumni bisa dihadirkan sebagai mentor.
Penghargaan Non-Akademik: Memberikan sertifikat atau apresiasi publik untuk esai prestasi terbaik atau inovasi gagal namun inspiratif. Ini memicu motivasi intrinsik dan mengurangi stigma terhadap kegagalan.
3. Pelatihan Mindset Reframing Positif
Workshop “Failure Analysis”: Mengajak mahasiswa menganalisis kegagalan proyek mereka dengan pertanyaan: Apa yang bisa dipelajari? Bagaimana memperbaiki strategi?
Kisah Inspiratif Tokoh Lokal: Menghadirkan wirausahawan atau aktivis yang pernah gagal namun bangkit melalui kolaborasi dan ketekunan, sesuai prinsip Kerala dan Wiseman.
4. Peran Dosen sebagai Suri Tauladan
Dosen perlu secara terbuka membagikan pengalaman pribadi dalam menghadapi kegagalan atau kegiatan sosial yang pernah dilakukan. Misalnya, menceritakan proses penolakan artikel penelitian atau kisah mendirikan komunitas sosial. Ini membuktikan bahwa perubahan dan nAff bukan sekadar teori, tapi praktik nyata.
Kesimpulan
Esai prestasi dan keberanian berubah adalah dua sisi mata uang yang sama: latihan membangun mental tangguh dan inovatif. Dengan mengintegrasikan kedua aspek ke dalam kurikulum, membangun ekosistem supportif, dan melatih pola pikir reframing, mahasiswa tidak hanya mengejar nilai akademik, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai Kerala dan teori keberuntungan. Seperti kata Robin Sharma, “Perubahan memang menakutkan, tetapi tidak berubah lebih mengerikan.” Jika Kerala bisa bangkit dari keterbelakangan melalui kolaborasi dan obsesi berprestasi, mahasiswa UP45 pun mampu menciptakan “keberuntungan” sendiri dengan tekun, berjejaring, dan berani mencoba.
Daftar Pustaka
Harper, M. (1984). Entrepreneur for the poor. London: Intermediate Technology Publications in association with GTZ (German Agency for Technical Co-operation).
Wiseman, R. (2003). The luck factor: The four essential principles. New York: Hyperion

0 komentar:
Posting Komentar