REMIDIAL PSIKOLOGI INOVASI
ESAI 1- MENGAPA ESAI PRESTASI DIANGGAP BEBAN BUKAN PELUANG?
ESAI 2- BERANI BERUBAH MESKI MENYAKITKAN
DOSEN PENGAMPU: Dr.,Dra.ARUNDATI SHINTA, MA.
|
|
|
|
MAULANA NOR IKHSAN
22310410083
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
YOGYAKARTA
02/2025
Esai 1: Mengapa Esai Prestasi Dianggap Beban, Bukan Peluang?
Esai prestasi dalam mata kuliah Psikologi Inovasi sebenarnya merupakan sarana penting untuk mengasah dorongan berprestasi (nAff) seperti yang ditemukan Gregor McDouglas saat meneliti masyarakat Kerala. Namun, minimnya antusiasme mahasiswa UP45 untuk mengerjakannya mengindikasikan adanya hambatan psikologis dan persepsi yang keliru terhadap makna prestasi.
Permasalahan: Rendahnya Minat Menyusun Esai Prestasi
Mahasiswa cenderung menghindari tugas esai prestasi karena:
1. Tidak Wajib & Tidak Berpengaruh Langsung pada Nilai: Tugas ini tidak memengaruhi nilai akhir, sehingga dipandang sebagai upaya sia-sia. Ini menunjukkan bahwa banyak mahasiswa masih termotivasi secara ekstrinsik, bukan intrinsik.
2. Ketidakterbiasaan dengan Kegiatan Sosial: Kurangnya paparan terhadap aktivitas pelayanan masyarakat membuat mahasiswa merasa canggung dan tidak tahu harus memulai dari mana.
3. Fenomena “Low Hanging Fruits”: Mahasiswa cenderung memilih tugas yang lebih mudah dijangkau dan berdampak langsung pada nilai daripada mengerjakan tugas yang kompleks namun berdampak jangka panjang pada pengembangan diri.
Solusi: Mengubah Mindset Mahasiswa
Untuk mengatasi ini, diperlukan pendekatan yang mengubah pola pikir mahasiswa:
1. Internalisasi Makna Prestasi: Dosen bisa mengaitkan esai prestasi dengan penguatan karakter dan pengembangan soft skills yang relevan dengan dunia kerja.
2. Penghargaan Non-Nilai: Memberikan apresiasi berupa publikasi karya mahasiswa atau sertifikat yang bisa menjadi portofolio.
3. Pendampingan & Role Model: Menghadirkan alumni yang berhasil berkat aktivitas sosial dapat menjadi inspirasi.
Seperti masyarakat Kerala, jika mahasiswa saling mendukung dan melihat prestasi sebagai perjalanan kolektif, lambat laun esai prestasi akan dipandang sebagai peluang, bukan beban.
Esai 2: Berani Berubah Meski Menyakitkan
Dalam Psikologi Inovasi, mahasiswa diajarkan untuk berani berubah, walaupun perubahan sering kali berakhir dengan kegagalan. Ini sejalan dengan teori keberuntungan Roger Wiseman (2003), yang menyatakan bahwa keberuntungan bisa diciptakan melalui ketekunan, koneksi sosial, sikap positif, dan kepekaan intuisi.
Permasalahan: Takut Gagal & Mekanisme Pertahanan Diri
Ketakutan akan kegagalan sering kali membuat mahasiswa enggan mengambil langkah baru. Ketika hasil buruk terjadi, banyak yang menggunakan mekanisme pertahanan diri seperti:
· Rasionalisasi: “Saya gagal karena dosen terlalu ketat.”
· Proyeksi: “Teman-teman saya lebih sukses karena mereka punya koneksi.”
· Denial: “Tugas ini sebenarnya tidak penting.”
Meskipun ini wajar secara psikologis, pola pikir ini justru menghambat perkembangan pribadi.
Solusi: Membangun Mentalitas Tahan Banting
Agar mahasiswa berani berubah dan tetap tegar, penting untuk:
1. Menerapkan Growth Mindset: Mengajarkan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar.
2. Komunitas Dukungan: Membangun ruang diskusi di mana mahasiswa bisa berbagi pengalaman, sehingga mereka merasa tidak sendirian dalam menghadapi kegagalan.
3. Jurnal Reflektif: Membiasakan mahasiswa untuk merefleksikan kesalahan mereka dan mencari pelajaran positif dari setiap kejadian buruk.
Seperti kata Robin Sharma, “Tidak berubah lebih menakutkan daripada berubah.” Oleh karena itu, mahasiswa harus diajak untuk melihat kegagalan sebagai batu loncatan menuju keberhasilan — layaknya para inovator yang berkali-kali jatuh sebelum akhirnya menemukan terobosan.
Daftar Pustaka:
Harper, M. (1984). Entrepreneur for the poor. London: Intermediate Technology Publications in association with GTZ.
Wiseman, R. (2003). The luck factor: The four essential principles. New York: Hyperion.
0 komentar:
Posting Komentar