EMBUNG PENYEDIA KEHIDUPAN
Air adalah sumber kehidupan. Sekitar
80—90% zat penyusun makhluk hidup pun berupa air. Sumber air beragam, di
antaranya dari presipitasi atau hujan, mata air, dan air bawah tanah. Sumber
air yang kurang termanfaatkan dan kerap terbuang adalah air hujan. Indonesia
sebagai negara tropis memiliki curah hujan tinggi, rata-rata 2.000—3.000 mm per
tahun. Jumlah itu kerap terbuang karena kurang optimalnya penampungan air.
Andai setiap tetes air hujan itu termanfaatkan, tentu irigasi untuk pertanian
bisa lebih optimal, mengingat banyak daerah pertanian di Indonesia berupa lahan
tadah hujan. Salah satu kiat yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan air hujan
adalah menampungnya, agar kelebihan air pada musim hujan bisa digunakan pada
musim kemarau. Embung bisa menjadi pilihan sebagai alat penampung air. Tidak
hanya air hujan, sumber air potensial lain seperti air sungai, air parit,
suplesi air irigasi, hingga air dari mata air pun bisa ditampung di embung.
Tak seperti sekarang, pada zaman dahulu
air masih sangat melimpah dan terjaga karena semua berjalan alami begitu saja,
tanpa ada campur tangan manusia dengan berbagai factor yang dapat menurunkan
kualitasnya. Namun di satu sisi, di zaman sekarang ini dengan segala teknologi
dan pemikirannya, manusia menggunakan air dibarengi dengan menggunakan
teknologi tersebut. Baik untuk menemukan sumber mata air itu sendiri maupun
untuk meningkatkan kualitas air agar tetap layak digunakan. Maka dari itu,
pemberdayaan air sangatlah diperlukan.
Pelestarian air oleh manusia memiliki
perbedaan di setiap daerah menyesuaikan dengan kondisi alam dan daerah
masing-masing. Sebagai contoh di desa Ngeposari, Kecamatan Semanu, Kabupaten
Gunungkidul. Disini terdapat sebuah embung yang bernama Embung Jlamprong.
Lokasinya berada di pegunungan yang letaknya dikelilingi oleh persawahan,
perkebunan, dan terdapat goa yang lingkungannya dijaga keasliannya sekaligus
dijadikan sebuah tempat wisata.
Berdasarkan buku Pedoman Teknis Konservasi
Air Melalui Pembangunan Embung yang diterbitkan oleh Direktorat Pengelolaan Air
Irigasi, Kementerian Pertanian (2011) embung merupakan bangunan konservasi air
berbentuk cekungan disungai atau aliran air berupa urugan tanah, urugan batu,
beton dan/atau pasangan batu yang dapat menahan dan menampung air untuk
berbagai keperluan. Menurut (Rustam, 2010) embung adalah bangunan artifisial
yang berfungsi untuk menampung dan menyimpan air dengan kapasitas volume kecil
tertentu, lebih kecil dari kapasitas waduk/bendungan. Embung biasanya dibangun
dengan membendung sungai kecil atau dapat dibangun di luar sungai. Kolam embung
akan menyimpan air dimusim hujan dan kemudian air dimanfaatkan oleh suatu desa
hanya selama musim kemarau untuk memenuhi kebutuhan dengan urutan prioritas, penduduk,
ternak, dan kebun atau sawah. Jumlah kebutuhan tersebut akan menentukan tinggi
tubuh embung dan kapasitas tampungan embung.
Embung yang dibangun pada tahun 2015 ini
tergolong embung penampung air (storage dams) dalam jenisnya. Dikarenakan,
embung ini dibangun bertujuan untuk menyimpan air di musim hujan kemudian
dipergunakan di musim kemarau, dimana pada masa ini kebutuhan air meningkat
apalagi daerah ini adalah daerah dengan kontur tanah keras dan batuan karst
yang sulit menampung air. Ada pun air, maka sumbernya berada di bawah tanah,
terdapat sungai bawah tanah dimana terdapat air mengalir namun sulit dijangkau
oleh warga.
Selain digunakan untuk menampung air,
embung yang bervolume tampung 16.778 m3 ini juga digunakan warga
sekitar maupun warga dari daerah lain untuk memancing, olahraga jogging,
berwisata, ataupun kegiatan refreshing lainnya. Bahkan, pemerintah setempat
juga beberapa kali mengadakan acara untuk warganya disana.
Daftar Pustaka
http://e-journal.uajy.ac.id/17541/3/MTS026712.pdf
https://core.ac.uk/download/pdf/236378322.pdf
http://repository.pertanian.go.id/handle/123456789/6382
http://sda.pu.go.id/berita/view/pembangunan_4_embung_dan_kedaulatan_pangan_di_ta_2017_
0 komentar:
Posting Komentar