Kamis, 08 April 2021

PENGENDALIAN EMOSI ANGGOTA KEPOLISIAN SAAT TERJADI KERICUHAN PENGAMANAN SEPAK BOLA

 



Di Susun Oleh :

Ade Rei Enggi Wijaya

20310410034

Fakultas Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Dosen Pengampu : Dr.Arundhati Shinta, M.A



Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu lembaga Negara yang ada di Negara Republik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Sebagai sebuah organisasi, Polri telah menerapkan sistem sentralisme dimana ada satu kesatuan yang saling terkait antara Polri tingkat pusat yaitu Mabes Polri sampai dengan Polri tingkat bawah yaitu Polisi Sektor (Polsek) sebagai ujung tombaknya. Keberhasilan suatu organisasi tergantung pada kemampuannya untuk mengelola berbagai macam sumber daya yang dimilikinya, salah satunya yang sangat penting yaitu sumber daya manusia. Sumber daya manusia senantiasa melekat pada setiap sumber daya organisasi apapun sebagai faktor penentu keberadaan dan peranannya dalam memberikan kontribusi ke arah pencapaian tujuan secara efektif dan efisien.

Tujuan dari organisasi Polri, yaitu menciptakan Kepolisian Republik Indonesia yang professional, salah satunya dengan cara berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Hal itu menjadi acuan dalam Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat, berada dekat masyarakat dan membaur bersamanya. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa Tugas Pokok Kepolisian Negara Indonesia adalah: Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, Menegakkan hukum, dan Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tugas-Tugas tersebut harus dipahami, dihayati dan dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang ada di organisasi Polri, yaitu semua personil Polri. Kenyataan di lapangan bahwa banyak personil Polri yang tidak memahami, menghayati, dan melaksanakan tugas dengan baik dan benar, sehingga menimbulkan pandangan dan penilaian negatif dari masyarakat, yang dampaknya dirasakan organisasi Polri. Jika tugas yang diemban tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, maka kepercayaan masyarakat terhadap Polri tidak akan pernah terwujud seperti yang diharapkan oleh institusi Polri selama ini.

Setiap anggota Polri di lapangan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat untuk melakukan berbagai tugas pembinaan (perlindungan, pengayoman dan pelayanan) diharapkan harus bisa memberikan kesan dan cermin Polri yang baik bagi masyarakat. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, cara berpakaian, cara berbicara, hingga pasca pelaksanaan tugas, seorang anggota Polri harus dapat menampilkan sosok Polri yang baik, sehingga di mata masyarakat Polri memiliki citra dan kesan yang baik. Pada pelaksanaan tugasnya tersebut, anggota Polri dituntut untuk dapat memiliki kemampuan berempati, membina hubungan dengan orang lain, terutama masyarakat, sesuai dengan tugas utamanya, yaitu sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.

Anggota Polri diharapkan dapat mengelola emosi dalam dirinya agar dapat memiliki stabilitas emosi dalam bekerja sehingga dapat mempertahankan kinerjanya dengan baik, serta dapat mengekspresikan perasaan yang ada dalam dirinya pada situasi dan kondisi yang tepat.

Polisi adalah aparat penegak hukum yang memiliki tugas dalam menjaga ketertiban masyarakat dan berperan sebagai penjaga keseimbangan antara kepentingan orang yang melaksanakan hak-haknya, misalnya hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dengan kepentingan orang lain yang menikmati haknya, misalnya hak untuk bekerja, hak untuk bergerak, hak untuk beristirahat, dan sebagainya. Polisi dalam undang-undang diberi kewenangan dan kekuasaan luas untuk menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat. Polisi berwenang mengatur masyarakat di jalanan, di tempat-tempat umum, serta mengawasi dan memaksa mereka untuk patuh pada aturan sehingga undang-undang berjalan semestinya (Kunarto& Tabah, 1995).

Setiap anggota polisi dituntut untuk memiliki sifat-sifat agresif sekaligus penyabar, yang akan menuntun pertimbangannya dalam setiap situasi yang ia hadapi. Kerusuhan dapat diredam dengan penggunaan kekuatan kepolisian dengan perkuatan kompi-kompi pengendali massa, kritik tajam pengunjuk rasa, teriakan-teriakan dianggap penghujatan, karenanya dalam menghadapi kerusuhan seringkali yang menonjol adalah justru balas dendam melalui penggunaan kekerasan yang berlebihan (Ismail, 2001).

Akhir-akhir ini banyak sekali pertandingan sepakbola yang berlangsung di wilayah hukum Polda D.I. Yogyakarta yang tepatnya di Stadion Maguwoharjo dan Stadion Mandala Krida. Pertandingan tersebut adakalanya berjalan dengan aman dan lancar, tetapi terkadang terjadi kericuhan. Misalnya pada tanggal 15 Mei 2019 pertandingan antara PSS Sleman melawan Arema FC yang berakhir dengan kericuhan.

Kericuhan sempat terjadi  sebelum laga PSS Sleman vs Arema FC dimulai namun berhasil diredam. Kericuhan justru terjadi lagi dan mengakibatkan wasit harus menghentikan pertandingan antara menit ke 29-30. Dalam kericuhan di laga PSS Sleman vs Arema FC, suporter PSS Sleman dan pendukung Arema FC terlihat adu lempar dengan menggunakan serpihan keramik serta batu. Penyebab kerusuhan pertandingan itu bukan pendukung PSS Sleman dan Arema FC tetapi hanya beberapa provokator yang merusak jalannya pertandingan tersebut.

Hal ini menyebabkan Anggota Kepolisian berjibaku untuk mengendalikan Massa yang Anarkis. Sehingga menyebabkan Anggota Kepolisian mengendalikan Emosinya untuk tetap tenang dan Fokus untuk mengendalikan Massa agar situasi lekas aman kembali.

Tindakan kekerasan pada saat menghadapi Suporter Sepak Bola yang Anarkis menunjukkan bahwa masih ada sebagian anggota kepolisian yang tidak mampu mengendalikan emosinya. Dalam aksi pengamanan Sepakbola seharusnya aparat kepolisian tidak mudah terpancing dan tetap bisa mengendalikan diri disaat supporter mulai bertindak anarkis. Massa yang anarkis tidak harus dilawan dengan kekerasan. Kesabaran hati serta adanya kemampuan mengontrol emosi saat menghadapi supporter yang anarkis akan membuahkan kebaikan, yakni kekerasan tidak terjadi dan bentrokan pun bisa dihindarkan.

 

 


Referensi :

 

Kapolri (2006). Peraturan Kapolri NO. POL : 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa.

 

Rahardi, H. Pudi.2014.Hukum Kepolisian: Kemandirian, profesionalisme, dan

Reformasi Polri, Surabaya: Laksbang Grafika.

 

Ridwan, Syafiudin.2012. Manajemen Amarah Petugas Pengendalian Massa (Dalmas) Polda Jatim.



0 komentar:

Posting Komentar