UJIAN TENGAH SEMESTER PSIKOLOGI LINGKUNGAN
HIRARKI PRIORITAS PENGELOLAAN LIMBAH
DOSEN PENGAMPU:Dr.,Dra.,Arundati Shinta,MA.
Tingkatan pertama, prevention atau pencegahan, merupakan strategi yang paling disarankan dalam pengelolaan limbah karena berfokus pada upaya menghindari timbulnya sampah sejak awal. Pencegahan dimulai dari cara berpikir dan kebiasaan sehari-hari yang mengedepankan efisiensi dan kesadaran lingkungan. Contoh konkret dari perilaku ini antara lain membawa tas belanja sendiri agar tidak menggunakan plastik sekali pakai, membeli produk dalam kemasan curah untuk menghindari limbah kemasan berlebih, serta menghindari penggunaan sedotan plastik dan menggantinya dengan sedotan stainless.
Tingkatan kedua adalah reuse atau penggunaan kembali, yang menekankan pada upaya memperpanjang usia pakai suatu barang sebelum akhirnya dibuang. Ini adalah bentuk perilaku hemat dan berkelanjutan yang sangat relevan dengan konteks konsumsi masyarakat urban saat ini. Penggunaan kembali dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti menggunakan botol kaca bekas sebagai wadah bumbu dapur, menyimpan toples bekas selai sebagai wadah makanan kering, atau menggunakan kertas bekas sebagai catatan.
Selanjutnya, tingkatan ketiga adalah reduce atau pengurangan, yang menekankan pada pengendalian konsumsi dan pemilihan produk secara bijak. Reduce berarti kita berupaya mengurangi penggunaan bahan atau barang yang berpotensi menjadi limbah. Dalam praktiknya, ini dapat diterapkan dengan menggunakan botol minum isi ulang alih-alih membeli air kemasan plastik, membatasi pembelian pakaian baru dan memilih untuk memperbaiki pakaian lama, serta memilih produk dengan desain kemasan minimalis atau mudah didaur ulang.
Tingkatan keempat dalam hierarki adalah recycle atau daur ulang, yang melibatkan proses pengolahan limbah menjadi bahan baku atau produk baru. Meskipun daur ulang memerlukan energi dan proses tambahan, langkah ini tetap penting untuk mengurangi jumlah limbah yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA). Beberapa bentuk perilaku recycle yang bisa dilakukan oleh masyarakat di antaranya adalah memilah sampah organik dan anorganik di rumah, mengirimkan sampah kertas, logam, dan plastik ke bank sampah, serta membuat kerajinan dari botol plastik atau kardus bekas.
Tingkatan kelima, energy recovery, merupakan proses mengonversi sampah menjadi energi. Teknologi seperti insinerasi (pembakaran limbah) atau biodigester (fermentasi limbah organik menjadi biogas) termasuk dalam kategori ini. Di tingkat rumah tangga dan komunitas, pemanfaatan energy recovery dapat dilakukan dengan menyediakan limbah organik untuk unit biogas, mengolah minyak jelantah menjadi biodiesel, atau mendukung kebijakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang sesuai standar lingkungan. Dalam skala kecil, masyarakat juga bisa menggunakan hasil fermentasi limbah dapur sebagai bahan bakar atau mengeringkan limbah biomassa seperti jerami untuk digunakan pada kompor biomassa.
Terakhir, tingkatan keenam adalah disposal atau pembuangan akhir, yang seharusnya menjadi pilihan paling akhir jika semua alternatif sebelumnya tidak dapat dilakukan. Pembuangan akhir umumnya dilakukan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau fasilitas khusus untuk limbah berbahaya. Contoh perilaku pada tahap ini meliputi membuang sampah residu seperti pembalut dan popok ke tempat sampah tertutup, menyegel limbah elektronik dan mengantarkannya ke pusat pengumpulan e-waste, serta membuang abu hasil pembakaran sampah ke tempat aman dan tidak mencemari lingkungan.
Kritik terhadap Posisi Energy Recovery
Menempatkan energy recovery pada posisi kelima dianggap ideal oleh banyak pakar lingkungan karena pendekatan ini menyimpan risiko ekologis. Namun, pada praktiknya, masyarakat bisa salah persepsi. Mereka cenderung berpikir “semua sampah akan dibakar untuk energi, jadi tidak perlu repot memilah atau mendaur ulang.” Ini berbahaya karena akan menurunkan motivasi masyarakat untuk menerapkan prinsip 3R.
Solusi dan Implikasi Psikologi Lingkungan
Strategi seperti pembentukan bank sampah, lomba daur ulang di sekolah, dan pelatihan kewirausahaan berbasis sampah bisa menginternalisasi norma sosial baru dalam masyarakat. Ini sejalan dengan teori norm activation dari Schwartz (1977), yang menyatakan bahwa ketika norma personal diaktifkan melalui kesadaran dan empati, maka individu lebih terdorong untuk melakukan aksi lingkungan.
0 komentar:
Posting Komentar