Senin, 12 Mei 2025

ESSAY 9 UJIAN TENGAH SEMESTER

UJIAN TENGAH SEMESTER

ESSAY HERARKI PRIORITAS PENGOLAHAN LIMBAH
PSIKOLOGI LINGKUNGAN

Dosen Pengampu : Dr., Dra. Arundati Shinta, MA.



Ali Imron

23310410123

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45

YOGYAKARTA

2025

        Semakin kesini situasi pemukiman baik di kota maupun di desa semakin padat, hal ini menyebabkan masalah pengelolaan sampah menjadi tantangan yang besar. Jika sampah tidak di olah dengan baik akan menyebabkan kehidupan menjadi tidak nyaman dan menjadi sumber penyakit. Permasalahan sampah yang semakin kompleks di era modern membutuhkan pendekatan terstruktur untuk penanganannya. Salah satu kerangka kerja yang paling efektif adalah hierarki pengelolaan limbah berbentuk piramida terbalik, seperti yang dikemukakan oleh Chowdhury et al. (2014). Konsep ini menawarkan urutan prioritas penanganan sampah dari yang paling diutamakan hingga yang paling tidak diinginkan, dengan tujuan meminimalkan dampak lingkungan.Dalam diagram berbentuk segitiga terbalik, dijelaskan bahwa semakin ke atas posisi suatu metode dalam hirarki ini, maka semakin disukai (most favored option), sedangkan yang berada di bagian bawah merupakan pilihan yang paling tidak disukai (least favored option).

        Pencegahan (Prevention) menempati posisi teratas dalam hierarki ini sebagai solusi paling ideal. Tahap ini berfokus pada upaya mengurangi timbulan sampah sejak sumbernya melalui desain produk yang ramah lingkungan, minimalisasi kemasan, dan perubahan pola konsumsi. Misalnya, dengan menggunakan tumbler gelas plastik sekali pakai atau memilih produk dengan kemasan minimal, kita dapat secara signifikan mengurangi volume sampah yang dihasilkan. Pencegahan juga melibatkan kebijakan pemerintah seperti pelarangan kantong plastik dan kampanye kesadaran masyarakat tentang konsumsi berkelanjutan.

        Ketika sampah sudah terlanjur tercipta, tahap selanjutnya yang harus diutamakan adalah Penggunaan Kembali (Reuse). Konsep ini mendorong pemanfaatan barang secara berulang tanpa melalui proses daur ulang yang memakan energi. Contoh praktisnya termasuk memperbaiki barang elektronik yang rusak membeli yang baru, menggunakan botol kaca bekas sebagai wadah penyimpanan, atau memanfaatkan sistem isi ulang untuk produk pembersih rumah tangga. Donasi pakaian dan furnitur bekas yang masih layak pakai juga merupakan bentuk reuse yang efektif.

        Tahap ketiga adalah Pengurangan (Reduce) yang berbeda dari pencegahan karena lebih berfokus pada upaya meminimalkan volume sampah selama masa penggunaan produk. Ini dapat dilakukan dengan membeli produk dalam kemasan besar daripada kemasan kecil  atau menghindari pembelian barang yang tidak perlu. Misalnya, membeli beras dalam karung 5 kg akan menghasilkan lebih sedikit sampah kemasan dibandingkan membeli beberapa kemasan 1 kg dan mencetak dokumen hanya jika diperlukan untuk mengurangi penggunaan kertas.

        Ketika suatu barang sudah tidak bisa digunakan kembali, Daur Ulang (Recycling) menjadi pilihan berikutnya. Proses ini mengubah material bekas menjadi bahan baku baru melalui serangkaian proses pengolahan. Keberhasilannya sangat bergantung pada partisipasi masyarakat dalam memilah sampah dan ketersediaan infrastruktur daur ulang. Contohnya, kertas bekas dapat diolah menjadi kertas daur ulang, sedangkan plastik PET dapat diubah menjadi bijih plastik untuk pembuatan produk baru. Namun, perlu diingat bahwa tidak semua material bisa didaur ulang dengan efisien, seperti styrofoam atau kemasan multilayer.

        Adapun sampah yang tidak bisa kita daur ulang sampah ini masih bisa kita manfaatkan untuk (Energy recovery), yaitu adalah proses memanfaatkan limbah untuk menghasilkan energi, biasanya melalui pembakaran atau teknologi lain yang mengubah limbah menjadi listrik, panas, atau bahan bakar. Metode ini hanya dilakukan jika reuse dan recycling tidak memungkinkan. Contohnya seperti mengubah sampah organik menjadi biogas di instalasi pengolahan limbah. Menggunakan pembakaran limbah padat kota untuk menghasilkan listrik di pembangkit energi.

        Opsi terakhir yang paling tidak diinginkan adalah Pembuangan (Disposal) ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Ini seharusnya hanya menjadi pilihan untuk residu yang benar-benar tidak bisa diolah lebih lanjut. TPA modern dilengkapi dengan sistem liner untuk mencegah kontaminasi tanah, namun tetap berpotensi menimbulkan masalah seperti emisi metana dan keterbatasan lahan. Contohnya adalah pembuangan akhir untuk sampah medis yang sudah melalui proses sterilisasi tetapi tidak bisa didaur ulang atau dipulihkan energinya.

        Implementasi hierarki pengelolaan sampah ini memerlukan sinergi antara berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah perlu menyusun regulasi yang mendukung, industri harus mengembangkan produk dan kemasan yang berkelanjutan, sementara masyarakat perlu mengadopsi perilaku ramah lingkungan. Dengan mengutamakan opsi-opsi di puncak hierarki, kita dapat secara signifikan mengurangi beban lingkungan dari sampah sekaligus mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya.

        Berdasarkan kritik terkait jurnal Chowdhury et al. (2014) yang menempatkan energy recavery  dalam urutan pertama, menurut saya hal tersebut bertentangan dengan prinsip dasar dari waste minimization yang sejalan dengan panduan dari UE dan EPA bukan hanya soal urutan teknologi, tetapi urutan berdasarkan dampak lingkungan dan keberlanjutan jangka panjang. Alasan mengapa prevention, reuse, dan recycle lebih diutamakan adalah karena Energy recovery tetap menghasilkan emisi, terutama CO dan polutan lain dari proses pembakaran dan tidak semua sampah bisa dibakar, dan efisiensinya pun bervariasi tergantung jenis limbah. Yang paling utama Masyarakat tetap perlu dilibatkan secara aktif dalam meminimalkan limbah di sumbernya. Meski benar bahwa 3R sulit, mahal, dan butuh ketekunan, sistem ini justru mendorong perubahan pola pikir dan budaya konsumsi yang lebih bijak. Jika kita langsung ke energy recovery sebagai prioritas, itu seperti mengobati penyakit tanpa mencegah penyebabnya. Hal ini efisien dalam jangka pendek, tetapi berisiko tinggi dalam jangka panjang. Namun kritik tersebut juga patut dipertimbangkan, terutama di negara berkembang yang belum siap 100% menjalankan 3R. Tapi menaruh energy recovery di posisi pertama bisa menghilangkan prinsip tanggung jawab bersama dalam mengurangi limbah sejak sumbernya. Solusinya bukan mengganti urutan, tapi menyusun strategi adaptif sesuai dengan kapasitas teknis dan budaya masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Traven, L. (2019). Circular economy and the waste management hierarchy: Friends or foes of sustainable economic growth? A critical appraisal illustrated by the case of the Republic of Croatia. Waste Management & Research37(1), 1-2.

Chowdhury, M., et al. (2014). Waste Management Hierarchy: A Sustainable Approach. Journal of Environmental Management, 45(3), 112-125.

0 komentar:

Posting Komentar