Mengelola Limbah dengan Bijak: Menerapkan Hirarki Terbalik Pengelolaan Sampah dalam Kehidupan Sehari-hari
Nama: Irfan Zaky Ristiyanto
NIM: 23310410134
Kelas: SJ / SP Psikologi
Produksi sampah di lingkungan urban meningkat setiap tahun, seiring bertambahnya jumlah penduduk dan konsumsi barang. Banyak masyarakat yang belum memahami konsep pengelolaan sampah yang benar, sehingga limbah rumah tangga langsung dibuang tanpa proses pemilahan atau pengolahan terlebih dahulu. Hal ini mengancam kelestarian lingkungan dan berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Hirarki pengelolaan limbah menurut Chowdhury et al. (2014) menyarankan langkah-langkah prioritas dari yang paling baik hingga yang paling akhir, yaitu:
1. Prevention (Pencegahan)
Mencegah timbulnya sampah sejak awal.
Contoh: Membawa kantong belanja sendiri agar tidak menggunakan kantong plastik; membeli barang dalam kemasan besar untuk mengurangi limbah kemasan.
2. Reuse (Penggunaan Ulang)
Menggunakan kembali barang yang masih bisa dipakai.
Contoh: Menggunakan botol kaca bekas selai sebagai tempat bumbu; memakai kembali kertas bekas untuk mencatat.
3. Reduce (Pengurangan)
Mengurangi penggunaan barang sekali pakai.
Contoh: Menghindari pembelian air dalam botol plastik dengan membawa botol minum sendiri; meminimalisir konsumsi barang yang tidak perlu.
4. Recycle (Daur Ulang)
Mengolah kembali sampah menjadi produk baru.
Contoh: Menyortir sampah organik dan anorganik untuk mempermudah daur ulang; membuat kerajinan tangan dari sampah plastik.
5. Energy Recovery
Mengubah limbah menjadi energi, misalnya lewat PLTSa.
Contoh: Sampah dibakar dan panasnya digunakan untuk menghasilkan listrik; penggunaan biodigester untuk menghasilkan biogas dari limbah organik.
6. Disposal (Pembuangan)
Langkah terakhir yaitu membuang residu yang tidak dapat diproses lagi.
Contoh: Sampah medis yang berbahaya dibakar di insinerator; membuang abu pembakaran ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Kritik terhadap penempatan energy recovery pada posisi kelima cukup relevan. Masyarakat cenderung pragmatis, dan teknologi PLTSa membuat mereka berpikir bahwa semua sampah akan diubah menjadi energi. Namun, jika energy recovery ditempatkan sebagai prioritas utama, masyarakat bisa makin abai terhadap prinsip 3R karena merasa tidak perlu repot memilah dan mengelola sampah.
Namun, pendekatan ini berisiko mengabaikan aspek edukatif dan partisipatif dari pengelolaan sampah. Jika semua sampah langsung dibakar, potensi kerusakan lingkungan dari emisi dan kehilangan nilai ekonomi dari produk daur ulang bisa meningkat. Oleh karena itu, lebih bijak untuk tetap menempatkan prevention dan 3R di posisi utama agar masyarakat belajar bertanggung jawab terhadap konsumsi dan limbahnya. Energy recovery harus dilihat sebagai pelengkap, bukan solusi utama.
Pendidikan dan kesadaran lingkungan harus diperkuat, dengan kampanye perilaku 3R sebagai gaya hidup. Pemerintah bisa memfasilitasi tempat daur ulang, bank sampah, serta insentif ekonomi bagi masyarakat yang menjalankan 3R. Energy recovery tetap penting, namun penggunaannya harus seimbang dan tidak menjadi alasan untuk mengabaikan langkah preventif.
Daftar Pustaka
Chowdhury, A.H., Mohammad, N., Ul Haque, Md.R. & Hossain, T. (2014). Developing 3Rs (reduce, reuse and recycle) strategy for waste management in the urban areas of Bangladesh: Socioeconomic and climate adoption mitigation option. IOSR Journal of Environmental Science, Toxicology and Food Technology, 8(5), Ver. I, May, 09-18.
0 komentar:
Posting Komentar