Senin, 12 Mei 2025

ESSAY 9 - UTS

 

 

UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)

Meninjau Ulang Hirarki Pengelolaan Limbah






Nama : Rizkia Rahmaadanti

 

NIM : 23310410126

 

Kelas : SPSJ

 

Dosen Pengampu:  Dr. Arundati Shinta .,M A

 

 

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

 

FAKULTAS PSIKOLOGI

 

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45

 

TAHUN 2025


 


Sebagai mahasiswa psikologi lingkungan, saya semakin menyadari bahwa persoalan sampah bukan sekadar isu teknis, melainkan juga sangat erat kaitannya dengan perilaku manusia, kesadaran kolektif, dan bahkan pola pikir konsumtif yang dibentuk oleh budaya. Saat mempelajari model hirarki pengelolaan limbah yang ditawarkan oleh Chowdhury et al. (2014), saya merasa model tersebut cukup ideal secara teori. Namun, di sisi lain, saya juga merasakan ada jarak antara teori dan realitas sosial masyarakat kita.


Dalam model tersebut, terdapat enam tingkat Hierarki: prevention (pencegahan), reuse (penggunaan ulang), reduce (pengurangan), recycling (daur ulang), energy recovery (pemanfaatan energi), dan disposal (pembuangan akhir).



Jika melihat urutannya, saya setuju bahwa pencegahan memang harus diutamakan. Lebih baik tidak menghasilkan sampah daripada repot mengelolanya. Contohnya, saya terbiasa membawa botol minum sendiri dan menghindari kantong plastik sekali pakai. Ini adalah bentuk kecil dari pencegahan. Sementara itu, reuse bisa saya terapkan saat memakai ulang toples bekas selai untuk menyimpan barang-barang kecil.


Namun, ketika masuk ke praktik 3R lainnya (reduce dan recycle)

Saya sendiri sering merasa sangat kesulitan ketika mencoba untuk mengurangi sampah dalam kehidupan sehari-hari. Mengurangi sampah plastic misalnya, sepertinya lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Saya sadar betul akan pentingnya mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, tetapi sering kali saya terjebak pada kenyataan bahwa kemasan plastik sangat mudah didapatkan dan praktis. Saat saya pergi belanja, hampir setiap barang yang saya beli datang dengan kemasan plastik. Saya mencoba membawa tas belanja sendiri, tetapi kadang saya tetap lupa, atau lebih sering, saya merasa malas untuk repot-repot membawa tas belanjaan.

Hal yang lebih membuat saya frustrasi adalah tentang daur ulang. Meskipun saya ingin mendaur ulang sampah, saya sadar bahwa tidak semua tempat menyediakan fasilitas yang memadai. Di tempat saya tinggal, tidak ada bank sampah yang benar-benar bisa diandalkan, dan fasilitas pemilahan sampah juga masih sangat terbatas. Bahkan ketika saya ingin memisahkan sampah rumah tangga, sering kali saya tidak tahu harus memisahkannya ke mana. Saya pun merasa bingung dan kadang menyerah karena tidak semua orang di sekitar saya juga peduli soal ini.

Saya sering berpikir, apakah mungkin untuk benar-benar mengurangi sampah dan mendaur ulang dengan cara yang efektif jika sistemnya tidak mendukung? Kadang-kadang, meskipun saya ingin berusaha lebih keras, kenyataan seperti ini membuat saya merasa kewalahan. Mungkin perubahan besar hanya bisa terjadi kalau ada dukungan yang lebih luas, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun penyedia fasilitas yang lebih memadai.


Di sinilah saya memahami kritik terhadap model ini. Banyak yang menyayangkan mengapa energy recovery hanya ditempatkan di urutan kelima. Padahal, teknologi pengolahan sampah menjadi energi seperti PLTSa bisa menjadi solusi praktis dalam situasi darurat sampah seperti sekarang. Sebagai mahasiswa, saya merasa pendekatan ini lebih realistis dan mungkin bisa mendorong masyarakat untuk mulai peduli, walau dari langkah yang paling sederhana membuang sampah ke sistem yang lebih efisien.


Namun tentu, jika energy recovery dijadikan prioritas utama, ada kekhawatiran masyarakat akan semakin malas memilah sampah. Mereka mungkin berpikir, “Toh semua bisa dibakar jadi listrik.” Ini berbahaya jika tidak diimbangi dengan edukasi. Maka menurut saya, energy recovery bisa dinaikkan peringkatnya, asalkan tetap disertai kampanye besar-besaran tentang pentingnya 3R dan bagaimana masyarakat bisa tetap berkontribusi secara aktif.


Sebagai penutup, saya percaya bahwa pengelolaan sampah tidak cukup hanya dibebankan pada sistem. Kita sebagai individu juga punya peran. Saya masih belajar, tapi saya ingin terus berproses menjadi pribadi yang tidak hanya peduli lingkungan karena tugas kuliah, tetapi karena kesadaran bahwa masa depan bumi kita ditentukan dari keputusan-keputusan kecil yang kita ambil hari ini.


Daftar Pustaka:


Chowdhury, A. H., Mohammad, N., Ul Haque, M. R., & Hossain, T. (2014). Developing 3Rs (reduce, reuse and recycle) strategy for waste management in the urban areas of Bangladesh: Socioeconomic and climate adoption mitigation option. IOSR Journal of Environmental Science, Toxicology and Food Technology (IOSR-JESTFT), 8(5), 9–18. https://doi.org/10.9790/2402-08510918

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2020). Sistem pengelolaan sampah nasional: Menuju Indonesia bebas sampah 2025. KLHK.

Putri, A. P., & Santoso, B. (2022). Perilaku 3R (reduce, reuse, recycle) mahasiswa dalam mengelola sampah rumah tangga. Jurnal Lingkungan dan Sosial, 9(1), 12–23. https://doi.org/10.31234/osf.io/j2t9n

 

0 komentar:

Posting Komentar