UJIAN TENGAH SEMESTER
(UTS)
Meninjau
Ulang Hirarki Pengelolaan Limbah
Nama : Rizkia Rahmaadanti
NIM : 23310410126
Kelas : SPSJ
Dosen Pengampu: Dr. Arundati Shinta .,M A
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI
45
TAHUN 2025
Sebagai mahasiswa psikologi lingkungan, saya semakin menyadari bahwa persoalan
sampah bukan sekadar isu teknis, melainkan juga sangat erat kaitannya dengan
perilaku manusia, kesadaran kolektif, dan bahkan pola pikir konsumtif yang
dibentuk oleh budaya. Saat mempelajari model hirarki pengelolaan limbah yang
ditawarkan oleh Chowdhury et al. (2014), saya merasa model tersebut cukup ideal
secara teori. Namun, di sisi lain, saya juga merasakan ada jarak antara teori
dan realitas sosial masyarakat kita.
Dalam model tersebut, terdapat enam tingkat Hierarki: prevention (pencegahan),
reuse (penggunaan ulang), reduce (pengurangan), recycling (daur ulang), energy
recovery (pemanfaatan energi), dan disposal (pembuangan akhir).
Jika melihat urutannya,
saya setuju bahwa pencegahan memang harus diutamakan. Lebih baik tidak
menghasilkan sampah daripada repot mengelolanya. Contohnya, saya terbiasa
membawa botol minum sendiri dan menghindari kantong plastik sekali pakai. Ini
adalah bentuk kecil dari pencegahan. Sementara itu, reuse bisa saya terapkan
saat memakai ulang toples bekas selai untuk menyimpan barang-barang kecil.
Namun, ketika masuk ke praktik 3R lainnya (reduce dan recycle)
Saya sendiri sering merasa sangat kesulitan ketika mencoba untuk
mengurangi sampah dalam kehidupan sehari-hari. Mengurangi sampah plastic misalnya,
sepertinya lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Saya sadar betul akan
pentingnya mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, tetapi sering kali saya
terjebak pada kenyataan bahwa kemasan plastik sangat mudah didapatkan dan
praktis. Saat saya pergi belanja, hampir setiap barang yang saya beli datang
dengan kemasan plastik. Saya mencoba membawa tas belanja sendiri, tetapi kadang
saya tetap lupa, atau lebih sering, saya merasa malas untuk repot-repot membawa
tas belanjaan.
Hal yang lebih membuat saya frustrasi adalah tentang daur ulang.
Meskipun saya ingin mendaur ulang sampah, saya sadar bahwa tidak semua tempat
menyediakan fasilitas yang memadai. Di tempat saya tinggal, tidak ada bank
sampah yang benar-benar bisa diandalkan, dan fasilitas pemilahan sampah juga
masih sangat terbatas. Bahkan ketika saya ingin memisahkan sampah rumah tangga,
sering kali saya tidak tahu harus memisahkannya ke mana. Saya pun merasa
bingung dan kadang menyerah karena tidak semua orang di sekitar saya juga
peduli soal ini.
Saya sering berpikir, apakah mungkin untuk benar-benar mengurangi
sampah dan mendaur ulang dengan cara yang efektif jika sistemnya tidak
mendukung? Kadang-kadang, meskipun saya ingin berusaha lebih keras, kenyataan
seperti ini membuat saya merasa kewalahan. Mungkin perubahan besar hanya bisa
terjadi kalau ada dukungan yang lebih luas, baik dari pemerintah, masyarakat,
maupun penyedia fasilitas yang lebih memadai.
Di sinilah saya memahami kritik terhadap model ini. Banyak yang menyayangkan
mengapa energy recovery hanya ditempatkan di urutan kelima. Padahal, teknologi
pengolahan sampah menjadi energi seperti PLTSa bisa menjadi solusi praktis
dalam situasi darurat sampah seperti sekarang. Sebagai mahasiswa, saya merasa
pendekatan ini lebih realistis dan mungkin bisa mendorong masyarakat untuk
mulai peduli, walau dari langkah yang paling sederhana membuang sampah ke
sistem yang lebih efisien.
Namun tentu, jika energy recovery dijadikan prioritas utama, ada kekhawatiran
masyarakat akan semakin malas memilah sampah. Mereka mungkin berpikir, “Toh
semua bisa dibakar jadi listrik.” Ini berbahaya jika tidak diimbangi dengan
edukasi. Maka menurut saya, energy recovery bisa dinaikkan peringkatnya,
asalkan tetap disertai kampanye besar-besaran tentang pentingnya 3R dan
bagaimana masyarakat bisa tetap berkontribusi secara aktif.
Sebagai penutup, saya percaya bahwa pengelolaan sampah tidak cukup hanya
dibebankan pada sistem. Kita sebagai individu juga punya peran. Saya masih
belajar, tapi saya ingin terus berproses menjadi pribadi yang tidak hanya
peduli lingkungan karena tugas kuliah, tetapi karena kesadaran bahwa masa depan
bumi kita ditentukan dari keputusan-keputusan kecil yang kita ambil hari ini.
Daftar Pustaka:
Chowdhury, A. H.,
Mohammad, N., Ul Haque, M. R., & Hossain, T. (2014). Developing 3Rs
(reduce, reuse and recycle) strategy for waste management in the urban areas of
Bangladesh: Socioeconomic and climate adoption mitigation option. IOSR
Journal of Environmental Science, Toxicology and Food Technology (IOSR-JESTFT),
8(5), 9–18. https://doi.org/10.9790/2402-08510918
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
(2020). Sistem pengelolaan sampah nasional: Menuju Indonesia bebas sampah
2025. KLHK.
Putri, A. P., & Santoso, B. (2022). Perilaku 3R (reduce,
reuse, recycle) mahasiswa dalam mengelola sampah rumah tangga. Jurnal
Lingkungan dan Sosial, 9(1), 12–23.
https://doi.org/10.31234/osf.io/j2t9n
0 komentar:
Posting Komentar