Rabu, 21 Mei 2025

ESSAY-2 MELAKUKAN WAWANCARA DISONASI KOGNITIF

          

ESSAY 2 : MELAKUKAN WAWANCARA DISONANSI KOGNITIF


                                                            Ayu Windi Astuti - 23310420073

 

Dosen Pengampu Dra. Arundati Shinta, M.A

 

Program Studi Psikologi


Psikologi Inovasi

 

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45

 

Tahun 2025

 

Disonansi kognitif adalah kondisi psikologis yang tidak menyenangkan yang timbul ketika seseorang secara simultan memiliki dua atau lebih kognisi (pikiran, keyakinan, nilai, sikap, atau perilaku) yang saling bertentangan atau tidak konsisten.

Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh psikolog sosial Leon Festinger pada tahun 1957. Intinya adalah bahwa manusia memiliki dorongan bawaan untuk mencari konsistensi dalam pemikiran dan tindakan mereka. Ketika inkonsistensi ini terjadi, hal itu menciptakan perasaan tidak nyaman, tegang, atau gelisah yang memotivasi individu untuk mengurangi disonansi tersebut.

Elemen Kunci Disonansi Kognitif:Kognisi: Ini merujuk pada segala bentuk pengetahuan, opini, keyakinan, nilai, atau pemahaman yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri, lingkungannya, atau perilakunya.Inkonsistensi: Disonansi muncul ketika ada dua atau lebih kognisi yang tidak sejalan atau bertentangan secara psikologis. Misalnya, seseorang yang percaya kesehatan itu penting (kognisi 1) tetapi merokok setiap hari (kognisi 2).Perasaan Tidak Nyaman: Inkonsistensi ini memicu keadaan emosional yang tidak menyenangkan, seperti rasa bersalah, malu, cemas, penyesalan, atau frustrasi. Tingkat ketidaknyamanan bervariasi tergantung pada seberapa penting kognisi yang terlibat dan seberapa besar inkonsistensinya.Motivasi untuk Mengurangi Disonansi: Karena perasaan tidak nyaman ini, individu termotivasi untuk mengurangi atau menghilangkan disonansi tersebut.

Ada beberapa cara umum yang dilakukan seseorang untuk mengurangi disonansi kognitif yaitu Mengubah Perilaku: Ini adalah cara paling langsung, yaitu mengubah tindakan agar sesuai dengan keyakinan.Mengubah Kognisi (Keyakinan/Sikap): Seseorang bisa mengubah salah satu kognisi yang bertentangan.Menambah Kognisi Baru: Memasukkan informasi atau alasan baru yang dapat membenarkan inkonsistensi.Meremehkan Pentingnya Disonansi: Mengurangi signifikansi konflik yang terjadi.

Disonansi kognitif adalah fenomena yang sangat umum dan bisa terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari keputusan sehari-hari hingga pandangan hidup yang lebih besar. Memahami disonansi kognitif membantu kita memahami mengapa orang terkadang melakukan hal-hal yang tampaknya tidak logis atau kontradiktif.

Hasil Wawancara Disonansi Kognitif: Responden Remaja (17 Tahun)

Nama Responden: Cahya (17 tahun, Siswi SMA Kelas 11)

Pewawancara: Ayu Windi

Tanggal Wawancara: 15 Mei 2025

1. Identifikasi Nilai dan Keyakinan Inti

Cahya menyatakan bahwa kejujuran dan keaslian (autentisitas) adalah nilai yang sangat penting baginya, terutama dalam pertemanan dan di media sosial. Ia percaya bahwa menjadi diri sendiri dan tidak berpura-pura adalah cara terbaik untuk mendapatkan teman sejati. Selain itu, Cahya juga menekankan pentingnya prestasi akademik sebagai bekal masa depan, dan ia merasa bertanggung jawab untuk belajar dengan giat.

2. Deteksi Inkonsistensi (Disonansi)

Wawancara mengungkap dua area utama disonansi dalam diri Cahya:

 Disonansi 1: Keaslian vs. Citra Media Sosial.

   Cahya mengakui bahwa meskipun ia menjunjung tinggi keaslian, ia sering merasa tertekan untuk menampilkan citra sempurna dan menyenangkan di media sosial (Instagram, TikTok). Ia mengatakan, "Aku tahu seharusnya jadi diri sendiri, tapi kalau posting foto tanpa filter atau caption yang 'deep' banget, kayaknya kurang menarik. Teman-teman yang lain postingnya keren-keren, jadi aku ikut-ikutan biar kelihatan 'sama' dan banyak likes." Ini menunjukkan konflik antara keyakinan akan keaslian dan perilaku menciptakan persona yang tidak sepenuhnya otentik di media sosial.

 Disonansi 2: Prestasi Akademik vs. Kebiasaan Belajar.

   Cahya sangat yakin bahwa belajar keras adalah kunci kesuksesan akademik dan PTN impiannya. Namun, ia mengakui sering menunda-nunda belajar atau menghabiskan terlalu banyak waktu untuk scrolling media sosial dan bermain game online alih-alih belajar. "Aku tahu tugas numpuk dan besok ada ulangan, tapi rasanya malas banget mulai belajar. Ujung-ujungnya semalaman baru belajar, atau bahkan enggak belajar sama sekali. Padahal aku maunya dapat nilai bagus dan banggain orang tua." Di sini, keyakinan kuat tentang pentingnya belajar berkonflik dengan perilaku menunda dan kurangnya disiplin.

3. Perasaan Tidak Nyaman yang Timbul

Cahya jelas merasakan ketidaknyamanan emosional akibat disonansi ini:

Terkait media sosial, ia merasa lelah dan kadang kosong setelah menghabiskan waktu lama untuk membuat konten yang "sempurna" atau membandingkan dirinya dengan orang lain. Ia juga merasakan sedikit rasa bersalah karena tidak sepenuhnya jujur pada dirinya sendiri di platform tersebut.Mengenai belajar, ia sering mengalami kecemasan dan penyesalan yang hebat saat mendekati batas waktu tugas atau ujian, terutama ketika ia tahu ia belum belajar maksimal. "Rasanya gelisah banget, kayak ada beban di dada. Habis ulangan, kalau hasilnya jelek, aku nyesel banget kenapa enggak belajar dari awal."

4. Strategi Pengurangan Disonansi

Cahya menggunakan beberapa mekanisme untuk mengurangi ketidaknyamanan yang ia rasakan: Rasionalisasi/Pembenaran Diri, Penambahan Kognisi Baru, Meremehkan Pentingnya Disonansi.Cahya cenderung meremehkan dampak jangka panjang dari kebiasaan media sosialnya, menganggapnya hanya sebagai hobi. Untuk belajar, ia kadang meremehkan konsekuensi nilai yang kurang optimal.Upaya Mengubah Perilaku (belum konsisten).Cahya pernah mencoba membatasi waktu layar atau menonaktifkan notifikasi media sosial, tetapi seringkali kembali ke kebiasaan lama karena dorongan sosial atau kebosanan. Ia juga beberapa kali mencoba membuat jadwal belajar yang ketat, namun sering gagal mematuhinya.

5. Dampak dan Kesadaran Diri Responden

Cahya menyadari bahwa disonansi ini memengaruhi tingkat stresnya dan kepercayaan dirinya. Terkadang ia merasa tidak konsisten dengan siapa dirinya yang sebenarnya, baik di hadapan teman maupun di mata sendiri. Pengalaman disonansi ini membuatnya merasa sedikit bimbang tentang identitasnya di tengah tekanan lingkungan sosial dan akademik.

Wawancara dengan Cahya menunjukkan bagaimana remaja menghadapi disonansi kognitif yang kompleks, seringkali berakar pada kebutuhan akan penerimaan sosial dan tekanan untuk berprestasi, yang kadang bertentangan dengan nilai-nilai pribadi mereka.

Penelitian ini, melalui wawancara mendalam, telah memperkaya pemahaman kita tentang kompleksitas disonansi kognitif dari perspektif individu. Temuan yang diuraikan menunjukkan bahwa disonansi bukan hanya konstruksi teoretis, melainkan pengalaman nyata yang memicu respons kognitif dan emosional yang bervariasi, serta mendorong berbagai strategi resolusi. Ini menegaskan pentingnya pendekatan kualitatif untuk mengungkap nuansa fenomena psikologis yang mendalam.

 Disonansi kognitif adalah kondisi psikologis yang tidak menyenangkan yang timbul ketika seseorang secara simultan memiliki dua atau lebih kognisi (pikiran, keyakinan, nilai, sikap, atau perilaku) yang saling bertentangan atau tidak konsisten.

Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh psikolog sosial Leon Festinger pada tahun 1957. Intinya adalah bahwa manusia memiliki dorongan bawaan untuk mencari konsistensi dalam pemikiran dan tindakan mereka. Ketika inkonsistensi ini terjadi, hal itu menciptakan perasaan tidak nyaman, tegang, atau gelisah yang memotivasi individu untuk mengurangi disonansi tersebut.

Elemen Kunci Disonansi Kognitif:Kognisi: Ini merujuk pada segala bentuk pengetahuan, opini, keyakinan, nilai, atau pemahaman yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri, lingkungannya, atau perilakunya.Inkonsistensi: Disonansi muncul ketika ada dua atau lebih kognisi yang tidak sejalan atau bertentangan secara psikologis. Misalnya, seseorang yang percaya kesehatan itu penting (kognisi 1) tetapi merokok setiap hari (kognisi 2).Perasaan Tidak Nyaman: Inkonsistensi ini memicu keadaan emosional yang tidak menyenangkan, seperti rasa bersalah, malu, cemas, penyesalan, atau frustrasi. Tingkat ketidaknyamanan bervariasi tergantung pada seberapa penting kognisi yang terlibat dan seberapa besar inkonsistensinya.Motivasi untuk Mengurangi Disonansi: Karena perasaan tidak nyaman ini, individu termotivasi untuk mengurangi atau menghilangkan disonansi tersebut.

Ada beberapa cara umum yang dilakukan seseorang untuk mengurangi disonansi kognitif yaitu Mengubah Perilaku: Ini adalah cara paling langsung, yaitu mengubah tindakan agar sesuai dengan keyakinan.Mengubah Kognisi (Keyakinan/Sikap): Seseorang bisa mengubah salah satu kognisi yang bertentangan.Menambah Kognisi Baru: Memasukkan informasi atau alasan baru yang dapat membenarkan inkonsistensi.Meremehkan Pentingnya Disonansi: Mengurangi signifikansi konflik yang terjadi.

Disonansi kognitif adalah fenomena yang sangat umum dan bisa terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari keputusan sehari-hari hingga pandangan hidup yang lebih besar. Memahami disonansi kognitif membantu kita memahami mengapa orang terkadang melakukan hal-hal yang tampaknya tidak logis atau kontradiktif.

Hasil Wawancara Disonansi Kognitif: Responden Remaja (17 Tahun)

Nama Responden: Cahya (17 tahun, Siswi SMA Kelas 11)

Pewawancara: Ayu Windi

Tanggal Wawancara: 15 Mei 2025

1. Identifikasi Nilai dan Keyakinan Inti

Cahya menyatakan bahwa kejujuran dan keaslian (autentisitas) adalah nilai yang sangat penting baginya, terutama dalam pertemanan dan di media sosial. Ia percaya bahwa menjadi diri sendiri dan tidak berpura-pura adalah cara terbaik untuk mendapatkan teman sejati. Selain itu, Cahya juga menekankan pentingnya prestasi akademik sebagai bekal masa depan, dan ia merasa bertanggung jawab untuk belajar dengan giat.

2. Deteksi Inkonsistensi (Disonansi)

Wawancara mengungkap dua area utama disonansi dalam diri Cahya:

 Disonansi 1: Keaslian vs. Citra Media Sosial.

   Cahya mengakui bahwa meskipun ia menjunjung tinggi keaslian, ia sering merasa tertekan untuk menampilkan citra sempurna dan menyenangkan di media sosial (Instagram, TikTok). Ia mengatakan, "Aku tahu seharusnya jadi diri sendiri, tapi kalau posting foto tanpa filter atau caption yang 'deep' banget, kayaknya kurang menarik. Teman-teman yang lain postingnya keren-keren, jadi aku ikut-ikutan biar kelihatan 'sama' dan banyak likes." Ini menunjukkan konflik antara keyakinan akan keaslian dan perilaku menciptakan persona yang tidak sepenuhnya otentik di media sosial.

 Disonansi 2: Prestasi Akademik vs. Kebiasaan Belajar.

   Cahya sangat yakin bahwa belajar keras adalah kunci kesuksesan akademik dan PTN impiannya. Namun, ia mengakui sering menunda-nunda belajar atau menghabiskan terlalu banyak waktu untuk scrolling media sosial dan bermain game online alih-alih belajar. "Aku tahu tugas numpuk dan besok ada ulangan, tapi rasanya malas banget mulai belajar. Ujung-ujungnya semalaman baru belajar, atau bahkan enggak belajar sama sekali. Padahal aku maunya dapat nilai bagus dan banggain orang tua." Di sini, keyakinan kuat tentang pentingnya belajar berkonflik dengan perilaku menunda dan kurangnya disiplin.

3. Perasaan Tidak Nyaman yang Timbul

Cahya jelas merasakan ketidaknyamanan emosional akibat disonansi ini:

Terkait media sosial, ia merasa lelah dan kadang kosong setelah menghabiskan waktu lama untuk membuat konten yang "sempurna" atau membandingkan dirinya dengan orang lain. Ia juga merasakan sedikit rasa bersalah karena tidak sepenuhnya jujur pada dirinya sendiri di platform tersebut.Mengenai belajar, ia sering mengalami kecemasan dan penyesalan yang hebat saat mendekati batas waktu tugas atau ujian, terutama ketika ia tahu ia belum belajar maksimal. "Rasanya gelisah banget, kayak ada beban di dada. Habis ulangan, kalau hasilnya jelek, aku nyesel banget kenapa enggak belajar dari awal."

4. Strategi Pengurangan Disonansi

Cahya menggunakan beberapa mekanisme untuk mengurangi ketidaknyamanan yang ia rasakan: Rasionalisasi/Pembenaran Diri, Penambahan Kognisi Baru, Meremehkan Pentingnya Disonansi.Cahya cenderung meremehkan dampak jangka panjang dari kebiasaan media sosialnya, menganggapnya hanya sebagai hobi. Untuk belajar, ia kadang meremehkan konsekuensi nilai yang kurang optimal.Upaya Mengubah Perilaku (belum konsisten).Cahya pernah mencoba membatasi waktu layar atau menonaktifkan notifikasi media sosial, tetapi seringkali kembali ke kebiasaan lama karena dorongan sosial atau kebosanan. Ia juga beberapa kali mencoba membuat jadwal belajar yang ketat, namun sering gagal mematuhinya.

5. Dampak dan Kesadaran Diri Responden

Cahya menyadari bahwa disonansi ini memengaruhi tingkat stresnya dan kepercayaan dirinya. Terkadang ia merasa tidak konsisten dengan siapa dirinya yang sebenarnya, baik di hadapan teman maupun di mata sendiri. Pengalaman disonansi ini membuatnya merasa sedikit bimbang tentang identitasnya di tengah tekanan lingkungan sosial dan akademik.

Wawancara dengan Cahya menunjukkan bagaimana remaja menghadapi disonansi kognitif yang kompleks, seringkali berakar pada kebutuhan akan penerimaan sosial dan tekanan untuk berprestasi, yang kadang bertentangan dengan nilai-nilai pribadi mereka.

Penelitian ini, melalui wawancara mendalam, telah memperkaya pemahaman kita tentang kompleksitas disonansi kognitif dari perspektif individu. Temuan yang diuraikan menunjukkan bahwa disonansi bukan hanya konstruksi teoretis, melainkan pengalaman nyata yang memicu respons kognitif dan emosional yang bervariasi, serta mendorong berbagai strategi resolusi. Ini menegaskan pentingnya pendekatan kualitatif untuk mengungkap nuansa fenomena psikologis yang mendalam.

0 komentar:

Posting Komentar