Di Buat, Jum'at 2 Mei 2025
Disonansi Kognitif pada Perokok: Antara Pengetahuan dan Kebiasaan
Nama : Satifa Sintya Fadilah
Kelas : Psikologi SJ
NIM : 23310410059
MATA KULIAH PSIKOLOGI INOVASI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
FAKULTAS PSIKOLOGI
TAHUN AJARAN 2024
DOSEN PENGAMPU :
Dr. ARUNDATI SHINTA,M.A
Disonansi kognitif merupakan suatu kondisi psikologis di mana individu mengalami ketidaknyamanan yang disebabkan oleh adanya pertentangan antara keyakinan atau pengetahuan yang dimiliki dengan perilaku yang dijalani. Fenomena ini sangat terlihat dalam konteks kebiasaan merokok, khususnya pada individu yang menyadari adanya risiko kesehatan yang terkait dengan aktivitas tersebut, namun tetap melanjutkan kebiasaan merokoknya. Melalui wawancara dengan seorang perokok, terungkap bahwa konflik kognitif ini mempunyai pengaruh signifikan terhadap cara berpikir, perasaan, dan tindakan dalam kehidupan sehari-hari.
Wawancara dimulai dengan pertanyaan terkait awal mula kebiasaan merokok. Narasumber mengungkapkan bahwa ia mulai merokok sejak berusia 19 tahun, yang dipicu oleh tekanan sosial serta keinginan untuk diterima dalam kelompok. Hal ini menandakan bahwa faktor eksternal, seperti lingkungan sosial, dapat berperan sebagai pemicu utama perilaku yang berisiko, sekaligus menunjukkan bahwa merokok memiliki fungsi sosial bagi sebagian individu.
Narasumber menunjukkan pemahaman yang cukup mendalam terkait risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh merokok, mencakup penyakit jantung dan kanker paru-paru. Namun, pengetahuan ini tidak serta-merta mendorong perubahan dalam perilakunya. Narasumber bahkan berusaha merasionalisasi dengan berfikir bahwa banyak individu yang tidak merokok juga tetap mengalami masalah kesehatan. Ini tercermin sebagai salah satu bentuk justifikasi, yaitu mekanisme umum dalam disonansi kognitif, di mana individu berupaya meredakan ketidaknyamanan psikologis dengan menciptakan alasan untuk membenarkan perilakunya.
Ketika ditanyakan mengenai apakah ia merasa bahwa merokok bertentangan dengan pengetahuannya, narasumber menjawab dengan lugas bahwa ia merasa sebagai seorang yang munafik. Namun, ia mencoba menenangkan diri dengan berpendapat bahwa ia masih dapat mengontrol jumlah rokok yang dikonsumsinya. Ini merupakan salah satu bentuk reduksi disonansi, di mana individu mengurangi tingkat kebiasaan merokoknya sebagai langkah kompromi untuk mengatasi konflik internal yang ia alami.
Rasa bersalah muncul dalam situasi tertentu, terutama ketika ayahnya menjalani perawatan akibat penyakit jantung. Narasumber juga merasakan ketidaknyamanan ketika merokok di sekitar orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa nilai empati dan tanggung jawab sosial masih tertanam kuat dalam dirinya, meskipun tidak cukup untuk memicu perubahan perilaku yang permanen. Sebagai bentuk kompensasi, ia memilih untuk merokok "ringan" dan berusaha tetap aktif berolahraga, yang merupakan sebuah strategi psikologis yang dikenal sebagai perilaku kompensasi.
Meskipun pernah mencoba untuk berhenti, narasumber mengakui mengalami kesulitan karena adanya tekanan sosial dan stres. Hal ini memperkuat pemahaman bahwa kecanduan nikotin tidak hanya merupakan soal kebiasaan, melainkan juga keterikatan psikologis dan fisiologis. Ketika mendapatkan saran dari keluarga atau teman untuk berhenti merokok, narasumber merasa tertekan dan malah terdorong untuk mengonsumsi rokok lebih banyak, menunjukkan adanya resistensi terhadap tekanan eksternal dan kebutuhan untuk mempertahankan kontrol atas dirinya sendiri.
Identitas juga menjadi pertimbangan penting bagi narasumber. Ia merasa bahwa merokok telah menjadi bagian dari rutinitas dan cara bersosialisasi. Ketika diminta untuk membayangkan hidup tanpa rokok, ia menggambarkan perasaan lega namun diiringi dengan rasa takut, mencerminkan ambivalensi emosional—di satu sisi ingin meraih kebebasan, tetapi di sisi lain takut kehilangan mekanisme penanggulangan yang selama ini menjadi andalan.
Dari keseluruhan wawancara ini, terlihat bahwa disonansi kognitif bukan sekadar konflik yang sederhana antara pengetahuan dan ketidaktahuan, melainkan sebuah kompleksitas psikologis yang meliputi pembenaran, kompensasi, tekanan sosial, identitas diri, serta kebutuhan emosional. Oleh karena itu, intervensi yang bertujuan untuk membantu perokok berhenti harus mempertimbangkan keseluruhan dimensi ini, dan tidak hanya terbatas pada penyampaian informasi mengenai bahaya merokok.
DAFTAR PUSTAKA
estinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.
Aronson, E., Wilson, T. D., & Akert, R. M. (2010). Social Psychology (7th ed.). Pearson Education.
Prochaska, J. O., & DiClemente, C. C. (1983). Stages and processes of self-change of smoking: Toward an integrative model of change. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 51(3), 390–395.
0 komentar:
Posting Komentar