Senin, 12 Mei 2025

UJIAN TENGAH SEMESTER

 UJIAN TENGAH SEMESTER

HIRARKI PENGELOLAAN LIMBAH: HIRARKI DAN KRITIK TERHADAP PENDEKATAN CHOWDHURY ET AL. (2014).


NAMA: FARREL PURNAMA PUTRA

NIM: 23310410109

PSIKOLOGI UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA


Pengelolaan limbah merupakan isu krusial dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Salah satu panduan yang banyak digunakan adalah hirarkhi prioritas pengelolaan limbah menurut Chowdhury et al. (2014), yang menekankan langkah-langkah dari yang paling disarankan hingga yang kurang dianjurkan. Namun, pendekatan ini menuai kritik, terutama terkait posisi energy recovery yang dianggap dapat melemahkan motivasi masyarakat untuk menerapkan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle). Artikel ini menguraikan hirarkhi tersebut, menganalisis kritik terhadapnya, mengidentifikasi permasalahan, dan mengusulkan solusi yang seimbang.

Penjelasan Hirarkhi Pengelolaan Limbah

Hirarkhi pengelolaan limbah menurut Chowdhury et al. (2014) terdiri dari enam langkah, yang diurutkan berdasarkan dampak lingkungan dan keberlanjutan:


1. Prevention (Pencegahan): Langkah paling utama adalah mencegah timbulnya limbah melalui pola konsumsi yang bijak. Contohnya, menggunakan tas kain untuk belanja dan memilih produk tanpa kemasan plastik.

2. Reuse (Penggunaan Ulang): Menggunakan kembali barang tanpa mengubah bentuknya, seperti memakai botol minum isi ulang atau mendaur ulang pakaian menjadi kain lap.

3. Reduce (Pengurangan): Mengurangi jumlah limbah dengan memilih produk tahan lama atau mencetak dokumen secara digital untuk menghemat kertas.

4. Recycling (Daur Ulang): Mengolah limbah menjadi bahan baku baru, seperti memisahkan plastik untuk didaur ulang menjadi tekstil atau mengumpulkan kertas bekas untuk kertas baru.

5. Energy Recovery (Pemulihan Energi): Mengubah limbah menjadi energi, misalnya melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSm) atau produksi biogas dari sampah organik.

6. Disposal (Pembuangan): Langkah terakhir adalah membuang limbah residu ke TPA, seperti limbah berbahaya yang tidak dapat diolah kembali.


Hirarkhi ini menempatkan prevention sebagai prioritas utama karena mengurangi limbah sejak awal, sementara disposal dianggap paling tidak ramah lingkungan.

Permasalahan: Kritik terhadap Posisi Energy Recovery

Kritik terhadap hirarkhi ini berfokus pada posisi energy recovery di peringkat kelima, yang dianggap dapat mengurangi motivasi masyarakat untuk menerapkan 3R. Argumennya, masyarakat mungkin berpikir bahwa semua sampah dapat diubah menjadi energi melalui PLTSm, sehingga mengabaikan upaya reduce, reuse, dan recycle yang dianggap sulit, mahal, dan memerlukan ketekunan. Kritik ini bahkan mengusulkan agar energy recovery menjadi prioritas pertama, dengan residu dari proses tersebut diolah menjadi produk seperti kompos, eco-enzyme, atau sabun cair. Namun, usulan ini bermasalah karena dapat mendorong produksi limbah berlebih dan mengabaikan prinsip ekonomi sirkuler yang menekankan pengurangan limbah.


Permasalahan utama dari kritik ini adalah potensi melemahnya upaya pencegahan dan pengurangan limbah. Energy recovery, meskipun menghasilkan energi, tetap menghasilkan emisi karbon dan residu yang sulit diolah. Selain itu, produk seperti kompos lebih efisien dihasilkan dari sampah organik segar daripada abu pembakaran. Dengan menempatkan energy recovery sebagai prioritas utama, masyarakat mungkin kehilangan insentif untuk mengurangi konsumsi atau mendaur ulang, yang justru memperburuk masalah limbah jangka panjang.


 Solusi: Pendekatan Holistik

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan pendekatan holistik yang mempertahankan hirarkhi Chowdhury et al. (2014) sambil meningkatkan efektivitas 3R dan pemanfaatan energy recovery. Berikut solusi yang diusulkan:


1. Edukasi dan Kampanye Publik: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya prevention dan 3R melalui kampanye di media sosial, sekolah, dan komunitas. Misalnya, program “zero waste” dapat mengajarkan cara mengurangi sampah sehari-hari.

2. Infrastruktur Pendukung: Pemerintah perlu menyediakan fasilitas pengumpulan sampah terpilah dan bank sampah untuk mempermudah recycling dan reuse. Insentif ekonomi, seperti pembayaran untuk sampah daur ulang, dapat mendorong partisipasi masyarakat.

3. Integrasi Energy Recovery: Energy recovery dapat digunakan untuk mengelola limbah yang tidak dapat didaur ulang, seperti residu non-organik, sambil memastikan teknologi yang digunakan ramah lingkungan (misalnya, PLTSm dengan filter emisi).

4. Inovasi Teknologi: Mengembangkan teknologi daur ulang yang lebih efisien dan murah, seperti mesin pengolah sampah organik menjadi kompos atau biogas di tingkat rumah tangga.


 Kesimpulan

Hirarkhi pengelolaan limbah menurut Chowdhury et al. (2014) tetap relevan karena menekankan pencegahan dan pengurangan limbah sebagai langkah paling berkelanjutan. Kritik yang mengusulkan energy recovery sebagai prioritas utama memiliki kelemahan karena dapat melemahkan upaya 3R dan ekonomi sirkuler. Dengan pendekatan holistik yang menggabungkan edukasi, infrastruktur, dan inovasi teknologi, masyarakat dapat termotivasi untuk menerapkan 3R sambil memanfaatkan energy recovery secara bijak. Pendekatan ini tidak hanya mengurangi limbah, tetapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan jangka panjang.

Daftar Pustaka 

Chowdhury, A., Sarkar, D., & Chakraborty, P. (2014). Integrated solid waste management: A comprehensive approach. Journal of Environmental Management, 135, 45-53.  

European Commission. (2008). Directive 2008/98/EC on waste (Waste Framework Directive). Official Journal of the European Union.  

Hoornweg, D., & Bhada-Tata, P. (2012). What a waste: A global review of solid waste management. World Bank.

0 komentar:

Posting Komentar