Hirarkhi prioritas
pengelolaan limbah
Sumber: Chowdhury et
al., 2014)
Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta., M.A
Setiap hari kita memproduksi sampah dari sisa makanan, kemasan plastik,
hingga barang-barang sekali pakai yang tampaknya sepele. Namun, di balik itu
semua, ada tanggung jawab besar yang tak boleh diabaikan. Chowdhury et al.
(2014) mengusulkan hirarki pengelolaan limbah yang mengajak kita untuk berpikir
terbalik: tidak langsung dibuang, bisa dicegah, digunakan ulang, dikurangi,
atau didaur ulang.
Hirarki pengelolaan limbah adalah panduan strategis yang mengarahkan
masyarakat untuk mengelola sampah secara berkelanjutan, dimulai dari yang
paling ramah lingkungan hingga opsi terakhir yang minim manfaat. Menurut
Chowdhury et al. (2014), urutannya adalah: pencegahan, penggunaan ulang,
pengurangan, daur ulang, pemulihan energi, dan pembuangan akhir. Prinsip ini
sejalan dengan pendekatan behavioristik dalam psikologi lingkungan yang
menekankan pentingnya prevention behavior atau perilaku pencegahan (Steg
& Vlek, 2009).
Struktur hirarki ini dimulai dari pencegahan (prevention) sebagai opsi
paling disarankan menghindari kemasan sekali pakai, membeli seperlunya, dan
mendesain produk yang minim limbah. Setelah itu, ada reuse dan reduce, dua
prinsip yang sudah lama digaungkan gerakan lingkungan. Recycle datang
setelahnya, dengan syarat: kita mau memilah dan industri mau mengolah. Di
urutan kelima, ada energy recovery, misalnya lewat PLTSa yang mengubah sampah
jadi listrik. Terakhir, disposal atau pembuangan, jadi pilihan terakhir yang
sebisa mungkin dihindari.
Penjelasan Hirarki Pengelolaan Limbah
(Chowdhury et al., 2014)
Dalam piramida hirarki limbah menurut Chowdhury et
al. (2014), terdapat enam tingkat prioritas yang dimulai dari pendekatan paling
disarankan hingga yang paling tidak disarankan, yaitu:
- Prevention
(Pencegahan)
Pencegahan berarti menghindari timbulnya
sampah sejak awal. Contohnya:
- Membawa
tas belanja sendiri untuk menghindari kantong plastik.
- Reuse
(Penggunaan Ulang)
Upaya selanjutnya adalah menggunakan kembali barang-barang agar tidak menjadi sampah. Contohnya: - Menggunakan
botol kaca bekas sebagai wadah minum.
- Menjadikan
pakaian lama sebagai kain pel atau bahan kerajinan.
- Reduce
(Pengurangan)
Reduce berarti mengurangi penggunaan bahan yang menghasilkan limbah. Contohnya: - Menghindari
penggunaan tisu sekali pakai dengan membawa sapu tangan.
- Membeli
barang dengan kemasan minimalis atau tanpa kemasan.
- Sampah
sisa makanan atau bahan makanan digunakan untuk memberi makan hewan
peliharaan dirumah.
- Recycle
(Daur Ulang)
Jika sampah tetap muncul, maka daur ulang menjadi pilihan. Contohnya: - Menyortir
sampah organik dan anorganik di rumah.
- Mengolah
sampah plastik menjadi bahan baku kerajinan.
- Energy
Recovery (Pemulihan Energi)
Ini adalah proses mengubah sampah menjadi energi, seperti dalam Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Contohnya: - Sampah
organik dibakar untuk menghasilkan listrik.
- Sampah
gas metana dari TPA dimanfaatkan sebagai bahan bakar.
- Disposal
(Pembuangan/Akhir)
Ini adalah opsi terakhir yang paling tidak disarankan. Sampah dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) atau dibakar tanpa pemanfaatan. Contohnya: - Sampah
rumah tangga dibuang tanpa pemilahan.
- Limbah
elektronik dikubur tanpa pengolahan yang tepat.
- Membakar
sampah popok bayi dan pembalut.
Namun, banyak pihak
mengusulkan agar energy recovery ditempatkan di urutan pertama, karena
lebih praktis, cepat dirasakan manfaatnya, dan tidak butuh partisipasi aktif
dari masyarakat. Ini terlihat dari kecenderungan publik yang lebih mudah
menerima teknologi pengolah sampah dibanding kebiasaan memilah sampah atau
membuat kompos. Terlihat wajar dijaman sekarang jika seoran individu memilih
hal yang lebih praktis dan cepat. Karena generasi saat ini kurang memiliki
ketelatean dalam mengerjakan atau mengolah sampah.
Jika energy recovery
ditempatkan sebagai prioritas utama, maka masyarakat akan kehilangan insentif
untuk mengubah kebiasaan. Perubahan perilaku adalah inti dari psikologi
lingkungan. Teknologi hanya mendukung, bukan menggantikan kesadaran. Seperti
kata Gifford (2014), technological optimism percaya bahwa teknologi bisa
menyelesaikan semua masalah lingkungan justru dapat menghambat perubahan
perilaku nyata.
Perubahan perilaku
menuju gaya hidup berkelanjutan sangat bergantung pada nilai, norma, dan
persepsi efikasi diri (Schultz et al., 2005; Bamberg & Möser, 2007).
Teknologi seperti PLTSa memang penting, tetapi bukan pengganti peran aktif
warga. Bahkan, teknologi yang terlalu dominan dapat menimbulkan moral
licensing, yaitu merasa bebas menghasilkan sampah karena ada solusi instan (Mazar
& Zhong, 2010).
Penelitian juga
menunjukkan bahwa intervensi berbasis komunitas dan edukasi lingkungan jauh
lebih efektif dalam jangka panjang untuk membentuk kebiasaan positif
(McKenzie-Mohr, 2011). Pendekatan ini mendorong community-based social
marketing (CBSM) yang membangun norma sosial dan komitmen kolektif terhadap
perilaku 3R.
Maka, solusi yang
disarankan adalah tetap mempertahankan struktur hierarki limbah versi Chowdhury
et al. (2014), namun dengan penguatan pada implementasi sosialnya. Pemerintah
dan masyarakat harus bergandengan tangan: satu sisi membangun teknologi
pemrosesan sampah, sisi lain menumbuhkan kesadaran melalui pendidikan,
insentif, dan sistem sosial yang mendukung perilaku ramah lingkungan.
1. Bamberg, S., & Möser, G. (2007). Twenty
years after Hines, Hungerford, and Tomera: A new meta-analysis of psycho-social
determinants of pro-environmental behavior. Journal of Environmental
Psychology, 27(1), 14–25.
2. Chowdhury, A.H., Mohammad, N., Ul Haque, Md.R., & Hossain, T. (2014). Developing 3Rs strategy for waste management in urban Bangladesh. IOSR Journal of Environmental Science, Toxicology and Food Technology, 8(5), 9–18.
4. Gifford, R. (2014). Environmental
psychology matters. Annual Review of Psychology, 65, 541–579.
5.
Mazar, N., & Zhong, C. (2010). Do green
products make us better people? Psychological Science, 21(4), 494–498.
6.
McKenzie-Mohr, D. (2011). Fostering
Sustainable Behavior: An Introduction to Community-Based Social Marketing
(3rd ed.). New Society Publishers.
7.
Schultz, P. W., Nolan, J. M., Cialdini, R.
B., Goldstein, N. J., & Griskevicius, V. (2005). The constructive,
destructive, and reconstructive power of social norms. Psychological Science,
18(5), 429–434.
0 komentar:
Posting Komentar