Senin, 12 Mei 2025

ESAI 9 - UTS

 

Hirarkhi prioritas pengelolaan limbah

Sumber: Chowdhury et al., 2014)

Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta., M.A


Putri Devi Santika - 23310410101
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
2025

Setiap hari kita memproduksi sampah dari sisa makanan, kemasan plastik, hingga barang-barang sekali pakai yang tampaknya sepele. Namun, di balik itu semua, ada tanggung jawab besar yang tak boleh diabaikan. Chowdhury et al. (2014) mengusulkan hirarki pengelolaan limbah yang mengajak kita untuk berpikir terbalik: tidak langsung dibuang, bisa dicegah, digunakan ulang, dikurangi, atau didaur ulang.

Hirarki pengelolaan limbah adalah panduan strategis yang mengarahkan masyarakat untuk mengelola sampah secara berkelanjutan, dimulai dari yang paling ramah lingkungan hingga opsi terakhir yang minim manfaat. Menurut Chowdhury et al. (2014), urutannya adalah: pencegahan, penggunaan ulang, pengurangan, daur ulang, pemulihan energi, dan pembuangan akhir. Prinsip ini sejalan dengan pendekatan behavioristik dalam psikologi lingkungan yang menekankan pentingnya prevention behavior atau perilaku pencegahan (Steg & Vlek, 2009).

Struktur hirarki ini dimulai dari pencegahan (prevention) sebagai opsi paling disarankan menghindari kemasan sekali pakai, membeli seperlunya, dan mendesain produk yang minim limbah. Setelah itu, ada reuse dan reduce, dua prinsip yang sudah lama digaungkan gerakan lingkungan. Recycle datang setelahnya, dengan syarat: kita mau memilah dan industri mau mengolah. Di urutan kelima, ada energy recovery, misalnya lewat PLTSa yang mengubah sampah jadi listrik. Terakhir, disposal atau pembuangan, jadi pilihan terakhir yang sebisa mungkin dihindari.

Penjelasan Hirarki Pengelolaan Limbah (Chowdhury et al., 2014)

Dalam piramida hirarki limbah menurut Chowdhury et al. (2014), terdapat enam tingkat prioritas yang dimulai dari pendekatan paling disarankan hingga yang paling tidak disarankan, yaitu:

  1. Prevention (Pencegahan)

 Pencegahan berarti menghindari timbulnya sampah sejak awal. Contohnya:

    • Membawa tas belanja sendiri untuk menghindari kantong plastik.
  1. Reuse (Penggunaan Ulang)
    Upaya selanjutnya adalah menggunakan kembali barang-barang agar tidak menjadi sampah. Contohnya:
    • Menggunakan botol kaca bekas sebagai wadah minum.
    • Menjadikan pakaian lama sebagai kain pel atau bahan kerajinan.
  2. Reduce (Pengurangan)
    Reduce berarti mengurangi penggunaan bahan yang menghasilkan limbah. Contohnya:
    • Menghindari penggunaan tisu sekali pakai dengan membawa sapu tangan.
    • Membeli barang dengan kemasan minimalis atau tanpa kemasan.
    • Sampah sisa makanan atau bahan makanan digunakan untuk memberi makan hewan peliharaan dirumah.
  3. Recycle (Daur Ulang)
    Jika sampah tetap muncul, maka daur ulang menjadi pilihan. Contohnya:
    • Menyortir sampah organik dan anorganik di rumah.
    • Mengolah sampah plastik menjadi bahan baku kerajinan.
  4. Energy Recovery (Pemulihan Energi)
    Ini adalah proses mengubah sampah menjadi energi, seperti dalam Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Contohnya:
    • Sampah organik dibakar untuk menghasilkan listrik.
    • Sampah gas metana dari TPA dimanfaatkan sebagai bahan bakar.
  5. Disposal (Pembuangan/Akhir)
    Ini adalah opsi terakhir yang paling tidak disarankan. Sampah dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) atau dibakar tanpa pemanfaatan. Contohnya:
    • Sampah rumah tangga dibuang tanpa pemilahan.
    • Limbah elektronik dikubur tanpa pengolahan yang tepat.
    • Membakar sampah popok bayi dan pembalut.

Namun, banyak pihak mengusulkan agar energy recovery ditempatkan di urutan pertama, karena lebih praktis, cepat dirasakan manfaatnya, dan tidak butuh partisipasi aktif dari masyarakat. Ini terlihat dari kecenderungan publik yang lebih mudah menerima teknologi pengolah sampah dibanding kebiasaan memilah sampah atau membuat kompos. Terlihat wajar dijaman sekarang jika seoran individu memilih hal yang lebih praktis dan cepat. Karena generasi saat ini kurang memiliki ketelatean dalam mengerjakan atau mengolah sampah.

Jika energy recovery ditempatkan sebagai prioritas utama, maka masyarakat akan kehilangan insentif untuk mengubah kebiasaan. Perubahan perilaku adalah inti dari psikologi lingkungan. Teknologi hanya mendukung, bukan menggantikan kesadaran. Seperti kata Gifford (2014), technological optimism percaya bahwa teknologi bisa menyelesaikan semua masalah lingkungan justru dapat menghambat perubahan perilaku nyata.

Perubahan perilaku menuju gaya hidup berkelanjutan sangat bergantung pada nilai, norma, dan persepsi efikasi diri (Schultz et al., 2005; Bamberg & Möser, 2007). Teknologi seperti PLTSa memang penting, tetapi bukan pengganti peran aktif warga. Bahkan, teknologi yang terlalu dominan dapat menimbulkan moral licensing, yaitu merasa bebas menghasilkan sampah karena ada solusi instan (Mazar & Zhong, 2010).

Penelitian juga menunjukkan bahwa intervensi berbasis komunitas dan edukasi lingkungan jauh lebih efektif dalam jangka panjang untuk membentuk kebiasaan positif (McKenzie-Mohr, 2011). Pendekatan ini mendorong community-based social marketing (CBSM) yang membangun norma sosial dan komitmen kolektif terhadap perilaku 3R.

Maka, solusi yang disarankan adalah tetap mempertahankan struktur hierarki limbah versi Chowdhury et al. (2014), namun dengan penguatan pada implementasi sosialnya. Pemerintah dan masyarakat harus bergandengan tangan: satu sisi membangun teknologi pemrosesan sampah, sisi lain menumbuhkan kesadaran melalui pendidikan, insentif, dan sistem sosial yang mendukung perilaku ramah lingkungan. 



DAFTAR PUSTAKA .

1.       Bamberg, S., & Möser, G. (2007). Twenty years after Hines, Hungerford, and Tomera: A new meta-analysis of psycho-social determinants of pro-environmental behavior. Journal of Environmental Psychology, 27(1), 14–25.

2.        Chowdhury, A.H., Mohammad, N., Ul Haque, Md.R., & Hossain, T. (2014). Developing 3Rs strategy for waste management in urban Bangladesh. IOSR Journal of Environmental Science, Toxicology and Food Technology, 8(5), 9–18.

4.    Gifford, R. (2014). Environmental psychology matters. Annual Review of Psychology, 65, 541–579.

5.       Mazar, N., & Zhong, C. (2010). Do green products make us better people? Psychological Science, 21(4), 494–498.

6.        McKenzie-Mohr, D. (2011). Fostering Sustainable Behavior: An Introduction to Community-Based Social Marketing (3rd ed.). New Society Publishers.

7.        Schultz, P. W., Nolan, J. M., Cialdini, R. B., Goldstein, N. J., & Griskevicius, V. (2005). The constructive, destructive, and reconstructive power of social norms. Psychological Science, 18(5), 429–434.




 

0 komentar:

Posting Komentar