Tragedi Susur Sungai sebagai Fenomena Psikologi Sosial
Oleh :
Shafadita
Putri Trisdianty ( NIM 20310410042 )
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Pada
Jumat sore, 21 Februari 2020 terjadi peristiwa menyedihkan yang hanyutnya
ratusan siswa SMPN 1 Turi. Kegiatan susur sungai yang menelan korban Sebanyak
249 siswa karena terbawa arus sungai. Terdapat
tujuh siswa yang ditemukan tewas dan tiga lainnya hilang dinyatakan sampai
sabtu pagi. Sisanya dinyatakan selamat namun beberapa mengalami luka-luka
akibat batuan di sungai. Sebuah tragedi bisa menjadi pengalaman hidup yang luar
biasa dan berpotensi traumatis. Orang-orang yang terkena dampak langsung dari
tragedi bencana, beberapa mungkin mengalami cedera serius atau pengalaman
mendekati kematian; mereka mungkin menyaksikan kehancuran di antara teman dan
keluarga. Bagi mereka yang terkena dampak langsung, dampak langsung bencana
dapat membuat bingung, dan terjadi guncangan pada jiwa. Berminggu-minggu dan
berbulan-bulan setelah bencana seseorang akan susah untuk kembali hidup normal.
Jadi, bagi sebagian orang, dampak penuh bencana dan dampaknya terhadap
psikologi mereka mungkin tidak terlihat selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan setelah tragedi bencana terjadi.
Individu yang terkena
dampak langsung tragedi bencana mungkin merasakan kesedihan, panik, kehilangan,
ketakutan, dan kesedihan yang kuat. Kesulitan tidur, marah, mudah tersinggung,
dan rasa bersalah juga dapat muncul. Namun, mayoritas individu yang selamat
dari tragedi bencana pada akhirnya akan pulih tanpa gangguan psikologis yang
besar, bahkan jika mereka mengalami lonjakan gejala selama atau segera setelah
bencana. Karena peristiwa yang berpotensi traumatis (seperti bencana) dapat
menyebabkan stres yang parah pada individu, makan orang mungkin mengalami
berbagai penyakit mental di masa depan. Seperti Gangguan stres pasca-trauma
(PTSD), depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan zat adalah efek psikologis dari
suatu bencana atau peristiwa traumatis dan diklasifikasikan sebagai parah.
(Bisson & Lewis, 2009).
Salah satu langkah untuk
mencegah dampak serius ini adalah pelaporan psikologis, tetapi penelitian
menemukan bahwa teknologi ini tidak dapat secara efektif mencegah terjadinya
dampak serius akibat bencana. Dalam
waktu singkat, pertolongan pertama psikologis digembar-gemborkan oleh para
pendukungnya sebagai "intervensi akut pilihan". Dengan beberapa model
yang beredar dan digunakan, Bryant dan Litz (2009) mengeksplorasi tema umum
ketika mereka menentukan tiga tujuan psikologis ini pertolongan pertama: (1)
memulihkan keamanan, (2) mengurangi reaksi stres akut, dan (3) membimbing orang
yang selamat untuk mengakses sumber daya.
Pertolongan pertama
psikologis (PFA) atau bantuan psikologis dini kemudian digunakan sebagai
intervensi lain. PFA adalah respons langsung terhadap suatu insiden, setara
dengan pertolongan pertama fisik atau pertolongan pertama darurat setelah
kecelakaan, untuk meminimalkan efek merugikan dari sebuah tragedi atau
peristiwa traumatis dan meningkatkan proses penyembuhan bagi pasien. PFA saat
ini merupakan teknologi yang berkembang dengan baik dan umum digunakan di
Indonesia. Bersamaan dengan itu, berbagai percobaan telah dilakukan di negara
lain untuk mengetahui kemanjuran PFA. Sebagian besar penelitian yang berusaha
untuk menentukan kemanjuran PFA hingga saat ini adalah tinjauan literatur
sistematis (Dieltjens, 2014).
Untungnya, individu dan
komunitas pada umumnya menunjukkan ketahanan yang luar biasa setelah peristiwa
traumatis seperti tragedi bencana dan kebanyakan orang dapat bangkit kembali
setelah beberapa waktu. Namun, penting untuk dicatat bahwa minoritas relatif
individu mungkin menderita gangguan psikologis jangka panjang, yang berlangsung
setelah satu bulan atau lebih setelah bencana. Menjaga hubungan dengan orang
lain setelah bencana bisa menjadi penyembuhan bagi individu dan komunitas.
Menghindari isolasi dan meningkatkan dukungan sosial merupakan faktor penting
dalam membangun ketahanan. Selain itu, meskipun mungkin sulit atau dapat
menimbulkan perasaan bersalah pada beberapa orang, meluangkan waktu untuk
perawatan diri, seperti makan, tidur, dan olahraga secara teratur, dapat
menjadi kunci untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan melalui masa-masa
sulit. Pada saat-saat stres atau kecemasan akut, latihan pernapasan dalam,
berjalan-jalan, dan percakapan dengan orang lain yang mendukung dapat membuat
perbedaan yang signifikan.
Sumber :
Bisson, J. I., &
Lewis, C. (2009). Systematic review of psychological first aid. Commissioned by
the World Health Organization (available upon request).
Bisson, J. I., McFarlane,
A. C., Rose, S., Ruzek, J. I., & Watson, P. J. (2009). Psychological
debriefing for adults. Effective treatments for PTSD: Practice guidelines from
the International Society for Traumatic Stress Studies, 2, 83-105.
Bryant, R. A., & Litz,
B. T. (2009). Mental health treatments in the wake of disaster. In Y. Neria, S.
Galea, & F. Norris (Eds.), Mental health and disasters (pp. 321–335). New
York, NY: Cambridge University Press.
Dieltjens, T., Moonens,
I., Van Praet, K., De Buck, E., & Vandekerckhove, P. (2014). A systematic
literature search on psychological first aid: lack of evidence to develop
guidelines. PloS one, 9(12), e114714.
0 komentar:
Posting Komentar