Rabu, 24 April 2024

Esai 3 Psikologi Inovasi : Disonansi Kognitif Perempuan Berhijab Yang Merokok Pascalin Sari Asih (21310410192)

 

Essay 3 psikologi inovasi : wawancara tentang disonansi kongnitif

 

DISONANSI KONGNITIF PEREMPUAN BERHIJAB YANG MEROKOK

Psikologi Inovasi Essay 3 Wawancara Tentang Disonansi Kognitif



Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta MA

 

Pascalin sari asih (21310410192)

 

Perempuan berhijab memiliki citra sebagai perempuan yang patuh terhadap perintah agama, citra tersebut membuat mereka yang menunjukkan perilaku berbeda mendapat pandangan tersendiri di masyarakat. Salah satu bentuk perilaku berbeda tersebut adalah merokok. Merokok dipandang kurang pantas bagi perempuan muslim, namun tetap ada yang melakukannya. Perilaku tersebut mengakibatkan munculnya disonansi kognitif. Dominasi laki-laki dalam perilaku merokok menyebabkan masyarakat berpandangan bahwa perilaku merokok adalah perilaku laki-laki. Secara sosial, laki-laki perokok lebih diterima oleh anggota masyarakat. Sebaliknya, perilaku merokok pada perempuan dianggap tidak pantas. Oleh karena itu, perempuan yang merokok beresiko mendapat stigma dari masyarakat sebagai cacat moral (Barraclough, 1999). pengambilan keputusan untuk merokok pada perempuan dipengaruhi oleh berbagai kondisi emosionalnya. Karakteristik perempuan dengan kondisi emosional yang tidak stabil menyebabkan kecenderungan untuk mengambil keputusan merokok relatif tinggi.

Pada tanggal 24 april 2024, saya melakukan wawancara terhadap rekan saya seorang wanita berhijab yang merokok. Wawancara saya lakukan pukul 12.21 PM, disela istirahat subjek saat bekerja. Subjek berumur 28 tahun, karyawan sebuah restoran sekaligus seorang mahasiswa universitas terbuka dengan inisal ALF. Informasi yang saya dapatkan dari subjek, dia mulai merokok sejak SMA karena penasaran dan akhirnya keterusan, subjek merasa tenang dan bisa berfikir ketika merokok. Menurut Amos (1996) terdapat beberapa alasan yang mendasarinya yaitu merokok dinilai mampu memberikan kesenangan dan mengurangi perasaan marah. Selain itu, perilaku merokok yang terus menerus dilakukan menyebabkan tubuh terbiasa dengan nikotin, sehingga menyebabkan ketergantungan secara fisiologis. Bahkan ALF menyadari bahwa yang ia lakukan berbahaya apalagi dia seorang perempuan, “tau dampaknya, meningkatkan resiko kanker, tekanan darah tinggi, penurunan tingkat kesuburan, menopause, kematian, aku juga ngalamin gangguan menstruasi, tapi dari pada aku self harm atau narkoba aku milih rokok.” ujar ALF secara gamblang.

Cara untuk subjek agar bisa mengurangi atau bahkan berhenti disonansi, berhenti merokok memang sangat sulit jadi alangkah baiknya dimulai dengan berhenti sementara waktu, menunjukkan perilaku merokoknya hanya pada lingkungan pertemanan yang ia rasa dapat menerima perilakunya. Cara mengurangi disonansi selanjutnya adalah dengan menambah elemen kognitif baru. Hal ini dapat dilakukan dengan membandingkan perilaku merokok subjek dengan perilaku yang dinilai memiliki dampak lebih buruk daripada merokok misalnya adalah perilaku self harm dan narkoba.

 

Daftar Pustaka :

Amos, A. (1996). Women and smoking. British Medical Bulletin, 52(1), 74–89.

https://doi.org/10.1093/oxfordjournals.bmb.a011534

 

Barraclough, S. (1999). Women and tobacco in Indonesia. Tobacco Control, 8(3),

327–332. https://doi.org/10.1136/tc.8.3.327

 

 

0 komentar:

Posting Komentar