Mereview Jurnal Tentang Psikologi Sosial
Zainal Derwotubun
Nim : 22310410061
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Topik |
Stigma terhadap Orang dengan Gangguan Mental: Pengaruh informasi
status gangguan mental terhadap penilaian daya tarik fisik pada mahasiswi S1
Psikologi |
Sumber |
Althea Mutiara Celina & Retha Arjadi* 1Fakultas Psikologi,
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta Selatan, DKI Jakarta |
Tujuan penelitian |
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh informasi tentang
status gangguan mental terhadap penilaian daya tarik fisik pada mahasiswi S1
Psikologi, dengan sampel mahasiswi S1 Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya.
Penelitian menggunakan metode randomized pretestposttest control group design
dengan teknik kontrol blocking. Pemberian pretest-posttest menggunakan visual
analogue scale dilakukan untuk mengukur penilaian partisipan atas daya tarik
fisik objektif dan subjektif dari model laki-laki yang ditampilkan melalui
foto. Di kelompok eksperimen (n=31, Mean usia=20,48, SD=1,18), partisipan
diberikan informasi yang menunjukkan bahwa model memiliki gangguan mental
skizofrenia, sedangkan di kelompok kontrol (n=32, Mean usia=20,59, SD=1,13),
partisipan diberikan informasi yang menunjukkan bahwa model sehat secara
mental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa informasi status gangguan mental
berpengaruh secara signifikan pada penilaian daya tarik fisik secara objektif
(U=405.000, n1=31, n2=32, p |
Permasalahan |
|
Isi |
|
Metode |
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan randomized
pretest-posttest control group design. Terdapat dua kelompok penelitian,
yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kedua kelompok diminta untuk
memberi penilaian mengenai daya tarik fisik pada foto seorang laki-laki yang
sama. Sedangkan pada kelompok eksperimen, diberikan perlakuan berupa
manipulasi variabel bebas (informasi bahwa laki-laki pada foto memiliki gangguan
mental), dan pada kelompok kontrol diberikan perlakuan netral (informasi
netral bahwa lakilaki pada foto memiliki kondisi yang sehat dan dapat
menjalani fungsi-fungsi kesehariannya dengan baik). Variabel terikat pada
penelitian ini adalah penilaian daya tarik fisik. Variabel terikat ini diukur
dua kali, yaitu sebelum diberikan perlakuan dan setelah diberikan perlakuan
pada masing-masing kelompok. Dapat dilihat pada |
Hasil |
Statistik deskriptif dari data penelitian dapat dilihat pada Tabel
3 dan 4. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa mean dari selisih skor prestest –
posttest untuk daya tarik fisik objektif dan subjektif di kelompok kontrol
yang bernilai positif menunjukkan adanya peningkatan skor pada sebagian
partisipan setelah diberikan perlakuan. Sebaliknya, Mean untuk daya tarik
fisik objektif dan subjektif di kelompok eksperimen yang bernilai negatif
menunjukkan adanya penurunan skor pada sebagian partisipan setelah diberikan
perlakuan berupa informasi bahwa model pada foto memiliki gangguan mental. Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan penilaian partisipan di kedua
kelompok penelitian, baik untuk penilaian daya tarik fisik objektif maupun
daya tarik subjektif. Untuk melihat signifikansi dari perbedaan mean pada
kedua kelompok, dilakukan uji beda Mann-Whitney U-test (dapat dilihat pada
Tabel 5). |
Kesimpulan |
Penelitian yang melibatkan mahasiswi S1 Psikologi dengan sampel
mahasiswi S1 FPUAJ memiliki hasil yang sejalan dengan penelitian Farina dkk.
(1977), yang melibatkan masyarakat umum sebagai sampel penelitian. Meskipun
mahasiswi S1 Psikologi memiliki pengetahuan yang lebih luas terkait gangguan
mental, menerima ajaran untuk memandang individu yang memiliki gangguan
mental dengan lebih objektif, serta dituntut untuk menginternalisasi nilai
tersebut secara tidak langsung, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
informasi mengenai gangguan mental dapat menurunkan penilaian mereka terhadap
daya tarik fisik seseorang, baik secara objektif maupun subjektif. Dari sini,
peneliti melihat bahwa partisipan penelitian yang mempelajari ilmu Psikologi
tidak serta merta bisa dipastikan dapat memandang individu dengan gangguan
mental secara netral dalam konteks yang menyangkut isu personal, dalam hal
ini ketertarikan fisik dalam konteks romantis. Hal ini dapat dijelaskan oleh
pemahaman bahwa penilaian terhadap daya tarik fisik bukan sesuatu yang
berdiri sendiri, namun erat terkait dengan kualitas-kualitas lain dari
individu tersebut, seperti kepandaian dan kesuksesan dalam pekerjaan (Dion
dkk., 1972; Eagly dkk., 1991; Langlois dkk., 2000). Adanya kualitas-kualitas
ini pada laki-laki dapat memicu ketertarikan romantis perempuan, karena
kualitas-kualitas tersebut akan mampu mendukung peran laki-laki dalam relasi
romantis sesuai pandangan sosial. Peran yang dimaksud adalah sebagai pemberi
nafkah untuk keluarga (Loscocco & Spitze, 2007). Berdasarkan penjelasan
ini, secara umum, sulit bagi partisipan untuk melepaskan penilaian daya tarik
fisik dari keterkaitannya dengan aspekaspek kualitas laki-laki sebagai calon
pasangan dalam konteks hubungan romantis. Konsekuensinya, saat manipulasi
berupa informasi mengenai status gangguan mental yang erat dengan
atribut-atribut negatif (Link dkk.; Nunnally; Olmsted & Durham dalam
Phelan & Link, 2004) disampaikan kepada partisipan, penilaian mereka
terhadap daya tarik fisik model laki-laki pada foto pun jadi cenderung
menurun. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa penilaian partisipan terhadap
daya tarik fisik model tidak terlepas dari bias, lebih spesifiknya bias
negatif, meskipun mereka sudah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai
gangguan mental. Menurut Rozin dan Royzman (2001), individu cenderung
memberikan penekanan yang lebih besar terhadap hal-hal negatif dibandingkan
hal-hal positif dalam melihat sesuatu. Pada penelitian ini, kelompok kontrol
menerima stimulus yang positif, yaitu foto laki-laki normal, dalam arti tidak
memiliki gangguan mental, dengan daya tarik fisik yang tinggi. Pada kelompok
eksperimen, selain menerima stimulus yang positif berupa foto laki-laki
dengan daya tarik fisik yang tinggi, partisipan juga menerima stimulus yang
negatif, yaitu informasi mengenai status gangguan mental yang dimiliki
laki-laki pada foto. Dalam penelitian ini, saat dihadapkan dengan suatu
stimulus yang sepenuhnya bersifat positif, partisipan dengan sendirinya hanya
akan menggunakan informasi tersebut sebagai dasar memberikan penilaian
terhadap daya tarik fisik terhadap model pada foto. Namun, saat dihadapkan
dengan dua stimulus yang sifatnya positif dan negatif sekaligus, informasi
yang negatif akan cenderung lebih dipertimbangkan dalam memberikan penilaian.
Oleh karena itu, meskipun model pada foto memiliki daya tarik fisik yang
tinggi (stimulus positif), partisipan akan cenderung memberikan penilaian
akhir terhadap daya tarik fisik tersebut berdasarkan status gangguan mental
yang dimiliki model (stimulus negatif). Perbedaan penilaian yang diberikan
oleh partisipan di kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dapat dijelaskan
berdasarkan teori prospek yang dikemukakan oleh Kahneman & Tversky
(1979). Teori tersebut menjelaskan bahwa bias negatif erat kaitannya dengan
penghindaran kerugian, yaitu kecenderungan individu untuk menghindari
kerugian dibandingkan memperoleh keuntungan dalam menimbang sesuatu (Tversky
& Kahneman, 1991). Jika dikaitkan dengan penelitian ini, saat memberikan
penilaian akhir terhadap daya tarik fisik model pada foto, partisipan pada
kelompok eksperimen dapat dikatakan cenderung menghindari kerugian. Dalam
konteks ketertarikan romantis seperti saat mencari calon pasangan, adanya
gangguan mental dapat dianggap merugikan karena terkait dengan penurunan atau
bahkan hilangnya fungsi personal dan interpersonal (APA, 2013). Hal ini
sekaligus dapat menambah wawasan untuk studi mengenai penghindaran kerugian,
yaitu bahwa objek yang menjadi pembahasan tidak terbatas pada barang atau
materi yang berwujud seperti uang (Rozin & Royzman, 2001), melainkan bisa
juga berupa aspek yang tidak berwujud seperti trait individu, dan bagaimana
aspek sosial mempengaruhinya. Lebih lanjut, berdasarkan perhitungan effect
size, pengetahuan tentang status mental lebih besar pengaruhnya pada
penilaian daya tarik fisik seseorang secara subjektif. Hal ini dapat didasari
pada dua proses kognitif yang dilibatkan dalam penilaian daya tarik, yaitu
“Sistem 1” atau yang sifatnya lebih spontan dan “Sistem 2” atau yang sifatnya
lebih terkontrol (Gawronski & Creighton, 2013). Jika dikaitkan dengan
kon-teks penelitian ini, pertimbangan yang dilakukan saat menilai daya tarik
fisik subjektif (“seberapa menarik”) memang lebih kompleks dibandingkan saat
menilai daya tarik fisik objektif (“seberapa tampan”). Saat partisipan
diminta untuk menilai secara objektif, mereka hanya mengandalkan inderanya,
atau apa yang dilihat oleh matanya secara langsung tanpa mempertimbangkan hal
lain. Berbeda ketika partisipan diminta untuk menilai model secara subjektif,
yaitu tidak hanya terpaku pada fitur wajahnya tetapi juga mempertimbangkan
aspek lain yang tidak dilihatnya secara langsung. Di sini, partisipan akan
mengacu pada informasi status mentalnya, sebagai satusatunya informasi
tentang model yang mereka ketahui, dan cara memaknai informasi tersebut akan
berbeda pada masing-masing partisipan. Informasi tersebut akan lebih
berpengaruh pada caranya dalam menilai daya tarik fisik model, karena secara
tidak langsung hal ini akan mempengaruhi penilaian seseorang dalam pemilihan
pasangan—seperti yang dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa
pertimbangan untuk memilih pasangan tidak hanya dari tampilan fisik seseorang
tetapi juga dari kesehatan yang dimilikinya. Hal lain yang menjadi pembahasan
pada penelitian ini adalah terdapat dua partisipan di kelompok eksperimen
yang mengetahui bahwa model memang memiliki perilaku yang mengarah pada
gangguan mental berdasarkan informasi yang diberikan oleh peneliti. Namun,
keduanya memberikan pernyataan di lembar manipulation check bahwa raut muka
model tampak normal dan merasa bahwa model tersebut tidak sewajarnya memiliki
gangguan mental. Secara khusus, salah satu partisipan mengungkit bahwa senyuman
yang ditampilkan oleh model tampak tidak dipaksakan, selayaknya senyuman
orang pada umumnya. Teori klasik mengenai ekspresi menyatakan bahwa arti di
balik senyuman adalah kebahagiaan (Ekman & Friesen, dalam Kraut &
Johnson, 1979). Seseorang yang merasa senang cenderung menampilkan senyuman
kecuali dirinya ingin menutupi hal tersebut (Kraut & Johnson, 1979).
Kebahagiaan sendiri merupakan salah satu aspek penting dalam kesehatan (Cohn
dkk., 2009) dan kesejahteraan atau well-being seseorang (Honkanen dkk., 2005).
Di sisi lain, kesejahteraan atau well-being tersebut menunjukkan hubungan
yang negatif dengan gejala gangguan mental (Keyes dalam Rahman dkk., 2016),
sehingga dapat dikatakan bahwa individu dengan gangguan mental memiliki
tingkat wellbeing yang rendah. Atas dasar ini, sebagian orang mungkin
memiliki persepsi bahwa individu yang bisa berbahagia dan tersenyum adalah
individu yang normal dan tidak memiliki gangguan mental, dan sebaliknya,
individu yang memiliki gangguan mental kurang bisa berbahagia dan tersenyum.
Mereka merasa bahwa individu dengan gangguan mental tidak sewajarnya
tersenyum, tetapi lebih mungkin untuk menunjukkan eskpresi sedih atau murung
karena permasalahan yang dialaminya. Padahal, menurut penelitian yang
dilakukan oleh Tron dkk. (2015), individu dengan gangguan skizofrenia pun
masih bisa tersenyum, meskipun dengan intensitas yang lebih sedikit.
Berdasarkan diskusi hasil penelitian yang telah dijabarkan di atas, peneliti
menyadari bahwa hasil penelitian ini masih dapat dikaji lebih lanjut pada
penelitian selanjutnya. Peneliti merekomendasikan penelitian selanjutnya
untuk melakukan penelitian serupa pada konteks personal lain di luar daya
tarik dalam konteks romantis. Peneliti juga merekomendasikan penelitian
selanjutnya untuk menggunakan kelompok sampel lain yang masih relevan,
misalnya orangorang dengan latar belakang ilmu Psikologi yang sudah bekerja
di bidang Psikologi pula. Kontrol terhadap latar belakang etnis partisipan
perlu dipertimbangkan karena etnis seringkali sulit dilepaskan dari konteks
ketertarikan fisik. Selain itu, penting untuk memperhatikan detil manipulasi
yang diberikan pada saat eksperimen, misalnya memilih model dengan ekspresi
netral untuk ditampilkan pada partisipan. Lebih lanjut, ada keterbatasan yang
perlu disadari terkait desain eksperimental yang digunakan dalam penelitian
ini. Penelitian ini dijalankan dalam kondisi laboratori terkontrol dengan
penekanan kekuatan pada validitas internal untuk menjelaskan hubungan sebab
akibat yang bersifat esensial antarvariabel, sehingga penerjemahan hasilnya
ke dalam kondisi nyata di lapangan perlu dilakukan dengan hati-hati. Selain
itu, terkait kontrol variabel sekunder, walaupun penelitian ini telah
berusaha melakukan kontrol ketat terhadap variabel sekunder yang diprediksi dapat
mempengaruhi hasil penelitian, kemungkinan adanya variabel lain yang dapat
mempengaruhi hasil penelitian di luar prediksi tetap perlu disadari dan
dipertimbangkan dalam studi selanjutnya. Penelitian ini memiliki implikasi
untuk memberikan gambaran mengenai tantangan yang dapat dihadapi
individu-individu dengan gangguan mental, khususnya dalam konteks hubungan
romantis, mengingat penilaian terhadap daya tarik fisik mereka dapat menurun
seturut terbukanya status gangguan mental mereka. Implikasi lain dari
penelitian ini adalah untuk meningkatkan kesadaran bahwa, bahkan pada
orang-orang yang berkuliah S1 Psikologi, dapat terjadi kesenjangan yang
esensial antara pemahaman mengenai gangguan mental dengan penilaian, dalam
hal ini penilaian mengenai daya tarik fisik, yang diberikan terhadap individu
dengan gangguan mental. Artinya, pemahaman yang dimiliki mengenai gangguan
mental perlu diimbangi dengan kepekaan terkait bias-bias yang mungkin muncul
saat melakukan penilaian terhadap individu-individu dengan gangguan mental,
agar penilaian yang akhirnya diberikan tidak merugikan mereka. |
0 komentar:
Posting Komentar