ESSAY V : TPSP 3R RANDU ALAS
ADIP NORMAN FATKURI – 21310410176
Dosen
Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta MA
Darurat sampah di Kota Yogyakarta adalah permasalahan
yang timbul akibat penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, Bantul,
karena kelebihan muatan sampah, yang berlangsung dari 23 Juli hingga 5
September 2023. Dampak dari penutupan ini adalah penumpukan sampah di berbagai
lokasi, mengakibatkan masalah lingkungan dan kesehatan. Warga terpaksa membakar
sampah sendiri, yang berdampak negatif pada kualitas udara. Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta (Pemda DIY) menunjuk Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST)
Tamanmartani, Sleman, sebagai alternatif. Meskipun demikian, langkah ini belum
sepenuhnya menyelesaikan masalah sampah di DIY.
TPS 3R Randu Alas merupakan fasilitas pengelolaan
sampah yang terletak di Dusun Candi Karang, Desa Sardonoharjo, Sleman,
Yogyakarta. Bapak Sujono menjelaskan tentang TPSP 3R Randu Alas yang diajukan
melalui proposal kepada Dinas Lingkungan Hidup dan dibangun pada tahun 2015,
dioperasikan pada 16 Februari 2016. TPS
ini menerima beragam jenis sampah dari sumber-sumber seperti pemukiman
penduduk, toko buah, rumah makan, minimarket, instansi, sekolah, dan kantor
pemerintah. Dengan menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle), TPS 3R Randu
Alas berupaya mengurangi volume sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir
(TPA). TPS 3R Randu Alas bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya pengelolaan sampah yang ramah lingkungan, sekaligus memberikan
manfaat ekonomi kepada warga di sekitarnya.
TPSP berfungsi sebagai fasilitas pengolahan sampah
dari masyarakat. Akibat kondisi darurat, sampah menumpuk karena terdapat
kendala dalam pembuangan sampah selama tiga bulan terakhir. TPA Piyuangan tidak
dapat mengolah sampah dengan baik karena kekurangan teknologi yang mendukung.
Sebagai solusi, lokasi pembuangan sampah akhir direncanakan akan dipindahkan ke
Taman Martani. Bapak Sujono menekankan bahwa sampah adalah tanggung jawab
bersama dan perlu pengelolaan yang efektif untuk mencegah dampak negatif bagi
lingkungan.
Sampah diambil dan dipilah sesuai jenisnya, meskipun
proses pemilahan tidak optimal karena kurangnya sumber daya manusia. Sebagai
solusi sementara, sampah hanya dipilah menjadi dua kategori, yaitu organik dan
non-organik. Sampah non-organik diambil oleh juragan rosok untuk didaur ulang,
sedangkan 30% dari sampah organik diolah sendiri menjadi kompos dan produk
turunannya. Proses pembuatan kompos memakan waktu sekitar 40 hari dan
melibatkan beberapa sistem, termasuk teknik bata berongga, teknik windrow dari bambu,
dan sistem takakura. TPSP mengikuti standar bersama "borda” NJO dari
Jerman mengenai pembuatan bakteri dan teknik efisien lainnya.
Namun, terdapat kendala teknologi yang belum memenuhi
kebutuhan agar pengolahan sampah menjadi lebih efisien. Kolaborasi yang lebih
baik antara pemerintah, akademisi, dan pelaku juga diperlukan. TPSP menghadapi
kendala terkait jumlah personel yang terbatas (hanya enam orang) dan kurangnya
kesadaran serta pemahaman masyarakat dalam memilah sampah sesuai fungsinya. Pak
Joko menambahkan bahwa karena kondisi darurat dan keterbatasan sumber daya
manusia, proyek bisnis TPSP harus terhenti. Saat ini, TPSP Randu Alas sedang
merancang alat pembakaran sampah ramah lingkungan dengan kapasitas 3 kubik per
hari, didukung oleh beberapa pihak swasta seperti Astra dan bantuan mesin
pemilah sampah dari Bapak Bahrul Hamid Sidoharjo.
0 komentar:
Posting Komentar