Belajar
Pengelolaan 3R Sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Randu Alas
Esai 5 : Belajar di TPST
Psikologi Lingkungan
Puji Astutik – 21310410164
Dosen Pengampu : Dr., Dra. Arundati
Shinta MA
Permasalahan jumlah sampah yang tidak terkendali di
Yogyakarta umumnya karena masyarakat sekedar membuang tanpa mengelola sampah.
Selain itu jumlah TPST juga dirasa masih kurang. Penutupan sementara TPA
Piyungan lalu, menimbulkan banyak bukit sampah di beberapa sudut Jogja. Permasalahan
ini akan terus berlanjut selama persepsi masyarakat masih sama terkait
pengelolaan sampah. Sosialisasi harus gencar dilakukan karena berkurangnya
jumlah sampah sangat dipengaruhi oleh kesadaran pengelolaan sampah masyarakat utamanya
dari sampah rumah tangga.
TPST Randu Alas adalah tempat pengelolaan sampah berbasis 3R
(Reduce, Reuse, Recycle) yang ada di Yogyakarta. Sejarah pendirian TPST
yang beralamat di Candi karang, Sleman ini bermula dari adanya tanah kas desa
yang tidak dimanfaatkan dengan baik, sehingga digunakan warga sekitar untuk
membuang sampah secara liar. Dampak dari perilaku warga tersebut adalah
lingkungan desa yang menjadi tercemar. Hal tersebut yang mendasari para
pengurus desa mengajukan proposal pembuatan TPST ke Dinas Lingkungan Hidup.
Pengajuan proposal akhirnya disetujui. TPST Randu Alas ini berdiri pada tahun
2015 dan mulai beroperasi pada 16 Februari 2016.
Di TPST Randu Alas sampah organik yang berasal dari alam dikelola
menjadi berbagai produk sampah seperti kompos dan turunannya. Sementara sampah
anorganik yang berasal dari produk pabrik (kertas, plastik, seng), TPST
menyetorkannya kepada pengepul sampah.
Proses pembuatan kompos di TPST Randu Alas ini menggunakan
beberapa cara yaitu (1) Metode Bata berongga, (2) Teknik Windro (bambu
segitiga), dan (3) Takakura (tas bahan rami bisa juga dari bambu). Ketiga
metode tersebut digunakan karena aman dan mampu melepaskan gas metan sehingga
mampu mencegah bahaya timbunan gas metan yang berpotensi meledak.
Mikro Organisme Lokal (MOL) yang digunakan untuk kompos merupakan buatan TPST sendiri di bawah bimbingan Perusahaan NGO Jerman,
BORDA. Cara pembuatan kompos, daun dicacah lalu
diberi MOL dengan perbandingan 1:10. Lakukan pengecekan suhu setiap hari selama
30 hari. Kompos yang sudah panen ditawarkan kepada petani dengan harga Rp
1.000,- per kg untuk menyuburkan tanaman holtikultura. Jika petani tidak
membeli maka hasil panen kompos ini disetor ke Dinas Lingkungan hidup dengan
harga Rp 1.250,- per kg.
Untuk pembuatan pupuk organik cair menggunakan tetes tebu :
buah : air dengan perbandingan 1:3:10, dengan minimal 5 jenis sampah buah segar
untuk hasil yang bagus. Di TPST ini juga dibudidayakan magot dan menghasilkan produk magot kering yang
digunakan untuk pakan burung kicau/ikan hias yang proteinnya tinggi sehingga
membuat ikan hias lebih mengkilap. Seorang mahasiswi UGM bernama Rania
bekerjasama dengan TPST Randu Alas berhasil membuat air lindi yang terbuat dari
sampah untuk menetralisir bau seperti septic tank atau got.
Bapak Sujono selaku perwakilan dari TPST menjelaskan beberapa
kendala yang dihadapi diantaranya sampah dari warga yang belum dipilah dan
kendala pada Sumber Daya Manusia. Kendala lain yang dihadapi adalah
mesin/teknologi belum ada yang sesuai dengan kebutuhan yang ada di TPS.
Keberadaan TPST Randu Alas sangat membantu pengurangan sampah
di Yogyakarta. Dari sini saya belajar bahwa sampah memang seharusnya dikelola
bukan dibuang. Semua sampah bisa bermanfaat jika dikelola dengan benar. Dalam
ranah lebih luas perlu kolaborasi antar pihak yang terkait yaitu pemerintah,
akademisi, dan praktisi. Jika 3 pilar ini sudah berkolaborasi maka pengelolaan
sampah di Yogyakarta akan lebih optimal.
0 komentar:
Posting Komentar