Peran Persepsi pada Coping Behavior yang Tercipta di Tengah
Masyarakat: Pendekatan Kasus Menyampah di Yogyakarta
Essay Demi Memenuhi Ujian Tengah Semester
Psikologi Lingkungan
Septi Iing Hijjriyah
22310410132
Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta, MA.
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Yogyakarta sedang tidak baik-baik saja, atau Yogyakarta tengah krisis sampah, mungkin bagian dari
deretan statement yang pas jika ditujukan kepada salah satu kota dan atau
provinsi di Indonesia yang digadang-gadang istimewa ini. Bagaimana
tidak, lontaran kalimat yang berbunyi, Yogyakarta sudah tidak istimewa lagi baru-baru
ini saya dengar dari beberapa orang yang tinggal di sekitaran komplek kos saya
di Yogyakarta. Bukan tanpa alasan kalimat tadi terlontar begitu saja, melainkan
karena satu perkara yang sudah bukan lagi sebuah rahasia, yakni perkara sampah.
Permasalahan lingkungan hidup merupakan masalah yang akan terus
berkembang dan berproses. Salah satu masalah lingkungan yang sangat dekat
dengan kehidupan sehari-hari adalah masalah sampah. Berbagai hasil dari
aktivitas manusia dan makin bertambahnya jumlah penduduk mengakibatkan bahan
buangan makin hari makin bertambah banyak (Chandra dalam Malee, dkk, 2016:226).
Sampah seringkali menjadi persoalan rumit dalam masyarakat, sampah juga dapat
menjadi peluang terjadinya pencemaran lingkungan disertai penurunan kualitas
lingkungan. Hal tersebut terbilang sudah mulai melanda wilayah Yogyakarta dan
sekitarnya, terutama di beberapa bulan terakhir, di mana titik TPS di area Kota
Yogyakarta mulai dipenuhi sampah yang sudah tidak wajar alias melampaui kapasitas
yang seharusnya. Hal ini dapat terjadi karena ditutupnya TPA Piyungan untuk
sementara waktu dan digadang akan ditutup secara permanen pada tahun 2024
mendatang. Jika ingin menilik sebentar pada data, adanya penimbunan sampah yang
tak terkendali juga terjadi di beberapa titik kota di Indonesia. Menurut
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLI-IK) diperoleh suatu data yang
menunjukkan bahwa jumlah timbunan sampah di Indonesia pada tahun 2015 telah
mencapai 175.000 ton/hari atau setara 64 juta ton/tahun dengan pengelolaan
sebagai berikut, diangkut dan ditimbun di TPA sebanyak 69%, dikubur 10%,
dikompos dan didaur ulang 7%, dibakar 5%, dan sisanya tidak terkelola 7% (Suyanto
dalam Nugraha, dkk, 2018:17). Artinya, volume sampah di Indonesia dikhawatirkan
akan semakin meningkat di setiap tahunnya. Apabila permasalahan ini didiamkan, di
khawatirkan akan berdampak buruk terjadinya pencemaran lingkungan.
Kurangnya edukasi, pengalaman, dan pemahaman tentang bagaimana cara
mengolah sampah dengan baik dan bijak juga terbilang amat minus di
tengah-tengah masyarakat kita. Sehingga, tidak heran jika dalam kasus
penumpukan sampah di Yogyakarta seperti sekarang, beberapa warga mulai
mengambil opsi untuk membakar sampah rumah tangganya dengan alibi tidak ada
lagi tempat pembuangan yang layak dan seharusnya. Alih-alih membuahkan hal bijak,
dari situ justru mulai berpeluang timbul masalah baru, yaitu terciptanya beberapa
gangguan pernapasan seperti infeksi saluran pernapasan (ISPA) di tengah
masyarakat karena ulah kepulan asap hasil pembakaran sampah tadi. Nah, adanya kebiasaan-kebiasaan
baru seperti ini lah yang akan muncul di tengah masyarakat karena antara
persepsi dengan sikap coping behavior terhadap sampah tidak selamanya
seragam, namun beragam. Analogi tentang persepsi kurang lebih seperti ini, kelompok
A menilai sampah punya nilai harga (value), sedang kelompok B dan
lainnya menganggap bahwa sampah itu hanya lah barang kotor dan tak punya nilai
sama sekali. Nah, di sini lah kita akan beralih untuk berbicara soal persepsi.
Jika berbicara tentang persepsi, bisa jadi yang tercetus di benak
kita ialah melihat, lalu menyimpulkan, atau lebih komplitnya ialah proses
pemahaman atau pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus. Nah, di
dewasa ini kita tengah memperbincangkan terkait bagaimana sih persepsi
terhadap lingkungan hidup itu. Sebelum jauh membahas segala problematika dan
penyelesaiannya, utamanya kita harus paham terlebih dahulu, apa itu persepsi
lingkungan hidup. Persepsi terhadap lingkungan hidup adalah cara-cara individu
memahami dan menerima stimulus lingkungan yang dihadapinya. Proses pemahaman
tersebut menjadi lebih mudah karena individu mengaitkan objek yang diamatinya
dengan pengalaman tertentu, dengan fungsi objek, dan dengan menciptakan
makna-makna yang terkandung dalam objek itu. Penciptaan makna-makna itu
terkadang meluas, sesuai dengan kebutuhan individu (Fisher, Bell, & Baum,
1984). Skema persepsi yang dikemukakan oleh Paul A. Bell dan kawan-kawan (dalam
Sarwono, 1995) kurang lebih seperti gambar di bawah ini.
Sedangkan, jika kita beralih dan mulai mempertanyakan di mana letak
korelasi antara persepsi dengan perilaku orang-orang terhadap sampah? Tentu hal
ini dapat terjawab dengan Teori Behaviorisme yang dipopulerkan oleh Watson,
bahwa respon atau perilaku individu
dalam situasi tertentu sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh stimulus atau apa
yang diterimanya dari lingkungan. Dalam kasus menyampah (membuang sampah dan
enggan mengolah/mendaur) dan penanggulangannya ini, sikap tersebut
terbentuk dari hasil pembiasaan yang dibentuk oleh lingkungan. Pembiasaan yang
terbentuk hanya sekadar sampai pada tahap membuang/menyampah, tanpa harus
tahu dan peduli bagaimana cara mengolahnya agara lingkungan tetap baik-baik
saja.
Banyak coping behavior (tingkah laku atau tindakan penanggulangan; sembarang perbuatan, dalam mana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan sesuatu (tugas, masalah) (Chaplin, 2004:112)) yang sebenarnya bisa diterapkan di tengah masyarakat terkait hal ini, salah satunya terdapat hal sederhana yang bahkan mungkin sudah sangat familiar di benak kita tentang bagaimana cara membangun kebiasaan menggunakan metode 3R Behavior;
-Reuse (menggunakan kembali), yaitu penggunaan kembali sampah secara langsung, baik untuk fungsi yang sama maupun fungsi lain.
-Reduce (mengurangi), yaitu mengurangi segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya sampah.
-Recycle (mendaur ulang), yaitu memanfaatkan kembali sampah setelah mengalami proses pengolahan.
Jadi kesimpulannya, dari kacamata Psikologi, menurut saya manusia
pada dasarnya adalah makhluk menyampah. Karena mereka terbiasa membuang
dan enggan menanggulangi. Karena yang familiar di memorinya selama ini hanya
tahap membuang, sedang yang lain terasa asing baginya. Karenanya, dari proses
itu lah mereka akan melakukan adaptasi dan adjustment. Jika tidak
mengambil sikap tersebut, maka stress pun akan berpeluang berlanjut
seperti yang dikemukakan dalam skema di atas.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri, sampah adalah sesuatu yang
melekat, tidak dapat dilepaskan dari hidup manusia. Di mana ada manusia, di
situ pasti ada sampah. Sampah merupakan konsekuensi hidup, karena setiap aktivitas
manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Dengan kata lain, sampah
sebenarnya bukan musuh manusia. Karena kalau manusia memusuhi sampah, ia sebenarnya
memusuhi dirinya sendiri. Sampah kebanyakan lahir dari ketidakmampuan manusia
mengatakan cukup terhadap kebutuhannya. Dengan kata lain, sampah banyak
yang tercipta dari gaya hidup (life style) manusia yang melampaui
kebutuhannya. Semakin maju peradaban hidup manusia, semakin banyak bermunculan
kebutuhan yang dirasakan (keinginan) sehingga semakin banyak sampah yang
dihasilkannya. Kendati demikian, bukan berarti sampah hanya dipertanggung jawabkan
pada masyarakat semata, mereka pun butuh bantuan dari fasilitator untuk memfasilitasi
masyarakat demi mencapai tujuan pengelolaan sampah
secara baik dan
berkesinambungan.
Daftar Pustaka
Jurnal Perilaku Mengatasi Masalah (Coping Behavior); http://eprints.umg.ac.id/1828/3/BAB%20II.pdf
Vena, Desta. (2019). Persepsi Masyarakat Terhadap Sampah di Desa
Sementul Kecamatan Rantau Bayur Kabupaten Banyuasin. Palembang: Program
Studi Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Palembang.
Jurnal Persepsi: http://eprints.radenfatah.ac.id/4135/3/BAB%20II.pdf
Tondok. Marselius Sampe. (2008). 'Menyampah' dari Perspektif
Psikologi (2). Surabaya: Harian Surabaya & Fakultas Psikologi
Universitas Surabaya.
Subekti, Sri. (2010). Pengelolaan Sampah Rumah Tangga 3R Berbasis Masyarakat. Semarang: Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Unpand.
0 komentar:
Posting Komentar