Tradisi
Nyumbang di Wilayah Pedesaan
“Ujian
Akhir Psikologi Sosial”
Dosen
Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta, MA.
Nama |
: Indriyani |
NIM |
: 22310410035 |
Prodi |
: Psikologi SJ |
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
PROKLAMASI 45
YOGYAKARTA
Di suatu desa yang letaknya di
Yogyakarta, terdapat adat dan kebiasaan yang sangat unik, yaitu adat
“nyumbang”. Jumlah penduduk desa tersebut adalah sekitar 120 keluarga. Ketika
Anda mempunyai anak maka sebagai tanda syukur adalah Anda harus menyumbang 120
kotak makanan untuk tetangga Anda. Ketika salah satu anggota keluarga Anda
meninggal dan harus membuat upacara penghormatan bagi kerabat yang meninggal,
maka Anda juga harus menyumbang 120 kotak makanan untuk tetangga Anda. Ketika
salah satu anak Anda dikhitan (disunat) dan mengadakan syukuran, maka Anda
harus mengirimkan 120 kotak makanan bagi tetangga. Kebiasaan-kebiasaan itu
dilakukan oleh seluruh penduduk desa tersebut. Artinya, Anda sebagai salah satu
penduduk di desa itu, maka Anda selain harus menyumbang, Anda juga akan sering
menerima kotak makanan dari tetangga Anda.
Berdasarkan situasi tersebut, jawablah
pertanyaan berikut:
1.
Apa permasalahan dari kasus tersebut di atas?
Permasalahan
dari kasus di atas dapat berupa Persaingan sosial, dalam budaya seperti ini, seringkali
ada tekanan sosial dan perasaan saling membandingkan diri di antara penduduk
desa. Semakin besar dan mewah sumbangan yang diberikan, semakin tinggi juga
status sosial di mata tetangga. Hal ini dapat menciptakan persaingan yang tidak
sehat dan merusak hubungan antarwarga. Lalu Beban finansial, kebiasaan untuk
menyumbang 120 kotak makanan setiap kali ada peristiwa seperti kelahiran,
kematian, atau acara penting lainnya, dapat menjadi beban finansial yang berat
bagi sebagian penduduk desa. Besarnya biaya yang dikeluarkan dapat memberatkan
dan menjadi tekanan bagi masyarakat yang sedang mengalami kesulitas ekonomi.
2.
Bila Anda tinggal di daerah itu dan mengalami permasalahan pada nomor 1
tersebut, apa yang akan Anda lakukan?
Bila saya tinggal di desa dengan adat dan kebiasaan seperti
di atas lalu saya mengalami permasalahan, saya akan mencoba untuk berkomunikasi
dengan tetangga-tetangga dan para petinggi desa, saya akan coba menjelaskan kekhawatiran
dan kesulitan finansial yang saya hadapi. Mungkin ada penyesuaian yang dapat
dilakukan untuk membantu mengurangi beban finansial tanpa mengorbankan makna
tradisi tersebut. Misalnya, menyumbangkan makanan dalam bentuk lain seperti
beras, sayuran, atau bantuan finansial untuk membantu keluarga lain dalam
menyelenggarakan acara penting, seperti yang telah disebutkan di atas,
contohnya acara pernikahan/hajatan lainnya kita bisa menyumbangkan tenaga atau
beras sesuai kemampuan kita. Lalu untuk menangani adanya persaingan sosial ada
baiknya hal tersebut didiskusikan dengan tetangga yang lain dan petinggi desa,
lalu menyamaratakan dana yang akan dikeluarkan untuk sumbangan tersebut
sehingga tidak ada warga yang merasa jika sumbangannya kurang mewah dan kalah
saing dari warga lainnya.
3.
Apakah situasi tersebut menunjukkan perilaku bergotong royong atau adanya
ketakutan akan dampak dari perilaku tidak conform pada tetangga?
Situasi tersebut menunjukkan adanya perilaku bergotong
royong, karena seluruh penduduk desa turut serta dalam tradisi menyumbang
makanan untuk tetangga mereka dalam berbagai peristiwa penting. Namun, ada juga
kemungkinan adanya ketakutan akan dampak dari perilaku tidak conform pada
tetangga, terutama jika seseorang tidak mau atau kesulitan memenuhi kewajiban
tersebut. Ketidakpatuhan terhadap tradisi ini bisa menimbulkan pandangan
negatif dari tetangga atau bahkan memicu konflik sosial.
4.
Sesuai dengan teori Albert Bandura, apakah Anda akan mengajarkan pada anak
Anda tentang konformitas terhadap perilaku menyumbang tersebut? Alasan Anda?
Menurut teori Albert Bandura tentang Social Learning Theory
atau Teori Pembelajaran Sosial, individu belajar dari pengamatan, peniruan, dan
pengalaman sosial. Oleh karena itu, jika suatu saat saya memiliki anak
dan tinggal di desa dengan tradisi menyumbang seperti yang dijelaskan di atas, saya
akan mengajarkan pada anak saya bahwa perilaku menyumbang merupakan perilaku
yang baik, saya juga akan mengajarkan untuk menyumbang dengan sukarela, tetapi
tentu saja tidak berlebihan sesuai dengan porsinya dan tidak memberatkan diri
sendiri. Saya akan menjadi contoh bagi anak saya nantinya dengan melakukan
perilaku menyumbang dengan sukarela, karena hal tersebut dapat memperkuat
hubungan dengan tetangga dan masyarakat sekitar.
5.
Secara makro, apakah perilaku menyumbang ini sesuai dengan kebiasaan
seseorang yang ingin menang di Pilkada (pemilihan kepala daerah)?
Menurut saya tidak sesuai, Machiavelli menekankan pentingnya
kekuasaan dan keterampilan politik untuk mencapai tujuan, bahkan jika itu
berarti menggunakan taktik manipulatif atau licik serta tindakan yang tidak
perlu mempertimbangkan nilai moral.
Dalam hal Pilkada, seorang calon pemimpin dapat menerapkan taktik
Machiavellian, dimana ia akan mengumpulkan dukungan dari kelompok yang cukup
strategis dan hanya berfokus pada kepentingan diri sendiri (menang pilkada) dan
kelompok pendukungnya. Sedangkan perilaku menyumbang pada kasus desa di atas
lebih mencerminkan nilai sosial dan gotong royong.
Daftar Pustaka
Lestari, Soetji, dkk. 2012. Potret Resiprositas dalam Tradisi
Nyumbang di Perdesaan Jawa di Tengah Monetisasi Desa. Jurnal Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik Vol 25, No 4
Setiawan, Eko. 2022. Potret Resiprositas Tradisi Nyumbang
Pada Perempuan Perdesaan Di Desa Kaliparat Banyuwangi. Jurnal Equalita,
Vol 4 Issue 1, Juni 2022
Suryana, Aditya dan Grendi Hendrastomo. Pemaknaan Tradisi
Nyumbang Dalam Pernikahan Di Masyarakat Desa Kalikebo, Trucuk, Klaten. Jurnal
Pendidikan Sosiologi
Wahyuni, N., & Fitriani, W. (2022). Relevansi Teori
Belajar Sosial Albert Bandura dan Metode Pendidikan Keluarga dalam Islam. Qalam:
Jurnal Ilmu Kependidikan, 11(2), 60-66.
Machiavelli,
A. R. S. N. Tokoh Ideologi: Niccolo Machiavelli (Sang Realis).
0 komentar:
Posting Komentar