Tradisi Nyumbang Menjadi Beban Finansial Bagi
Sebagian Masyarakat
“Ujian Akhir Psikologi Sosial”
Dosen
Pengampu :
Dr., Dra. Arundati Shinta, MA
Disusun oleh :
Austaniva
22310410060
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
1. Saat
ini budaya nyumbang tidak lagi berangkat dari spirit gotong royong, keikhlasan
dan tanpa pamrih melainkan balas jasa yang sifatnya menjadi suatu keharusan.
Lebih parahnya lagi, saat ini budaya nyumbang menjadi suatu projek nitip harta.
Mengapa demikian? Hal itu tak lain karena sesuatu yang kita sumbangkan ke orang
lain akan dicatat dan penerima sumbangan memiliki kewajiban untuk mengembalikan
dengan nilai/nominal yang sama. Hal itu tentu akan membebani masyarakat yang
kebetulan memiliki ekonomi menengah ke bawah, mereka dituntut mengikuti tradisi
yang sebenarnya memberatkan bagi ekomoni mereka. Bahkan mereka tidak ragu untuk
berhutang demi mengikuti tradisi nyumbang. Lalu apa yang terjadi jika mereka
tidak mengikuti tradisi? Umumnya, mereka akan dikucilkan oleh masyarakat
sekitar.
2. Yang
akan saya lakukan pertama kali adalah memahami kebiasaan masyarakat tempat
tinggal saya yang baru dan melakukan perhitungan budget, jika budget saya cukup
maka saya akan melakukan syukuran atas kepindahan saya tanpa menerima sumbangan
dari masyarakat karena saya tidak mau berhutang budi. Namun jika budget saya
tidak cukup, maka saya hanya akan mengenalkan diri ke tetangga sekitar tanpa
membuat syukuran.
3. Tradisi
nyumbang berkembang dari masyarakat lampau yang masih sangat kental dan tinggi
solidaritasnya. Entittas-entitas berupa paguyuban dan kelompok masih banyak
sehingga tradisi nyumbang tumbuh begitu subur. Nilai-nilai yang tersemat dalam
tradisi ini adalah nilai gotong-royong dan guyup rukun. Namun, ternyata tradisi
nyumbang ini masih bertahan dan berkembang di masrarakat modern yang sudah
kental dengan budaya individualis. Sifat masyarakat modern yang organis
ternyata tak serta merta menghilangkan tradisi nyumbang. Hanya saja, banyak
nilai-nilai yang kemudian bergeser dan bukan atas dasar gotong-royong lagi, melainkan
ketakutan jika dikucilkan oleh masyarakat.
4. Iya,
saya akan mengajarkan anak saya tentang konformitas terhadap tradisi nyumbang.
Tradisi nyumbang yang berkembang saat ini tidak melulu hanya karena gengsi atau
sebatas takut dikucilkan, saya akan mengajarkan anak saya bahwa tradisi
nyumbang adalah bentuk solidaritas, gotong royong yang mengarah pada kebaikan.
Saya juga akan menjelaskan bahwa tradisi hajatan merupakan bentuk rasa syukur,
penghormatan kepada masyarakat dan merupakan salah satu cara bersosialisasi
dengan masyarakat.
5.
Perilaku
nyumbang dapat dihubungkan dengan teori Niccolò Machiavelli. Menurut Machiavelli, kekuasaan
haruslah diperoleh, digunakan dan dipertahankan
semata-mata demi kekuasaan itu sendiri dimana segala kebijakan, agama, moralitas
justru harus dijadikan alat untuk memperoleh dan memperbesar kekuasaan. Dalam
konteks Pilkada, calon kepala daerah bisa mengadopsi pandangan Machiavelli
dengan cara
menyumbang atau memberikan bantuan kepada kelompok atau
individu yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat
demi mendapat dukungan.
Daftar Pustaka
Setiawan, E. (2022). Potret Resiprositas Tradisi Nyumbang
Pada Perempuan Perdesaan Di Desa Kalipait Banyuwangi. Jurnal Equalita,
Volume (4), Issue (1) ), Juni
2022.
Surya, A. & Hendrastomo, G. Pemaknaan Tradisi
Nyumbang Dalam Pernikahan Di Masyarakat Desa Kalikebo, trucuk, Klaten. Jurnal
Pendidikan Sosiologi.
Atthahara, H. (2020). Prespektif
Ideologi Dan
Kekuasaan Dalam Pemikiran Machiavelli : Studi Kasus Pemilihan Umum Presiden
2019. Jurnal JISIPOL, Vol. 4, No. 1, April 2020 (85-100) (P-ISSN
2087-4742)
0 komentar:
Posting Komentar