DILEMA TRADISI “NYUMBANG” DITENGAH KESULITAN
EKONOMI
UJIAN AKHIR PSIKOLOGI SOSIAL
Dosen Pengampu : Dr., Dra. Arundati
Shinta, MA
Oleh : Afini Musyarofah.J
NIM : 22310410113
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
1.
Permasalahan pada tradisi menyumbang pada kasus
tersebut ialah ketika bentuk sumbangan telah ditentukan jenisnya seperti harus
memberikan 120 kotak makanan. Dengan ditentukannya jenis sumbangan maka, hal
tersebut dapat menjadi “beban” ekonomi baru bagi masyarakat yang tidak mampu
karena mereka tidak dapat memberikan sumbangan berupa tenaga, bahan
pangan/hasil bumi dan sebagainya.
Seperti yang umumum
diketahui bahwa menyumbang idealnya memiliki tujuan resiprositas (timbal-balik)
diantara masyarakat yaitu agar dapat meringankan beban bagi pemangku hajat dengan
cara memberikan bantuan sukarela berupa sumbangan tenaga, uang, maupun bahan
pangan dan lainnya dan manfaat bagi penyumbang adalah agar kedepannya ketika
tiba waktunya dia yang memiliki hajat, maka bisa terbantu juga dengan adanya
tradisi ni.
2.
Jika saya berada pada situasi diatas maka, yang
bisa saya lakukan adalah dapat dengan berdiskusi dan mengkonsultasikan terkait permasalahan
tersebut kepada bapak RW/RT setempat bahwa kondisi kita benar-benar sedang
tidak mampu. Dengan harapan dapat dibantu mencari solusinya bersama.
Selain itu, dapat
juga meminta bantuan pak RW/RT untuk menginformasikan kepada masyarakat desa
bahwa misalnya saat acara sunatan saya hanya mampu syukuran dirumah dengan
mengundang masing-masing kepala keluarga saja dengan memberikan hidangan sesuai
dengan kemampuan yang saya miliki pada saat itu. Sehingga nantinya tidak perlu lagi
mengirimkan kotak makanan kepada tetangga.
3. Menurut saya, tradisi “nyumbang” diatas merupakan bentuk ketakutan
akan dampak perilaku tidak comform pada tetangga. Karena jika mereka tidak
mengikuti tradisi tersebut maka nantinya mereka akan mendapat sanksi
sosial seperti cibiran, gunjingan bahkan dapat dikucilkan oleh masyarakat dan
dianggap tidak solidaritas kepada sesama tetangga.
Selain itu, dengan
berperilaku comform meskipun harus sampai memaksakan diri berhutang agar bisa
mengikuti tradisi tersebut ada anggapan bahwa perilaku “nyumbang” dapat mejamin
kehidupan sosial mereka dalam bermasyarakat kedepannya.
4. Jika anak saya, maka saya akan berusaha sebisa mungkin untuk
mengajarkan agar tidak berperilaku komformitas terhadap tradisi menyumbang
tersebut. Dan akan saya ajarkan bagaimana cara bergotong royong dan tolong
menolong antar tetangga sesuai dengan kemampuan yang dimiliki tanpa memberatkan
diri sendiri. Salah satu caranya adalah dengan memberikan contoh langsung perilaku
menyumbang yang tidak memberatkan yaitu dengan mengajaknya “rewang”. Karena
dengan berpartisipasi merewang tersebut berarti kita juga telah menyumbangkan
tenaga kita. Cara ini sesuai dengan teori Albert Bandura yang menyatakan bahwa
proses perubahan perilaku itu dapat terjadi dengan cara melihat perilaku orang
lain (observational learning) yaitu dengan mengamati perilaku orang tuanya
sehingga anak akan mengikuti perilaku itu.
5.
Secara makro perilaku menyumbang
ini sesuai dengan kebiasaan seseorang yang ingin menang di Pilkada (pemilihan
kepala derah). Karena keduanya sama-sama melakukan tindakan apa saja untuk
dapat mencapai keuntungan pribadi. Pada perilaku calon kepala daerah, ia ingin
menang dengan cara memberikan amplop berisi uang atau sembako dengan harapan
agar masyarakat mau memilihnya, sedangkan pada perilaku menyumbang ia
mengantungkan diri pada hasil sumbangan
dan berharap akan mendapat keuntungan yang lebih besar saat nanti gilirannya
memiliki hajat.
Perilaku ini juga sesuai dengan
pendapat Niccolo Machiavelli yang menyatakan bahwa tidak ada standar moral bagi
suatu perilaku, yang penting adalah keuntungan untuk diri sendiri. Sehingga ia
bisa melakukan segala cara yang dianggapnya sah untuk bisa mencapai keuntungan
pribadinya.
Daftar Pustaka
-
https://journal.student.uny.ac.id/ojs/index.php/societas/article/view/9144
0 komentar:
Posting Komentar