Tradisi Nyumbang Tuntutan Gengsi Dalam Keterbatasan
Uang
Ujian Akhir Psikologi Sosial dengan Dosen Pengampu Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA
Alfiyan Hidayat
22310410030
Psikologi SP
Prodi Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
2023
Pendahuluan
Pada bulan – bulan besar setelah
Idul Adha dalam penanggalan Islam memasuki bulan Dzulhijah sering kita
mendapatkan “Punjungan” atau “Berkat” dari teman , tetangga dan saudara karena
sedang mengadakan hajatan. Bentuknya macam – macam dari nasi box ukuran besar ,
nasi berkat menggunakan besek atau bahkan ingkung ayam. Namun kita perlu
ketahui bahwa adat istiadat yang terjadi dalam masyarakat terutama lingkungan
masyarakat Suku Jawa siapa yang mendapatkan “ Punjungan “ ada aturan secara tidak
tertulis saya wajib menyumbang atau dapat diartikan memberikan ganti sumbangan
yang umumnya dalam bentuk uang akan tetapi juga ada yang berbentuk dalam barang
sembako seperti beras ,gula,teh, atau benda bernilai berharga lainya.
Dalam perjalanannya terdapat suatu
kasus yang menarik perihal sumbang – menyumbang ini kasus tersebut terjadi di
Provinsi D.I. Yogyakarta yang notabene dikenal sebagai daerah yang kental akan
budaya dan adat istiadatnya untuk itu kita akan membahasnya dalam perspektif psikologi sosial.
Kita mulai dari pengalaman saya tinggal
di suatu desa di Yogya, yang mana adat dan kebiasaan penduduknya sangat unik.
Jumlah penduduk desa saya adalah sekitar 120 keluarga. Ketika dalam keluarga
saya mempunyai anak maka sebagai tanda syukur adalah saya harus menyumbang 120
kotak makanan untuk para tetangga. Ketika salah satu anggota keluarga saya
meninggal dan harus membuat upacara penghormatan bagi kerabat yang meninggal,
maka saya juga harus menyumbang 120 kotak makanan untuk para tetangga. Ketika
salah satu anak dikeluarga saya dikhitan (disunat) dan mengadakan syukuran,
maka saya harus mengirimkan 120 kotak makanan bagi tetangga. Kebiasaan-kebiasaan
itu dilakukan oleh seluruh penduduk desa disini. Artinya, saya sebagai salah
satu penduduk di desa itu, maka saya selain harus menyumbang, saya juga akan
sering menerima kotak makanan dari para tetangga.
Permasalahan
Dari hal tersebut kita ketahui
bersama bahwa tradisi adat istiadat menyumbang terjadi menjadi perilaku yang
dilakukan oleh setiap masyarakat warga desa namun patut kita lihat ada kondisi
yang tidak ideal dalam perilaku tersebut apa? Dapat kita telaah menggunakan teori konformitas atau
dapat diartikan bahwa suatu jenis pengaruh sosial di mana individu
mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.Bila
individu tidak sesuai dengan standar norma kebiasaanya dalam masyarakat maka
akan terjadi kondisi tidak ideal misalnya setiap orang atau individu belum
tentu kemampuanya sama dari segi ekonomi dalam hal membuat “bancakan” atau
hajatan yang bertujuan membagikan sumbangan makanan kepada warga dan tetangga
sekitarnya namun sering kali dipaksakan sampai harus berhutang saya kutip
berita dari detik.com “ Sedih ayah lakukan gantung diri akibat terlilit hutang
untuk membiayai acara pernikahan anaknya”
sungguh ironi dimana konformitas perihal sumbang menyumbang dan tingkat gengsi
dalam membuat hajatan memicu kejadian yang amat tragis .
Kebiasaan tradisi adat istiadat
sumbang menyumbang ini juga tidak hanya terkadang memberatkan pihak yang
memiliki hajatan namun bagi tetangga atau saudara yang mendapatkan “Punjungan
Besek atau Berkat” hukum tidak tertulis wajib ikut berganti membalas sumbangan
padahal sudah barang tentu kondisi ekonomi dan finansial mereka tidak pasti,
bisa dalam kondisi kekurangan atau kecukupan sehingga memberatkan dari segi
martabat dan tanggungan ekonomi. Apalagi banyak masyarkat merasa martabat dan
harga dirinya hilang bila tidak melakukan konformitas di lingkungan sosialnya dipandang
dari segi standar nominal menyumbang dan kontribusinya dalam membantu hajatan
tetangga ataupun saudaranya.
Namun tidak terlepas dari kasus
yang terjadi disalah satu desa di DIY tersebut kita mencoba membandingkan kasus
yang terjadi di daerah lain contohnya di daerah Banyumas Jawa Tengah dalam hal
sumbang menyumbang daerah ini justru terbiasa dalam menerima dan memberi
sumbangan dalam bentuk bahan pangan belum ter monetisasi , justru sumbangan
bahan pokok diolah lalu kembali disumbangkan ke seluruh warga desa ,kegiatan
ini terjadi dalam rangka mempererat hubungan solidaritas antara perempuan dalam
lingkungan masyarakat pedesaan.
Dilihat dari sisi lain sumbang
menyumbang juga erat kaitanya dengan tujuan “tanam modal” mengharap timbal
balik dibantu suatu saat nanti bila keluarga atau tetangga sedang
menyelanggarakan hajatan. Namun kembali lagi dari segi kemampuan individu
antara individu lainya tentunya berbeda dari segi finansial dalam menyokong
bantuan tersebut dan sering kali perihal standar nominal dan standar kontribusi
dalam sumbangan menjadi masalah pelik dalam lingkungan masyarakat.
Kembali kepada pokok permasalahan
tadi bila hal standar dalam perilaku konformitas sumbang menyumbang dan membuat
hajatan yang berstandarkan masyarakat dalam suatu lingkungan desa di DIY
menyulitkan diri dan tidak sesuai dengan kepribadian yang dapat saya lakukan
adalah membuat mitigasi terhadap masalah tersebut.Karena jika kita harus
berpindah tempat tentunya memerlukan biaya ,waktu serta tenaga yang lebih besar
maka dari itu saya memilih untuk menyelesaikan masalah perilaku yang tidak
ideal dalam sumbang menyumbang dengan cara mitigasi misalnya ketika kita
mendapatkan sumbangan makanan dari tetangga yang sedang hajatan yang dapat saya
lakukan menerimanya dan sudah memiliki cadangan uang darurat yang cukup untuk
membalas sumbangan tersebut namun ada satu hal yang menjadi pembeda ketika saya
sedang mengadakan hajatan maka yang saya lakukan memberikan sumbangan kepada
tetangga dilingkungan saya sesuai kemampuan finansial saya namun dengan
memberikan pernyataan untuk tidak menerima sumbangan balik dari tetangga dengan
maksud adalah tidak memberatkan dan membebani para tetangga bila hal tersebut
dilakukan dan dibiasakan oleh suatu individu dan individu lain serta menjadi
kebiasaan suatu komunitas lingkungan masyarakat tentunya tradisi ini tetap
lestari namun lebih bijaksana serta dapat meminimalisir kondisi tidak ideal dalam
perilaku konformitas dimasyarakat.
Solusi Permasalahan
Bila melihat perilaku sumbang dan
menyumbang sebenarnya merupakan perilaku gotong royong dimana kepekaan sosial
kita diuji dalam hal melihat kondisi perekonomian tetangga dan saudara disekitar
lingkungan kita akan tetapi perlu ada hal yang diubah dalam gotong royong dalam
konteks perilaku sumbang dan menyumbang ini karena bila perilaku ini didasari
dorongan keterpaksaan dan dibuat standar tertentu dari segi monetisasi tentunya
akan menjadi suatu masalah sosial kondisi yang tidak ideal bagi kerja sama
antar individu dalam masyarkat karena masyakarat terdiri dari individu yang
sangat beragam dari segi emosional, finansial dan berbagai hal lain.Perlu
adanya kondisi yang ideal dimana individu masyarakat berperilaku dan
berkontribusi sesuai dengan tingkat kemampuanya dan menjauhkan perilaku gengsi
dan memaksakan standar tinggi yang justru akan berakibat buruk di kemudian
hari.
Untuk itu tradisi dan adat istiadat
perlu dimodifikasi dan dilestarikan sesuai dengan kondisi yang relevan dengan
jaman .Dalam hal ini sebagai orang tua saya nantinya mengajarkan perilaku konformitas menyumbang
dalam arah yang lebih ideal ke anak berdasarkan pandangan Albert Bandura
didasarkan teori belajar sosial menjelaskan bahwa perilaku manusia mempunyai interaksi timbal balik yang berkesinambungan
antara kognitif, perilaku, dan pengaruh lingkungan. Kebanyakan perilaku manusia
dipelajari observasional melalui pemodelan yaitu dari mengamati orang lain.Untuk
itu sebagai orang tua saya akan mengajarkan kepada anak dengan menjadi model
langsung ketika kita menyumbang dan
memberi sesuatu kepada orang lain motivasi utama kita adalah meraih kebaikan
bukan meraih timbal balik balasan langsung dari individu atau objek yang kita
beri sumbangan dengan memberikan doktrin bahwa menyumbang adalah perilaku
dorongan spontan dan tidak wajib serta kerelaan hati dan kepekaan kita terhadap
lingkungan sekitar kita dapat melatih anak menjadi orang yang lebih adil dan
sehat terhadap dirinya sendiri serta lingkungan konformitas sosialnya.
Terakhir apakah perilaku sumbang
menyumbang tradisi di Jawa ini seperti kondisi dimana seorang calon kepala
daerah sedang kampanye dengan pendekatan teori Niccolo Machiavelli
Secara makro, perilaku sumbang dan menyumbang tradisi di Jawa, atau dalam
konteks politik seperti Pilkada, dapat dipahami dalam kerangka teori Niccolò
Machiavelli yang terkenal dengan pandangan politik realisnya. Dalam karyanya
"The Prince," Machiavelli menguraikan strategi untuk memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan politik.
Dalam konteks Pilkada atau
pemilihan kepala daerah, seseorang yang ingin menang dan memperoleh kekuasaan
bisa saja menggunakan strategi-sumbang yang berlandaskan pada pandangan
Machiavelli, seperti berikut:
a.
Pemanfaatan
tradisi lokal: Di Jawa, tradisi dan budaya memiliki peran penting dalam
kehidupan masyarakat. Seorang calon pemimpin yang ingin menarik dukungan dan
simpati warga dapat menggunakan kebiasaan sumbang dan menyumbang sebagai bentuk
penghormatan dan pengakuan terhadap nilai-nilai budaya setempat. Dalam
pandangan Machiavelli, pemanfaatan tradisi ini adalah bagian dari strategi
politik untuk mendapatkan dukungan massa.
b.
Citra kebaikan
dan kedermawanan: Dalam pandangan Machiavelli, seorang penguasa ideal harus
dipercaya oleh rakyat dan harus menciptakan citra kebaikan serta kedermawanan.
Dengan menyumbang dan memberikan bantuan kepada masyarakat secara luas, calon
pemimpin menciptakan kesan bahwa mereka peduli dan memiliki kepentingan
terhadap kesejahteraan rakyat.
c.
Membangun
jaringan kekuatan: Dengan melakukan sumbang dan menyumbang, seorang calon
pemimpin juga dapat membangun jaringan dukungan dari berbagai kalangan
masyarakat, termasuk tokoh-tokoh lokal, para pemuka agama, dan
kelompok-kelompok sosial. Hal ini sejalan dengan prinsip Machiavelli tentang
pentingnya menciptakan aliansi yang kuat untuk mengamankan posisi politik.
d.
Membuat lawan
politik terpinggirkan: Dalam pandangan Machiavelli, seorang calon pemimpin
harus mengambil langkah-langkah untuk melemahkan atau mengeliminasi pesaing
politiknya. Dengan melakukan sumbang dan menyumbang secara ekstensif, calon
pemimpin dapat menciptakan persepsi bahwa mereka adalah kandidat yang paling
pantas menduduki posisi kepemimpinan, sementara lawan-lawan politiknya dianggap
kurang berperan atau kurang berkontribusi dalam kepentingan masyarakat.
Kesimpulan
Kesimpulannya, perilaku sumbang
menyumbang dalam tradisi di Jawa dan dalam konteks politik seperti Pilkada
dapat dihubungkan dengan teori Niccolò Machiavelli yang mengedepankan strategi
politik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Dalam hal ini,
memanfaatkan tradisi lokal, menciptakan citra kebaikan dan kedermawanan,
membangun jaringan dukungan, dan membuat lawan politik terpinggirkan merupakan
bagian dari upaya calon pemimpin untuk mendapatkan dukungan massa dan meraih
kemenangan.Namun, dalam praktiknya, ada beberapa masalah yang muncul terkait
dengan perilaku sumbang menyumbang tersebut. Beberapa individu atau keluarga
mungkin kesulitan memenuhi standar sumbangan yang diharapkan dalam tradisi
tersebut, menyebabkan tekanan finansial dan bahkan hutang. Selain itu, ada juga
kemungkinan timbal balik yang berlebihan dan memberatkan bagi pihak yang
menerima sumbangan.
Dalam menghadapi kondisi yang tidak
ideal, perlu dilakukan mitigasi dan modifikasi dalam tradisi adat istiadat
sumbang menyumbang agar lebih sesuai dengan kemampuan finansial dan kondisi
masyarakat saat ini. Hal ini juga berkaitan dengan penggunaan teori
konformitas, di mana individu harus berusaha menghindari tekanan sosial yang
memaksa mereka untuk menyumbang dalam jumlah yang tidak sesuai dengan kemampuan
mereka.Masyarakat juga harus berupaya untuk lebih menghargai keragaman
kemampuan finansial setiap individu dan menyadari bahwa sumbang menyumbang
harus didasari oleh kesadaran dan kemauan dari hati, bukan sekadar kewajiban
sosial yang dipaksakan. Selain itu, mengajarkan generasi muda tentang konsep
sumbang menyumbang yang sehat, di mana tujuan utamanya adalah untuk berbagi
kebaikan dan kepedulian terhadap sesama, akan membantu membangun perilaku
gotong-royong yang lebih positif dalam masyarakat.
Daftar
Pustaka
Lestari,Soetji. Sumarti, Titik. K. Pandjaitan,Nurmala. Potret
Resiprositas dalam Tradisi Nyumbang di Pedesaan Jawa di Tengah
Monetisasi Desa. Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik. ISSN Lama 0216-2407,
Baru 2086-7050 Vol. 25 / No. 4 / Published : 2012-10 Order : 5, and page :271 –
281.
Setiawan,Eko. POTRET RESIPROSITAS
TRADISI NYUMBANG PADA PEREMPUAN PERDESAAN DI DESA KALIPAIT BANYUWANGI. Equalita,
Vol. 4 Issue 1, Juni 2022. Published
online: 30 Juni 2022
Suryana,Adhitya.Hendrastomo,Grendi. PEMAKNAAN
TRADISI NYUMBANG DALAM PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA KALIKEBO, TRUCUK, KLATEN.
Jurnal Pendidikan Sosiologi/2. eISSN: 2827-9417.Vol 6, No 8 (2017)
3 Hal Utama Teori
Belajar Sosial dari Albert Bandura. INDOPOSITIVE.org.Sumber link: https://www.indopositive.org/2020/09/3-hal-utama-teori-belajar-sosial-dari.html.
Diakses pada: 23.30 WIB,20/7/2023
Sohandji,
Ahmad. 2012. Manusia, Teknologi, Dan Pendidikan Menuju Peradaban Baru.
Malang: Universitas Negeri Malang. (hal. 23-24).
0 komentar:
Posting Komentar