Kang Dedi Mulyadi dan Perubahan Perilaku Masyarakat dalam Mengelola Sampah
Mata Kuliah Psikologi Lingkungan
Dosen Pengampu:
Dr., Dra. Arundati Shinta, M.A
Prasetiyo - 23310410121
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Dulu, saya yakin banyak dari kita (termasuk saya) berpikir kalau urusan sampah itu bukan tanggung jawab pribadi. Pikiran saya sederhana: "Kan tiap bulan sudah bayar petugas sampah, jadi beres!" Ternyata, pola pikir seperti ini cukup umum di masyarakat kita.
Coba deh perhatikan sekeliling. Di mana-mana, di jalan, di sungai, atau di selokan, kita sering banget melihat tumpukan sampah. Mirisnya, hal ini sering dianggap biasa, seolah-olah memang seharusnya begitu. Padahal, kalau dipikir-pikir, kondisi seperti ini enggak bisa dibiarkan terus-menerus, kan?
Banyak yang merasa bahwa mengurus sampah itu sepenuhnya tugas pemerintah. Karena sudah bayar iuran bulanan, kita pikir semua masalah sampah sudah diurus. Padahal, kalau kita lihat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (tepatnya di Pasal 50 dan Pasal 21), pemerintah memang punya tugas untuk menyediakan sistem pengelolaan sampah yang baik. Tapi, kita sebagai masyarakat juga tetap harus ikut berperan aktif. Sayangnya, aturan saja sering tidak cukup kalau masyarakatnya tidak sadar. Pemerintah memang menyediakan sistem, tapi setidaknya kita bisa mulai dengan mengelola sampah dari rumah masing-masing.
Selama ini, kita memang kurang terbiasa untuk memilah sampah, atau bahkan sekadar membuang sampah pada tempatnya. Akibatnya, sampah menumpuk dan lingkungan jadi kotor. Yang lebih menyedihkan lagi, kondisi ini sering dianggap wajar. Kita jadi tidak terganggu, tidak stres, bahkan cenderung cuek terhadap sampah di sekitar kita.
Namun, ada satu fenomena yang mulai mengubah cara pandang banyak orang, yaitu kemunculan Kang Dedi Mulyadi (KDM). Beliau adalah tokoh publik dari Jawa Barat yang terkenal sangat peduli pada lingkungan. KDM tidak hanya berbicara tentang pentingnya kebersihan, tapi juga turun langsung ke lapangan. Ia menyusuri sungai-sungai kotor, memungut sampah dengan tangannya sendiri, lalu mengajak warga sekitar untuk ikut peduli.
Aksi nyata seperti ini ternyata jauh lebih berpengaruh daripada sekadar aturan. Banyak warga yang tersentuh, merasa malu, dan akhirnya ikut berubah. Mereka jadi berpikir, "Kalau pejabat saja mau 'nyebur' ke sungai buat bersihin sampah, masa kita yang buang sampah nggak malu?" Nah, di sinilah kekuatan teladan terlihat.
Kenapa Aksi KDM Begitu Berpengaruh? (Mengintip dari teori Paul A. Bell)
Perubahan sikap masyarakat setelah melihat aksi KDM ini bisa dijelaskan dengan sebuah teori, yaitu model persepsi lingkungan dari Paul A. Bell. Yang menjelaskan bahwa perilaku kita terhadap lingkungan itu dipengaruhi oleh bagaimana kita melihat dan merespons informasi dari lingkungan sekitar.
Begini kira-kira alurnya:
- Stimulus: Masyarakat melihat sungai yang kotor dan kemudian melihat aksi nyata KDM yang membersihkan sampah.
- Proses Kognitif: Masyarakat mulai berpikir, "Ini salah, sungai seharusnya bersih."
- Evaluasi: Aksi KDM dinilai positif dan patut ditiru.
- Respons: Masyarakat mulai ikut kerja bakti, memilah sampah, dan tidak lagi membuang sampah sembarangan.
- Umpan Balik: Lingkungan jadi bersih. Masyarakat merasa nyaman, dan akhirnya muncul kebiasaan baik yang baru.
Awalnya, mungkin orang hanya ikut-ikutan karena kagum atau malu. Tapi lama-kelamaan, ketika lingkungan jadi lebih bersih dan nyaman, muncul rasa senang. Nah, dari rasa senang itulah tumbuh kebiasaan baru. Inilah yang disebut dengan umpan balik positif. Perubahan memang tidak terjadi dalam semalam, tapi bisa dimulai dari contoh kecil dan nyata.
Kesimpulan: Butuh Teladan, Bukan Hanya Aturan
Fenomena KDM menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat bisa dibangun tidak hanya dari aturan hukum, tapi juga dari keteladanan. Undang-Undang memang memberikan dasar, tapi yang benar-benar menggerakkan hati masyarakat adalah contoh langsung. Ketika masyarakat menyaksikan sendiri bahwa menjaga kebersihan itu tidak sulit dan hasilnya bisa langsung dirasakan, mereka akan lebih mudah mengubah kebiasaan.
KDM berhasil mengisi celah yang selama ini kosong, yaitu kesadaran dari dalam diri. Harapannya, pemerintah dan tokoh masyarakat lainnya bisa meniru pendekatan seperti ini. Edukasi harus terus dilakukan, tapi juga dibarengi dengan aksi nyata di lapangan. Masyarakat tidak hanya butuh aturan, tapi juga butuh panutan.
Daftar Pustaka
Purba, M. R., dkk. (2025). Perilaku Ramah Lingkungan dan Kebijakan Pengelolaan Sampah di
Indonesia. Jurnal Psikologi Lingkungan.
Kang Dedi Mulyadi Channel. (2025). Aksi Bersih Sungai dan Edukasi Masyarakat.
Patimah, S., dkk. (2024). Psikologi Lingkungan dan Perubahan Perilaku Pro-Lingkungan. Jakarta:
Prenada Media.
Sarwono, S. W. (1995). Psikologi Lingkungan. Jakarta: UI Press.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
0 komentar:
Posting Komentar