oleh Nariswari Salsabiela (NIM 23310410107)
Pengelolaan sampah di Indonesia masih menjadi tantangan serius, khususnya dalam hal membangun kesadaran masyarakat. Walaupun pemerintah telah menetapkan kebijakan melalui UU RI No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sebagian besar masyarakat tetap bersikap pasif. Kebiasaan membuang sampah sembarangan dan tidak memilah berdasarkan jenisnya mencerminkan lemahnya persepsi terhadap pentingnya menjaga lingkungan, serta kurangnya pengaruh norma sosial dalam membentuk perilaku ekologis yang bertanggung jawab.
Salah satu fenomena yang mendorong perubahan nyata adalah gerakan Kang Dedi Mulyadi (KDM) di Jawa Barat. Aksinya yang turun langsung ke sungai penuh sampah dan mengajak masyarakat terlibat dalam membersihkan lingkungan membangkitkan kesadaran kolektif. Ini menunjukkan bahwa perubahan perilaku bisa dimulai dari keteladanan nyata yang menyentuh emosi dan nilai-nilai sosial masyarakat.
Perubahan ini dapat dijelaskan melalui teori persepsi lingkungan dari Bell et al. (dalam Patimah et al., 2024; Sarwono, 1995). Pertama, stimulus lingkungan merujuk pada kondisi fisik seperti tumpukan sampah, bau busuk, dan air sungai yang tercemar, yang langsung dirasakan oleh pancaindra. Kedua, proses psikologis merupakan bagaimana individu memaknai stimulus tersebut, apakah dianggap sebagai hal yang harus diatasi atau justru dianggap lumrah. Ketiga, respon perilaku mencerminkan tindakan yang diambil, seperti membiarkan masalah terus berlangsung atau justru tergerak untuk bertindak dalam menjaga kebersihan lingkungan.
Perubahan perilaku masyarakat terhadap pengelolaan sampah dapat dipahami melalui berbagai teori dalam psikologi lingkungan. Salah satu konsep utama adalah environmental neglect dan adaptive normalcy, sebagaimana dijelaskan Gifford (2014). Masyarakat yang terus hidup dalam kondisi lingkungan yang kotor cenderung menganggap keadaan tersebut sebagai hal normal. Mereka terbiasa melihat sampah menumpuk dan bau menyengat tanpa merasa terganggu secara psikologis. Hal ini terjadi pula di Jawa Barat sebelum munculnya aksi nyata dari KDM, di mana masyarakat telah menoleransi sungai yang dipenuhi sampah.
Transformasi mulai terjadi ketika aksi KDM memicu tekanan sosial yang kuat melalui apa yang disebut normative social influence. Ketika seorang tokoh publik menunjukkan keterlibatan aktif dan melibatkan komunitas, terbentuklah norma baru yang mendorong konformitas. Schultz et al. (2007) menyebut bahwa pengaruh sosial normatif sangat efektif dalam mengubah perilaku lingkungan. Aksi “nyemplung ke sungai” oleh KDM, yang kemudian diikuti oleh warga dan pejabat, menjadi simbol perubahan norma yang masif dan menciptakan standar perilaku baru.
Selanjutnya, tindakan KDM juga memperkuat environmental identity atau identitas lingkungan (Clayton, 2003). Ketika masyarakat mulai merasa bahwa kondisi lingkungannya adalah cerminan dari identitas kolektif mereka, muncul dorongan emosional untuk menjaga dan memperbaikinya. Kegiatan seperti gotong royong memperkuat hubungan psikologis antara individu dan lingkungan.
Proses ini selaras dengan social learning theory dari Bandura (1977), yang menekankan pentingnya pembelajaran melalui pengamatan. Masyarakat belajar dari aksi pemimpinnya, meniru tindakan yang terlihat membawa manfaat nyata bagi lingkungan.
Pada akhirnya, UU No. 18 Tahun 2008 perlu ditafsirkan ulang dengan pendekatan psikologi sosial. Meski secara formal menempatkan warga sebagai penerima layanan, kenyataannya partisipasi langsung masyarakat, sebagaimana yang telah dicontohkan KDM, menjadi kunci utama keberhasilan pengelolaan sampah berkelanjutan.
Untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat secara berkelanjutan, diperlukan pendidikan lingkungan yang menyatu dalam kurikulum sekolah dan kegiatan komunitas, dengan pendekatan psikologi lingkungan.
Selain itu, pemimpin lokal seperti ketua RT/RW perlu diberikan pelatihan agar dapat menjadi teladan sebagaimana KDM. Kampanye konformitas positif juga penting digalakkan agar perilaku peduli lingkungan menjadi budaya bersama.
Pendekatan ini perlu diperkuat dengan sistem penghargaan dan sanksi berdasarkan UU No. 18/2008. Penguatan identitas kolektif bisa dilakukan melalui kegiatan seperti bersih desa dan lomba kampung hijau.
Perilaku masyarakat Jawa Barat dalam mengelola sampah berubah karena pengaruh aksi KDM, dukungan UU No. 18 Tahun 2008, dan pendekatan psikologi lingkungan. Keteladanan serta terbentuknya norma baru berhasil mengubah persepsi dan mendorong kesadaran serta aksi bersama.
Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Cialdini, R. B. (2003). Crafting normative messages to protect the environment. Current Directions in Psychological Science, 12(4), 105–109.
Clayton, S. (2003). Environmental identity: A conceptual and an operational definition. In S. Clayton & S. Opotow (Eds.), Identity and the Natural Environment (pp. 45–65). MIT Press.
Gifford, R. (2014). Environmental psychology matters. Annual Review of Psychology, 65, 541–579.
Kang Dedi Mulyadi Channel. (2025). Heboh emak-emak turun ikut kerja | KDM beri solusi tangani sampah di sungai. Retrieved June 30, 2025, from https://www.youtube.com/watch?v=Sjw6LY44ems
Patimah, A.S., Shinta, A., & Al-Adib, A. (2024). Persepsi terhadap lingkungan. Jurnal Psikologi, 20(1), 23–29. https://ejournal.up45.ac.id/index.php/psikologi/article/view/1807
Purba, D.O., & Shindy, R. (2025). Detik-detik Dedi Mulyadi nyebur ke sungai penuh sampah, ajak pejabat lain nyemplung. Kompas.com. https://www.youtube.com/watch?v=CkJ7Jthkc_Y
Sarwono, S. W. (1995). Psikologi lingkungan. Jakarta: Grasindo & Program Pascasarjana Prodi Psikologi UI.
Schultz, P. W., Nolan, J. M., Cialdini, R. B., Goldstein, N. J., & Griskevicius, V. (2007). The constructive, destructive, and reconstructive power of social norms. Psychological Science, 18(5), 429–434.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah.








0 komentar:
Posting Komentar