Senin, 07 Juli 2025

ESSAI 10 - UAS

PENGARUH FENOMENA KDM  

Dosen Pengampu : Dr., Dra. Arundati Shinta, MA.


Rahma Nur Al Amina

23310410066


FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45

YOGYAKARTA

2025

Sesuai dengan arahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, pengelolaan sampah di wilayah perkotaan mencakup dua upaya utama, yaitu pengurangan dan penanganan sampah yang dimulai sejak dari sumbernya, termasuk di tingkat rumah tangga. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang berfokus pada pemahaman dan penerapan konsep pemilahan sampah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilahan sampah merupakan salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan oleh masyarakat, khususnya pada tingkat rumah tangga. Kegiatan ini tidak hanya merupakan bagian dari strategi pengelolaan sampah yang efektif, tetapi juga berkaitan dengan hak konstitusional warga negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 28H Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menjamin hak setiap orang untuk hidup sejahtera dalam lingkungan yang baik dan sehat.

 

Penelitian ini juga melakukan tinjauan normatif terhadap dua peraturan turunan, yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 13 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) Nomor 3 Tahun 2013. Keduanya merupakan bentuk implementasi sebagian dari mandat yang tertuang dalam Undang-Undang Pengelolaan Sampah. Namun, penerapan regulasi ini di lapangan masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama dalam hal partisipasi masyarakat dan ketersediaan infrastruktur pendukung.

 

Dalam konteks penerapan konsep pemilahan sampah, penelitian ini menekankan dua aspek penting yang perlu diperkuat atau diperbaiki ke depan. Pertama, penguatan kelembagaan bank sampah sebagai sarana pengelolaan sampah berbasis komunitas. Kedua, peningkatan kesadaran dan keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pemilahan sejak dari sumber. Kedua aspek ini diyakini dapat memperkuat sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan dan berorientasi pada prinsip ekonomi sirkular.

 

Dengan demikian, keberhasilan implementasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tidak hanya bergantung pada regulasi semata, melainkan juga pada komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha untuk membangun budaya baru dalam mengelola sampah secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.

 

Ketika membahas tentang persepsi individu terhadap lingkungan sekitar, pertanyaan yang kerap muncul adalah: mengapa persepsi setiap orang bisa berbeda, meskipun mereka menghadapi stimulus yang sama? Perbedaan ini tidak muncul begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang membentuk cara seseorang menanggapi lingkungannya. Menurut Sarwono (1995), terdapat lima faktor utama yang memengaruhi pembentukan persepsi, yaitu latar belakang budaya, status sosial ekonomi, usia, agama, serta interaksi antara peran gender, tempat tinggal (desa atau kota), dan latar belakang etnis atau suku.

 

Budaya, misalnya, memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk persepsi masyarakat. Sebagai ilustrasi, masyarakat dari suku-suku tradisional di Afrika yang hidup dalam lingkungan alamiah, terbiasa dengan bentuk-bentuk melingkar di alam sekitarnya. Akibatnya, mereka tidak mudah terpengaruh oleh ilusi visual seperti yang terdapat pada gejala Muller-Lyer. Hal ini berbeda dengan masyarakat perkotaan yang kesehariannya dipenuhi oleh bentuk-bentuk geometris seperti kotak dan garis lurus. Karena terbiasa dengan struktur visual tersebut, mereka cenderung lebih mudah terpengaruh oleh ilusi Muller-Lyer (Fisher et al., 1984; Sarwono, 1995).

 

Status sosial ekonomi juga memainkan peran penting dalam membentuk persepsi terhadap lingkungan. Sebagai contoh, warga dengan kondisi ekonomi terbatas di sekitar Sungai Cikundul, Cianjur, Jawa Barat, memanfaatkan air sungai tersebut secara langsung untuk kebutuhan harian seperti mandi, mencuci, dan memasak. Sementara itu, warga dengan kondisi ekonomi yang lebih baik umumnya menggunakan air dari sumber yang sama, tetapi melalui saluran pipa yang lebih aman dan higienis (Nurlia, 2006). 

 

Berbagai temuan ini menunjukkan bahwa persepsi lingkungan sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup, kondisi sosial, dan budaya masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam merancang kebijakan atau program lingkungan, penting untuk mempertimbangkan keberagaman faktor-faktor ini agar pendekatan yang digunakan dapat lebih tepat sasaran dan diterima oleh berbagai masyarakat.


Permasalahan :

 

Banyak kabupaten/kota di Jawa Barat tidak memiliki fasilitas pengolahan sampah terpadu yang memadai. Infrastruktur seperti bank sampah, tempat pengolahan sampah terpadu (TPST), atau sistem daur ulang masih sangat terbatas. Akibatnya, sebagian besar sampah rumah tangga langsung dibuang tanpa pemilahan atau pengolahan. Selain itu juga minimnya kesadaran masyarakat Jawa Barat tentang mengelola lingkungan dengan baik dan benar. Tumpukan sampah yang menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), yang bercampur tanpa pemilahan, menimbulkan bau tidak sedap yang menyengat. Namun, kondisi tersebut sering kali tidak menimbulkan reaksi emosional yang berarti dari masyarakat. Aroma busuk dan pemandangan kumuh tersebut justru dianggap sebagai hal yang lumrah dan biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

 

Solusi :

 

Permasalahan-permasalahan di atas menjadi latar belakang yang memperjelas betapa pentingnya reformasi dalam pengelolaan sampah. Dalam konteks ini, peran tokoh-tokoh lokal seperti Kang Dedi Mulyadi kemudian menjadi signifikan karena membawa pendekatan yang lebih berbasis budaya, edukatif, dan partisipatif dalam upaya memperbaiki hubungan masyarakat dengan lingkungannya. Perubahan mulai terjadi ketika Kang Dedi Mulyadi (KDM) mengambil tindakan nyata di lapangan. Melalui aksi langsung, seperti turun langsung ke sungai yang dipenuhi sampah, KDM memberikan contoh konkret yang menyentuh kesadaran masyarakat. Aksi ini menggugah persepsi publik bahwa keberadaan sampah di sungai bukanlah sesuatu yang dapat dimaklumi begitu saja.

 

Setelah melihat keterlibatan nyata dari aksi tersebut, masyarakat mulai tersadar dan merasa terdorong untuk ikut serta dalam upaya menjaga kebersihan lingkungan. Secara bertahap, mereka mulai terlibat dalam kegiatan membersihkan sungai, jalan, dan area permukiman di sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa keteladanan yang ditunjukkan melalui aksi nyata dapat menjadi pemicu efektif dalam membentuk kesadaran lingkungan kolektif.


 Daftar pustaka :

 

YouTube - Kang Dedi Mulyadi Channel. (2025). Aksi Lingkungam di Jawa Barat. Diakses dari https://www.youtube.com/@kangdedimulyadichannel

 

Ambina, D. G. (2019). Tinjauan Pemilahan Sampah Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Bina Hukum Lingkungan, 3(2), 171-185.

 

Patimah, A. S., Shinta, A., & Al Adib, A. (2024). PERSEPSI TERHADAP LINGKUNGAN. Jurnal Psikologi, 20(1), 23-29.


0 komentar:

Posting Komentar