Kamis, 20 Juli 2023

Tradisi Nyumbang Tuntutan Gengsi Dalam Keterbatasan Uang / Alfiyan Hidayat 22310410030 Psikologi SP

 

Tradisi Nyumbang Tuntutan Gengsi Dalam Keterbatasan Uang

 

Ujian Akhir Psikologi Sosial dengan Dosen  Pengampu  Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA

 

Alfiyan Hidayat

22310410030

Psikologi SP


Prodi Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

 

2023




Ilustrasi acara hajatan proses masak

Ilustrasi nasi besekan dalam punjungan



Pendahuluan

Pada bulan – bulan besar setelah Idul Adha dalam penanggalan Islam memasuki bulan Dzulhijah sering kita mendapatkan “Punjungan” atau “Berkat” dari teman , tetangga dan saudara karena sedang mengadakan hajatan. Bentuknya macam – macam dari nasi box ukuran besar , nasi berkat menggunakan besek atau bahkan ingkung ayam. Namun kita perlu ketahui bahwa adat istiadat yang terjadi dalam masyarakat terutama lingkungan masyarakat Suku Jawa siapa yang mendapatkan “ Punjungan “ ada aturan secara tidak tertulis saya wajib menyumbang atau dapat diartikan memberikan ganti sumbangan yang umumnya dalam bentuk uang akan tetapi juga ada yang berbentuk dalam barang sembako seperti beras ,gula,teh, atau benda bernilai berharga lainya.

Dalam perjalanannya terdapat suatu kasus yang menarik perihal sumbang – menyumbang ini kasus tersebut terjadi di Provinsi D.I. Yogyakarta yang notabene dikenal sebagai daerah yang kental akan budaya dan adat istiadatnya untuk itu kita akan membahasnya  dalam perspektif psikologi sosial.

Kita mulai dari pengalaman saya tinggal di suatu desa di Yogya, yang mana adat dan kebiasaan penduduknya sangat unik. Jumlah penduduk desa saya adalah sekitar 120 keluarga. Ketika dalam keluarga saya mempunyai anak maka sebagai tanda syukur adalah saya harus menyumbang 120 kotak makanan untuk para tetangga. Ketika salah satu anggota keluarga saya meninggal dan harus membuat upacara penghormatan bagi kerabat yang meninggal, maka saya juga harus menyumbang 120 kotak makanan untuk para tetangga. Ketika salah satu anak dikeluarga saya dikhitan (disunat) dan mengadakan syukuran, maka saya harus mengirimkan 120 kotak makanan bagi tetangga. Kebiasaan-kebiasaan itu dilakukan oleh seluruh penduduk desa disini. Artinya, saya sebagai salah satu penduduk di desa itu, maka saya selain harus menyumbang, saya juga akan sering menerima kotak makanan dari para tetangga.

Permasalahan

Dari hal tersebut kita ketahui bersama bahwa tradisi adat istiadat menyumbang terjadi menjadi perilaku yang dilakukan oleh setiap masyarakat warga desa namun patut kita lihat ada kondisi yang tidak ideal dalam perilaku tersebut apa? Dapat  kita telaah menggunakan teori konformitas atau dapat diartikan bahwa suatu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.Bila individu tidak sesuai dengan standar norma kebiasaanya dalam masyarakat maka akan terjadi kondisi tidak ideal misalnya setiap orang atau individu belum tentu kemampuanya sama dari segi ekonomi dalam hal membuat “bancakan” atau hajatan yang bertujuan membagikan sumbangan makanan kepada warga dan tetangga sekitarnya namun sering kali dipaksakan sampai harus berhutang saya kutip berita dari detik.com “ Sedih ayah lakukan gantung diri akibat terlilit hutang untuk membiayai  acara pernikahan anaknya” sungguh ironi dimana konformitas perihal sumbang menyumbang dan tingkat gengsi dalam membuat hajatan memicu kejadian yang amat tragis .

Kebiasaan tradisi adat istiadat sumbang menyumbang ini juga tidak hanya terkadang memberatkan pihak yang memiliki hajatan namun bagi tetangga atau saudara yang mendapatkan “Punjungan Besek atau Berkat” hukum tidak tertulis wajib ikut berganti membalas sumbangan padahal sudah barang tentu kondisi ekonomi dan finansial mereka tidak pasti, bisa dalam kondisi kekurangan atau kecukupan sehingga memberatkan dari segi martabat dan tanggungan ekonomi. Apalagi banyak masyarkat merasa martabat dan harga dirinya hilang bila tidak melakukan konformitas di lingkungan sosialnya dipandang dari segi standar nominal menyumbang dan kontribusinya dalam membantu hajatan tetangga ataupun saudaranya.

Namun tidak terlepas dari kasus yang terjadi disalah satu desa di DIY tersebut kita mencoba membandingkan kasus yang terjadi di daerah lain contohnya di daerah Banyumas Jawa Tengah dalam hal sumbang menyumbang daerah ini justru terbiasa dalam menerima dan memberi sumbangan dalam bentuk bahan pangan belum ter monetisasi , justru sumbangan bahan pokok diolah lalu kembali disumbangkan ke seluruh warga desa ,kegiatan ini terjadi dalam rangka mempererat hubungan solidaritas antara perempuan dalam lingkungan masyarakat pedesaan.

Dilihat dari sisi lain sumbang menyumbang juga erat kaitanya dengan tujuan “tanam modal” mengharap timbal balik dibantu suatu saat nanti bila keluarga atau tetangga sedang menyelanggarakan hajatan. Namun kembali lagi dari segi kemampuan individu antara individu lainya tentunya berbeda dari segi finansial dalam menyokong bantuan tersebut dan sering kali perihal standar nominal dan standar kontribusi dalam sumbangan menjadi masalah pelik dalam lingkungan masyarakat.

Kembali kepada pokok permasalahan tadi bila hal standar dalam perilaku konformitas sumbang menyumbang dan membuat hajatan yang berstandarkan masyarakat dalam suatu lingkungan desa di DIY menyulitkan diri dan tidak sesuai dengan kepribadian yang dapat saya lakukan adalah membuat mitigasi terhadap masalah tersebut.Karena jika kita harus berpindah tempat tentunya memerlukan biaya ,waktu serta tenaga yang lebih besar maka dari itu saya memilih untuk menyelesaikan masalah perilaku yang tidak ideal dalam sumbang menyumbang dengan cara mitigasi misalnya ketika kita mendapatkan sumbangan makanan dari tetangga yang sedang hajatan yang dapat saya lakukan menerimanya dan sudah memiliki cadangan uang darurat yang cukup untuk membalas sumbangan tersebut namun ada satu hal yang menjadi pembeda ketika saya sedang mengadakan hajatan maka yang saya lakukan memberikan sumbangan kepada tetangga dilingkungan saya sesuai kemampuan finansial saya namun dengan memberikan pernyataan untuk tidak menerima sumbangan balik dari tetangga dengan maksud adalah tidak memberatkan dan membebani para tetangga bila hal tersebut dilakukan dan dibiasakan oleh suatu individu dan individu lain serta menjadi kebiasaan suatu komunitas lingkungan masyarakat tentunya tradisi ini tetap lestari namun lebih bijaksana serta dapat meminimalisir kondisi tidak ideal dalam perilaku  konformitas dimasyarakat.

Solusi Permasalahan

Bila melihat perilaku sumbang dan menyumbang sebenarnya merupakan perilaku gotong royong dimana kepekaan sosial kita diuji dalam hal melihat kondisi perekonomian tetangga dan saudara disekitar lingkungan kita akan tetapi perlu ada hal yang diubah dalam gotong royong dalam konteks perilaku sumbang dan menyumbang ini karena bila perilaku ini didasari dorongan keterpaksaan dan dibuat standar tertentu dari segi monetisasi tentunya akan menjadi suatu masalah sosial kondisi yang tidak ideal bagi kerja sama antar individu dalam masyarkat karena masyakarat terdiri dari individu yang sangat beragam dari segi emosional, finansial dan berbagai hal lain.Perlu adanya kondisi yang ideal dimana individu masyarakat berperilaku dan berkontribusi sesuai dengan tingkat kemampuanya dan menjauhkan perilaku gengsi dan memaksakan standar tinggi yang justru akan berakibat buruk di kemudian hari.

Untuk itu tradisi dan adat istiadat perlu dimodifikasi dan dilestarikan sesuai dengan kondisi yang relevan dengan jaman .Dalam hal ini sebagai orang tua saya nantinya  mengajarkan perilaku konformitas menyumbang dalam arah yang lebih ideal ke anak berdasarkan pandangan Albert Bandura didasarkan teori belajar sosial menjelaskan bahwa perilaku manusia mempunyai interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan pengaruh lingkungan. Kebanyakan perilaku manusia dipelajari observasional melalui pemodelan yaitu dari mengamati orang lain.Untuk itu sebagai orang tua saya akan mengajarkan kepada anak dengan menjadi model langsung  ketika kita menyumbang dan memberi sesuatu kepada orang lain motivasi utama kita adalah meraih kebaikan bukan meraih timbal balik balasan langsung dari individu atau objek yang kita beri sumbangan dengan memberikan doktrin bahwa menyumbang adalah perilaku dorongan spontan dan tidak wajib serta kerelaan hati dan kepekaan kita terhadap lingkungan sekitar kita dapat melatih anak menjadi orang yang lebih adil dan sehat  terhadap dirinya sendiri  serta lingkungan konformitas sosialnya.

Terakhir apakah perilaku sumbang menyumbang tradisi di Jawa ini seperti kondisi dimana seorang calon kepala daerah sedang kampanye dengan pendekatan teori Niccolo Machiavelli
Secara makro, perilaku sumbang dan menyumbang tradisi di Jawa, atau dalam konteks politik seperti Pilkada, dapat dipahami dalam kerangka teori Niccolò Machiavelli yang terkenal dengan pandangan politik realisnya. Dalam karyanya "The Prince," Machiavelli menguraikan strategi untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan politik.

Dalam konteks Pilkada atau pemilihan kepala daerah, seseorang yang ingin menang dan memperoleh kekuasaan bisa saja menggunakan strategi-sumbang yang berlandaskan pada pandangan Machiavelli, seperti berikut:

a.     Pemanfaatan tradisi lokal: Di Jawa, tradisi dan budaya memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat. Seorang calon pemimpin yang ingin menarik dukungan dan simpati warga dapat menggunakan kebiasaan sumbang dan menyumbang sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan terhadap nilai-nilai budaya setempat. Dalam pandangan Machiavelli, pemanfaatan tradisi ini adalah bagian dari strategi politik untuk mendapatkan dukungan massa.

b.     Citra kebaikan dan kedermawanan: Dalam pandangan Machiavelli, seorang penguasa ideal harus dipercaya oleh rakyat dan harus menciptakan citra kebaikan serta kedermawanan. Dengan menyumbang dan memberikan bantuan kepada masyarakat secara luas, calon pemimpin menciptakan kesan bahwa mereka peduli dan memiliki kepentingan terhadap kesejahteraan rakyat.

c.      Membangun jaringan kekuatan: Dengan melakukan sumbang dan menyumbang, seorang calon pemimpin juga dapat membangun jaringan dukungan dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk tokoh-tokoh lokal, para pemuka agama, dan kelompok-kelompok sosial. Hal ini sejalan dengan prinsip Machiavelli tentang pentingnya menciptakan aliansi yang kuat untuk mengamankan posisi politik.

d.     Membuat lawan politik terpinggirkan: Dalam pandangan Machiavelli, seorang calon pemimpin harus mengambil langkah-langkah untuk melemahkan atau mengeliminasi pesaing politiknya. Dengan melakukan sumbang dan menyumbang secara ekstensif, calon pemimpin dapat menciptakan persepsi bahwa mereka adalah kandidat yang paling pantas menduduki posisi kepemimpinan, sementara lawan-lawan politiknya dianggap kurang berperan atau kurang berkontribusi dalam kepentingan masyarakat.

 

Kesimpulan

 

Kesimpulannya, perilaku sumbang menyumbang dalam tradisi di Jawa dan dalam konteks politik seperti Pilkada dapat dihubungkan dengan teori Niccolò Machiavelli yang mengedepankan strategi politik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Dalam hal ini, memanfaatkan tradisi lokal, menciptakan citra kebaikan dan kedermawanan, membangun jaringan dukungan, dan membuat lawan politik terpinggirkan merupakan bagian dari upaya calon pemimpin untuk mendapatkan dukungan massa dan meraih kemenangan.Namun, dalam praktiknya, ada beberapa masalah yang muncul terkait dengan perilaku sumbang menyumbang tersebut. Beberapa individu atau keluarga mungkin kesulitan memenuhi standar sumbangan yang diharapkan dalam tradisi tersebut, menyebabkan tekanan finansial dan bahkan hutang. Selain itu, ada juga kemungkinan timbal balik yang berlebihan dan memberatkan bagi pihak yang menerima sumbangan.

Dalam menghadapi kondisi yang tidak ideal, perlu dilakukan mitigasi dan modifikasi dalam tradisi adat istiadat sumbang menyumbang agar lebih sesuai dengan kemampuan finansial dan kondisi masyarakat saat ini. Hal ini juga berkaitan dengan penggunaan teori konformitas, di mana individu harus berusaha menghindari tekanan sosial yang memaksa mereka untuk menyumbang dalam jumlah yang tidak sesuai dengan kemampuan mereka.Masyarakat juga harus berupaya untuk lebih menghargai keragaman kemampuan finansial setiap individu dan menyadari bahwa sumbang menyumbang harus didasari oleh kesadaran dan kemauan dari hati, bukan sekadar kewajiban sosial yang dipaksakan. Selain itu, mengajarkan generasi muda tentang konsep sumbang menyumbang yang sehat, di mana tujuan utamanya adalah untuk berbagi kebaikan dan kepedulian terhadap sesama, akan membantu membangun perilaku gotong-royong yang lebih positif dalam masyarakat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Lestari,Soetji.  Sumarti, Titik. K. Pandjaitan,Nurmala. Potret Resiprositas dalam Tradisi Nyumbang di Pedesaan Jawa di Tengah Monetisasi Desa. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. ISSN Lama 0216-2407, Baru 2086-7050 Vol. 25 / No. 4 / Published : 2012-10 Order : 5, and page :271 – 281.

Setiawan,Eko. POTRET RESIPROSITAS TRADISI NYUMBANG PADA PEREMPUAN PERDESAAN DI DESA KALIPAIT BANYUWANGI. Equalita, Vol. 4 Issue 1, Juni 2022. Published online: 30 Juni 2022

 Suryana,Adhitya.Hendrastomo,Grendi. PEMAKNAAN TRADISI NYUMBANG DALAM PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA KALIKEBO, TRUCUK, KLATEN. Jurnal Pendidikan Sosiologi/2. eISSN: 2827-9417.Vol 6, No 8 (2017)

3 Hal Utama Teori Belajar Sosial dari Albert Bandura. INDOPOSITIVE.org.Sumber link: https://www.indopositive.org/2020/09/3-hal-utama-teori-belajar-sosial-dari.html. Diakses pada: 23.30 WIB,20/7/2023

Sohandji, Ahmad.  2012. Manusia, Teknologi, Dan Pendidikan Menuju Peradaban Baru.  Malang: Universitas Negeri Malang. (hal. 23-24).

 

 

 

 

 

 

 

 









0 komentar:

Posting Komentar