Kamis, 20 Juli 2023

UAS PSIKOLOGI SOSIAL

Nama : Yoni R. Tamim 

Nim : 22310410092

Kelas : Reguler A1

Dosen pengampuh : Dr., Dra. Arundati Shinta, MA


DINAMIKA TRADISI MENYUMBANG 




Sebagia satu tradisi nyumbang adalah salah satu bentuk gotong royong, yang biasanya berwujud pemberian barang dalam bentuk materi baik uang maupun barang, biasa dilakukan pada acara hajatan, kelahiran, pernikahan hingga kematian. Nyumbang berkembang dari masyarakat lampau yang masih sangat kental dan tinggi solidaritasnya. Entitas-entitas berupa paguyuban, kelompok masih banyak sehingga tradisi nyumbang tumbuh begitu subur. Namun hal ini akan menjadi sebuah problematis jika di lihat dari sisi ekonomi, sebab tidak semua warga memiliki finansial memadai untuk turut mengikuti tradisi nyumbang tersebut. Kenapa kemudian problematis? Dalam situasi hidup yang semakin kompetitif seperti sekarang, di mana biaya hidup harian semakin tak terduga pengeluarannya, apalagi jika barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari naik tanpa diduga pula, dimana kita bisa membayangkan betapa masyarakat yang berpenghasilan di bawah upah minimum sungguh-sungguh akan sangat mengencangkan ikat pinggang dalam konstelasi hidup yang penuh dengan tradisi nyumbang. Persoalannya, bagaimanakah dengan orang yang benar-benar tak mampu untuk menyumbang? Taruh saja ia mempunyai pekerjaan sebagai buruh dengan penghasilan Rp 700.000. Taruh saja berkeluarga dengan dua anak . Jika dalam seminggu ia harus menyumbang dua tempat hajatan dengan nilai sumbangan per hajatan Rp 30.000 maka sebulan ia harus mengeluarkan uang Rp 240.000 hanya untuk acara hajatan. Sisanya adalah untuk hidup sehari-hari. Belum lagi kalau ada keperluan tak terduga. Nah, ajaib sekali hidup di Indonesia, bukan? Sebuah keluarga dengan penghasilan pas-pasan tetap mampu bertahan entah dengan perasaan macam apa. Bagaimana pula dengan penghasilan buruh di bawah jumlah nilai pendapatan sebagaimana dicontohkan di atas. Padahal, ia mempunyai tanggungan keluarga dan tanggung jawab sosial menyumbang yang sama bebannya. 

Saya akan menyesuaikan dengan kondisi ekonomi keluarga, akan menyumbang bila mampu dan tidak jika kondisi ekonomi yang tidak mendukung.  dan mencari dukungan dari komunitas dengan membicarakan situasi saya secara terbuka bila tidak menyanggupi untuk berpartisipasi dalam tradisi nyumbang tersebut. meskipun tradisi ini diyakini dapat mempererat hubungan persaudaraan antar masyarakat dan menumbuhkan salah satu wujud kepedulian terhadap masyarakat tersebut, namun harus ada keseimbangan antara tanggung jawab keluarga dan tanggung jawab sosial. 

Dari sisi sosial tradisi nyumbang merupakan perilaku gotong royong, namun harus ada kesembangan dengan aspek ekonominya. Dan Karena dilandasi semangat gotong-royong, maka harusnya masyrakat menyumbang, atau mendonasikan segala kemampuan berdasarkan sifat kerelaan atau sukarela. Baik harta, ataupun tenaga mereka sumbangkan dalam wujud keguyuban atau gotong royong tersebut. Misalnya dalam hajatan perkawinan, bagi yang punya uang, akan menyumbang uang. Bagi yang punya barang, misalnya bahan makanan juga akan menyumbang bahan makanan. Seperti sembako, palawija, sayur-mayur, buah-buahan, dan lain lain. Bagi yang mempunyai material mungkin juga akan menyumbang material. Seperti kayu, semen, atau pasir, jika kegiatan tersebut memang memerlukan tambahan pembangunan fisik. Sementara bagi yang merasa tidak mempunyai uang atau barang, juga dengan bersemangat menyumbang atau membantu dalam bentuk tenaga. Entah apapun yang bisa dikerjakan dalam event tersebut, mereka akan menyumbangkan tenaganya tanpa pamrih. Karena semua demi semangat gotong-royong tersebut. 

Dengan mengajarkan menyumbang dan membantu orang lain, anak-anak dapat mengembangkan rasa empati dan simpati terhadap orang lain yang membutuhkan bantuan. Dengan begitu anak akan memahami dirinya sebagai manusia yang memiliki tanggung jawab sosial, dan kemudian membentuk kepribadian yang lebih empatik dan peduli terhadap lingkungan sosial mereka. Dan ketika anak melakukan perilaku menyumbang dan mendapatkan tanggapan positif atau penghargaan dari orang lain yang membuat mereka cenderung merasa puas dengan kebaikan yang mereka lakukan.  

perilaku menyumbang dalam konteks Pilkada tidak selalu sesuai dengan kebiasaan seseorang yang ingin menang atau berhasil meraih kekuasaan politik. Machiavelli menganggap bahwa seorang penguasa harus cerdik dalam bermain politik dan mampu menggunakan strategi yang licik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Perilaku menyumbang cenderung lebih terbuka dan jujur, yang mungkin kurang sesuai dengan pendekatan politik Machiavellian yang lebih manipulatif.



DAFTAR PUSATAKA 

https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/158972

http://journal.unair.ac.id/MKP@potret-resiprositas-dalam-tradisi-nyumbang-di-pedesaan-jawa-di-tengah-monetisasi-desa-article-8484-media-15-category-.html

https://journal.student.uny.ac.id/ojs/index.php/societas/article/view/9144



0 komentar:

Posting Komentar