Kamis, 20 Juli 2023

UAS: Psikologi Sosial “ Tradisi Nyimbang “ _ Widya Mela Nova _ 22310410125 _ Psikologi Sp

UJIAN AKHIR SEMESTER

PSIKOLOGI SOSIAL

 Widya Mela Nova

 22310410125

Psikologi Sp 

Dosen Pengampu Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA MA”


Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi ‘45 Yogyakarta 

1. Permasalahan dari kasus tersebut adalah adanya beban sosial yang cukup besar bagi penduduk desa tersebut dalam hal menyumbangkan kotak makanan. Walaupun tindakan ini dilakukan sebagai tanda syukur atau penghormatan, namun jumlahnya yang tetap dan besar (120 kotak makanan) setiap kali ada kejadian seperti kelahiran anak, kematian anggota keluarga, atau upacara syukuran membuatnya menjadi sebuah beban yang signifikan bagi masing-masing keluarga di desa. Beberapa permasalahan yang mungkin timbul dari situasi ini adalah:

• Beban ekonomi: Memproduksi atau membeli 120 kotak makanan setiap kali ada peristiwa yang merayakan atau menghormati sesuatu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Ini bisa menjadi beban ekonomi yang berat bagi beberapa keluarga yang kurang mampu secara finansial.

• Persaingan sosial: Kebiasaan ini bisa menciptakan persaingan sosial antara penduduk desa. Mereka mungkin merasa perlu untuk menunjukkan kemurahan hati mereka dengan memberikan kotak makanan yang lebih baik atau lebih besar dari tetangga mereka. Hal ini bisa menciptakan tekanan sosial dan menciptakan ketegangan di antara warga desa.

• Keterbatasan sumber daya: Jumlah penduduk desa yang mencapai 120 keluarga tentu memiliki dampak pada ketersediaan sumber daya makanan dan tenaga kerja. Memproduksi 120 kotak makanan dalam waktu singkat bisa menjadi tugas yang sulit dan menyita banyak waktu dan tenaga, terutama jika ada lebih dari satu peristiwa yang terjadi secara bersamaan.

• Pengaruh lingkungan: Produksi besar-besaran kotak makanan juga berarti meningkatkan penggunaan bahan kemasan dan limbah yang dihasilkan. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa berdampak negatif pada lingkungan.

• Potensi ketidakseimbangan: Meskipun semua penduduk desa menerima dan memberikan kotak makanan, ada potensi untuk ketidakseimbangan dalam pembagian makanan. Beberapa keluarga mungkin lebih sering menjadi pemberi daripada penerima, dan sebaliknya.

Dalam keseluruhan, meskipun kebiasaan ini bisa menjadi cara yang unik untuk mengekspresikan rasa syukur dan menghormati peristiwa penting dalam kehidupan, permasalahan di atas menunjukkan bahwa ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan


agar kebiasaan tersebut tetap berkelanjutan dan tidak memberatkan penduduk desa secara berlebihan.

2. Jika saya tinggal di desa tersebut dan menghadapi permasalahan yang disebutkan di nomor 1, tetapi pindah tempat tinggal menjadi pilihan yang sangat sulit, maka ada beberapa pendekatan yang dapat saya lakukan untuk mengatasi situasi tersebut:

1. Komunikasi dan dialog: Saya akan mencoba untuk berkomunikasi dengan tetangga dan masyarakat desa secara terbuka. Melalui dialog yang jujur dan empati, saya akan berusaha menjelaskan bagaimana permasalahan tersebut memberikan beban ekonomi yang cukup berat bagi keluarga saya dan mungkin juga bagi keluarga lain di desa. Dalam upaya mencari solusi bersama, mungkin bisa dicarikan alternatif untuk mengurangi jumlah kotak makanan yang harus disumbangkan atau mencari cara lain untuk menyampaikan rasa syukur dan menghormati peristiwa penting tanpa harus memberatkan secara finansial.

2. Membentuk komunitas solidaritas: Saya akan mencoba untuk menciptakan komunitas solidaritas di desa, di mana penduduk dapat berkolaborasi dan saling membantu dalam situasi-situasi tertentu. Misalnya, bisa dibentuk sebuah kelompok atau organisasi sukarela yang membantu keluarga dalam memenuhi kewajiban menyumbangkan kotak makanan. Komunitas semacam ini bisa berfungsi sebagai jaring pengaman sosial bagi mereka yang mengalami kesulitan ekonomi.

3. Menggagas perubahan adat: Jika memungkinkan, saya akan berusaha untuk menggagas perubahan dalam adat dan kebiasaan desa tersebut. Mungkin bisa dilakukan sosialisasi mengenai beban ekonomi yang diakibatkan oleh tradisi menyumbangkan 120 kotak makanan dan mencari dukungan dari para tetua adat atau pemimpin desa untuk merubah jumlah atau sistem persembahan makanan yang lebih sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini.

4. Berkolaborasi dengan penduduk lain: Saya akan berusaha untuk berkolaborasi dengan tetangga dan penduduk lain di desa dalam menyelesaikan masalah ini. Misalnya, bisa dibuat kesepakatan untuk bergiliran atau membagi tanggung jawab dalam menyumbangkan kotak makanan, sehingga beban tidak hanya terpusat pada satu keluarga atau beberapa keluarga tertentu.

5. Mengoptimalkan sumber daya lokal: Saya akan mencari cara untuk mengoptimalkan sumber daya lokal dan meminimalisir pemborosan dalam proses menyumbangkan kotak makanan. Misalnya, dapat digunakan bahan-bahan dan sumber daya lokal yang lebih terjangkau, sehingga biaya produksi kotak makanan dapat ditekan.

6. Membentuk koperasi atau kelompok usaha bersama: Jika memungkinkan, saya akan mencari cara untuk membentuk koperasi atau kelompok usaha bersama dengan tujuan


menghasilkan kotak makanan dengan biaya lebih murah dan berbagi hasilnya secara adil di antara anggota kelompok.

Selain itu, penting untuk menjaga harmoni dan hubungan baik dengan tetangga dan masyarakat desa. Memahami dan menghargai adat dan kebiasaan setempat, sambil tetap berupaya mencari solusi yang lebih dapat diterima bagi kondisi ekonomi keluarga, adalah kunci untuk mengatasi permasalahan dengan bijaksana.

3. Situasi tersebut menunjukkan adanya perilaku bergotong royong dalam masyarakat desa tersebut. Perilaku bergotong royong adalah perilaku sosial di mana anggota masyarakat saling membantu dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama atau memecahkan masalah bersama. Alasan-alasannya adalah sebagai berikut:

1. Saling membantu dalam momen penting: Kebiasaan menyumbangkan 120 kotak makanan dalam berbagai peristiwa penting seperti kelahiran, kematian, atau upacara syukuran menunjukkan adanya rasa persaudaraan dan kepedulian antarwarga desa. Hal ini menandakan bahwa mereka tidak hanya merayakan atau menghormati peristiwa dalam keluarga mereka sendiri, tetapi juga berbagi kebahagiaan dan kesedihan dengan tetangga mereka.

2. Keterikatan sosial: Jumlah penduduk desa yang relatif kecil (sekitar 120 keluarga) mungkin menciptakan rasa keterikatan sosial yang kuat antara penduduk desa. Dalam komunitas kecil seperti ini, setiap tindakan individu dapat memiliki dampak besar pada keseluruhan masyarakat. Dengan berpartisipasi dalam kebiasaan dan adat tersebut, setiap anggota desa merasa terlibat dalam kehidupan dan kebahagiaan sesama warga.

3. Solidaritas dan kebersamaan: Ketika seseorang menyumbangkan kotak makanan, itu tidak hanya menunjukkan rasa syukur atau penghormatan, tetapi juga menjadi ekspresi solidaritas dan kebersamaan dalam menghadapi berbagai peristiwa kehidupan. Dengan semua orang melakukan hal yang sama, anggota desa merasa bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi kegembiraan atau kesedihan.

Meskipun situasi ini menunjukkan perilaku bergotong royong, tidak dapat diabaikan bahwa ada juga potensi ketakutan akan dampak dari perilaku tidak conform pada tetangga. Meskipun mungkin dianggap sebagai tradisi dan adat yang dihormati, beberapa anggota masyarakat mungkin merasa terbebani oleh kewajiban menyumbangkan 120 kotak makanan setiap kali ada peristiwa tertentu. Mereka mungkin takut dianggap tidak peduli atau tidak berpartisipasi dalam kehidupan sosial masyarakat jika mereka tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut.

Oleh karena itu, sementara ada aspek positif dari perilaku bergotong royong dalam masyarakat desa tersebut, perlu diakui bahwa juga perlu mempertimbangkan dan menghargai


keterbatasan dan situasi individu setiap keluarga untuk menjaga keseimbangan dan kesetaraan dalam partisipasi dalam kebiasaan tersebut.

4. Menurut teori Albert Bandura tentang pembelajaran sosial, perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh observasi dan imitasi terhadap model yang ada di sekitarnya. Dalam konteks ini, jika saya tinggal di desa dengan kebiasaan menyumbang 120 kotak makanan untuk tetangga, kemungkinan besar saya akan cenderung mengajarkan anak-anak saya tentang konformitas terhadap perilaku menyumbang tersebut. Namun, keputusan untuk mengajarkan atau tidak mengajarkan perilaku konformitas tersebut tergantung pada beberapa faktor dan pertimbangan sebagai berikut:

1. Konteks budaya dan adat: Jika konformitas dengan kebiasaan menyumbang merupakan bagian yang sangat integral dari adat dan budaya desa tersebut, mengajarkan anak untuk melakukan hal tersebut dapat membantu anak memahami dan menghargai tradisi lokal serta memperkuat identitas budaya mereka.

2. Etika dan nilai-nilai keluarga: Saya akan mempertimbangkan apakah kebiasaan menyumbang ini sesuai dengan nilai-nilai keluarga kami. Jika nilai-nilai yang kami anut mendorong untuk membantu sesama dan berbagi dalam momen penting, maka mengajarkan anak tentang konformitas tersebut mungkin sesuai dengan nilai-nilai yang ingin kami ajarkan pada mereka.

3. Kapasitas ekonomi keluarga: Saya akan menilai apakah keluarga kami memiliki kapasitas ekonomi untuk menyumbangkan 120 kotak makanan setiap kali ada peristiwa tertentu. Jika menyumbang dalam jumlah besar tersebut akan memberatkan keuangan keluarga kami, maka kami mungkin harus mencari cara alternatif untuk memberikan kontribusi atau menyampaikan rasa syukur dan penghormatan dalam kapasitas yang kami mampu.

4. Mengajarkan kepekaan sosial: Selain mengajarkan konformitas, penting juga untuk mengajarkan kepekaan sosial pada anak-anak, yaitu kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain. Jika ada tetangga atau teman yang tidak mampu menyumbang dalam jumlah besar, mengajarkan anak-anak untuk memahami dan berempati terhadap situasi tersebut adalah bagian penting dari pendidikan mereka.

5. Menghargai kebebasan berpikir dan tindakan: Sebagai orang tua, penting untuk memberikan ruang bagi anak-anak untuk berkembang dan membentuk kepribadian mereka sendiri. Meskipun mengajarkan konformitas mungkin sesuai dalam konteks budaya dan nilai keluarga, penting juga untuk menghargai kebebasan berpikir dan tindakan anak-anak sehingga mereka dapat membentuk pandangan dan pilihan mereka sendiri dengan bijaksana.


5.

Kesimpulannya, keputusan untuk mengajarkan atau tidak mengajarkan anak-anak tentang konformitas terhadap perilaku menyumbang harus didasarkan pada pemahaman mendalam tentang konteks budaya, nilai keluarga, kapasitas ekonomi, serta kebebasan berpikir dan tindakan anak-anak.

Secara makro, perilaku menyumbang dalam bentuk 120 kotak makanan bagi tetangga dalam desa tersebut dapat dianalisis menggunakan teori dari Niccolò Machiavelli, terutama teori politiknya yang terkenal dalam bukunya "The Prince."

Menurut Machiavelli, tujuan utama seorang penguasa atau pemimpin adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mencapai kemenangan dalam setiap situasi politik, termasuk dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dia menekankan bahwa seorang penguasa harus mampu memanipulasi dan mengendalikan situasi politik serta memanfaatkan berbagai sumber daya untuk mencapai tujuannya.

Dalam konteks perilaku menyumbang dalam desa tersebut, seorang calon kepala daerah yang ingin menang dalam Pilkada dapat menggunakan kebiasaan dan adat menyumbang 120 kotak makanan ini sebagai salah satu strategi politiknya. Berikut adalah beberapa cara bagaimana perilaku menyumbang ini dapat sesuai dengan kebiasaan seorang yang ingin menang dalam Pilkada menurut teori Machiavelli:

1. Membangun dukungan politik: Menyumbang 120 kotak makanan dalam momen-momen penting seperti kelahiran, kematian, atau syukuran, dapat meningkatkan popularitas calon kepala daerah di antara penduduk desa. Penduduk desa mungkin merasa dihargai dan diakui oleh calon kepala daerah karena mereka secara konsisten mendukung tradisi dan adat yang penting bagi mereka.

2. Menciptakan citra sosial: Perilaku menyumbang dalam jumlah besar ini dapat menciptakan citra sosial calon kepala daerah sebagai sosok yang peduli, murah hati, dan berempati terhadap masyarakat. Citra positif ini dapat membantu dalam mempengaruhi persepsi publik tentang calon kepala daerah dan meningkatkan daya tariknya sebagai pemimpin potensial.

3. Memperkuat keterikatan sosial: Melalui kebiasaan menyumbang ini, calon kepala daerah dapat memperkuat keterikatan sosial antara dirinya dan penduduk desa. Dengan berpartisipasi dalam tradisi dan adat yang sama, calon kepala daerah bisa merasa lebih terhubung dengan masyarakat desa, sehingga meningkatkan kesempatan untuk mendapatkan dukungan politik mereka.

4. Mengurangi resistensi politik: Jika kebiasaan menyumbang sudah menjadi norma sosial yang kuat dalam desa tersebut, calon kepala daerah yang tidak mengikuti kebiasaan ini mungkin akan menghadapi resistensi politik dari masyarakat desa. Oleh karena itu, untuk


menghindari ketidaksetujuan dan konflik potensial, calon kepala daerah mungkin akan lebih cenderung untuk mematuhi kebiasaan tersebut sebagai bagian dari strategi politiknya.

Namun, perlu diingat bahwa kesesuaian perilaku menyumbang ini sebagai strategi politik dapat berbeda-beda tergantung pada situasi dan kondisi politik yang lebih luas. Teori Machiavelli ini menyajikan perspektif yang realistis tentang politik dan cara-cara seorang pemimpin dapat memanfaatkan berbagai faktor untuk mencapai tujuannya, termasuk mengikuti kebiasaan dan adat setempat.

Referensi :

 Manik, D. M. P. P. (2021). Dinamika Tradisi Nyumbang pada Masyarakat (Studi Kasus: Desa

 Pematang Ganjang, Serdang Bedagai). Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, 2(04), 595-602.

 Saputri, E. D., & Ashari, M. H. (2019). Tradisi Buwuh Dalam Perspektif Akuntansi Piutang dan

 Hibah di Kecamatan Lowokwaru Kota Malang.PRIVE: Jurnal Riset Akuntansi dan

 Keuangan, 2(1), 16-25.

 Syukur, M. (2020). Resiprositas Dalam Daur Kehidupan Masyarakat Bugis. Neo-Societal, 5(2),

 99-111.

 Hudayana, B. (1991). Konsep resiprositas dalam antropologi ekonomi. Humaniora, (3).

 Udin, N. H. W. (2016). Perspektif Islam Tentang Resiprositas Hubungan Pelestarian Alam dan

 Kehidupan Sosial. Maraji: Jurnal Ilmu Keislaman, 2(2), 355-381.

 

  

0 komentar:

Posting Komentar