Kamis, 20 Juli 2023

UAS: Psikologi Sosial “Tradisi Nyumbang” _ Nazarudin Latif _ 22310410082_ Psikologi Sp

 UJIAN AKHIR PSIKOLOGI SOSIAL

NamaNazarudin Latif

NIM22310410082

Mata kuliahPsikologi Sosial

Dosen Pengampu: Dr., Dra  Arundati Shinta MA

UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP TA. 2022-2023

 

Mata Kuliah & Kode

:

Psikologi Sosial – PSKM 2032

Waktu Pengerjaan

:

Kamis 20 Juli 2023 pukul 0800 WIB – Jumat 21 Juli 2023 pukul 1200 WIB.

Petunjuk

:

➢ Tulislah judul dengan jelas dan diiringi dengan “Ujian Akhir Psikologi Sosial dengan pengampu Arundati Shinta”. 
➢ Tulisan harus dipublikasikan di majalah Klinik Psikologi, jumlah kata 500-600 tidak termasuk daftar pustaka. 
➢ Mahasiswa mengirimkan link tulisan pada ketua kelas maksimum pukul 1100 WIB, dan ketua kelas mengirimkan kepada dosen maksimum pukul 1200 WIB.
➢ Butir-butir yang akan dinilai antara lain: judul lengkap, keberadaan ilustrasi tulisan, permasalahan jelas, ada solusinya, tidak plagiasi, jumlah kata, daftar pustaka, dan penataan bahasa.
➢ Gunakan 3 jurnal di bawah ini. 

Pengampu

:

Arundati Shinta

Jenis ujian

:

Take home

Kelas (Ketua kelas)

:

A (Putri Arumsari), SP (Ilma Putri Andriansih) dan

SJ (Novita Prabandari)

 

 

 

 

Anda tinggal di suatu desa di Yogya, yang mana adat dan kebiasaan penduduknya sangat unik. Jumlah penduduk desa tersebut adalah sekitar 120 keluarga. Ketika Anda mempunyai anak maka sebagai tanda syukur adalah Anda harus menyumbang 120 kotak makanan untuk tetangga Anda. Ketika salah satu anggota keluarga Anda meninggal dan harus membuat upacara penghormatan bagi kerabat yang meninggal, maka Anda juga harus menyumbang 120 kotak makanan untuk tetangga Anda. Ketika salah satu anak Anda dikhitan (disunat) dan mengadakan syukuran, maka Anda harus mengirimkan 120 kotak makanan bagi tetangga. Kebiasaan-kebiasaan itu dilakukan oleh seluruh penduduk desa tersebut. Artinya, Anda sebagai salah satu penduduk di desa itu, maka Anda selain harus menyumbang, Anda juga akan sering menerima kotak makanan dari tetangga Anda. Berdasarkan situasi tersebut, jawablah pertanyaan berikut:

 

1) Apa permasalahan dari kasus tersebut di atas? Ingatlah, yang disebut dengan permasalahan adalah segala sesuatu yang menyimpang dari keadaan ideal. 
2) Bila Anda tinggal di daerah itu dan mengalami permasalahan pada nomor 1 tersebut, apa yang akan Anda lakukan? Ingatlah, pindah tempat tinggal adalah sangat sulit, karena butuh biaya yang luar biasa banyak. 
3) Apakah situasi tersebut menunjukkan perilaku bergotong royong atau adanya ketakutan akan dampak dari perilaku tidak conform pada tetangga? Alasan Anda?  
4) Sesuai dengan teori Albert Bandura, apakah Anda akan mengajarkan pada anak Anda tentang konformitas terhadap perilaku menyumbang tersebut? Alasan Anda? 
5) Secara makro, apakah perilaku menyumbang ini sesuai dengan kebiasaan seseorang yang ingin menang di Pilkada (pemilihan kepala derah)? Jawaban hendaknya menggunakan teori dari Niccolo Machiavelli. 

 

Sebagai catatan, rujukan yang harus Anda gunakan minimal 3 yakni: 

 

 

 

 

 

 

 

--- SELAMAT BEKERJA ---

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tradisi Nyumbang dan Pergeseran Nilainya Ujian Akhir Psikologi Sosial 

“Perangkat nyumbang yang dibawa seseorang untuk sohibul hajat adalah simbol bagaimana manifestasi gotong royong diwujudkan kendati kini telah bergeser nilainya. Tradisi nyumbang ini membentuk pola perilaku masyarakat bagaimana berpikir sebuah pengembalian yang impas.”

“Nyumbang dalam terminologi tradisi tidak seperti nyumbang dalam arti istilah yaitu memberi ‘Cuma-Cuma’ dan tak mengharap imbalan. Dalam kajian budaya, nyumbang adalah simbol benteng sosial bagi masyarakat.”.

Orang Jawa dalam kehidupannya, baik pribadi maupun bermasyarakat memiliki prinsip dan pandangan hidup. Prinsip dan pandangan hidup itulah yang mempengaruhi pola perilakunya.

Prinsip dan pandangan hidup ini tentu mencakup bagaimana hidup seimbang antara hidup sebagai pribadi maupun di lingkungan masyarakat. Kita tentu paham dan mengenal perinsip-prinsip Jawa yang begitu kokoh menjadi prinsip masyarakatnya seperti, ‘Sepi ing gawe, rame ing pamrih’, ‘mamayu hayuning bawono, rukun agawe santosa, dsb.

Prinsip-prinsip di atas bermakna, Sepi ing pamrih rame ing gawe (bekerja tanpa pamrih). Mamayu hayuning bawono (ikut mendukung kebaikan dunia), rukun agawe santosa (kerukunan menumbuhkan keamanan dan kenyamanan). Konsep pemikiran ini menjadi etos kerja orang Jawa, menumbuhkan spirit semangat bekerja dan berbagi saling membantu sesama agar tercipta kerukunan, ketertiban dan keselarasan hidup bermasyarakat.

Spirit berbagi pada masyarakat Jawa termanifestasi dalam bentuk kerja-kerja nyata yang telah menjadi tradisi, misalnya; gotong royong. Gotong royong pada masyarakat Jawa terwujud dalam banyak bentuk. Gotong royong ini bertujuan utama ikut meringankan beban orang lain, dilakukan secara suka rela dan tidak menuntut balasan atau bayaran.

Nyumbang adalah salah satu bentuk gotong royong. Nyumbang juga merupakan tradisi masyarakat Jawa, untuk membantu sesama yang sedang mempunyai hajat. Nyumbang biasanya berwujud pemberian barang dalam bentuk materi baik uang maupun barang. Dahulu, masyarakat Jawa nyumbang dengan memberikan kebutuhan pokok berupa; beras, mi, gula, teh, juga beberapa kebutuhan lain. Kini, masyarakat berkecenderungan memilih barang yang lebih simpel. Akhirnya nyumbang diganti dengan pemberian dalam bentuk uang, lebih simpel dan fleksibel.

Nyumbang biasa dilakukan pada acara hajatan. Dari hajatan kelahiran, pernikahan hingga kematian. Di masyarakat Jawa Timur nyumbang popular dengan istilah ‘Buwuh’ atau di masyarakat lain ada yang menyebutnya ‘Mbecek’ atau ‘Jagong’.

 

Nilai Nyumbang

Nyumbang berkembang dari masyarakat lampau yang masih sangat kental dan tinggi solidaritasnya. Entitas-entitas berupa paguyuban, kelompok masih banyak sehingga tradisi nyumbang tumbuh begitu subur. Nilai-nilai yang tersemat dalam tradisi ini adalah nilai gotong royong dan guyub rukun. Namun, menariknya tradisi nyumbang masih juga bertahan dan berkembang di masyarakat modern yang sudah kental dengan individualistiknya. Sifat masyarakat modern yang organis ternyata tak serta merta menghilang tradisi nyumbang ini. Hanya saja, banyak nilai-nilai yang kemudian bergeser.

Faktanya, kini nyumbang tidak lagi berangkat dari spirit gotong royong, keikhlasan dan tanpa pamrih melainkan balas jasa yang sifatnya keharusan. Parahnya lagi, nyumbang kini menjadi projek nitip harta, dan projek kapitalisasi. Mengapa ‘nitip’ harta? Ya, harta yang disumbangkan oleh orang lain akan dicatat yang esok suatu hari yang menerima sumbangan memiliki kewajiban untuk mengembalikan dengan nilai nominal yang sama. Kita bisa lihat dengan jelas bagaimana kotak-kotak sumbangan nangkring gagah di dekat pintu masuk ruang resepsi, juga sering kita temukan tulisan yang tersemat di undangan, ‘maaf hanya menerima sumbangan dalam bentuk uang’, bukankah itu projek kapaitalisasi? Yang karenanya nilai-nilai nyumbang yang diwariskan oleh nenek moyang menjadi bias.

Prasetyo (2007) menyebut bahwa tradisi nyumbang merupakan asuransi sosial yang berbentuk sangat sederhana.

 

Menyumbang merupakan bentuk perilaku masyarakat dalam meminimalisir dan mendistribusikan beban kehidupan mereka, terlebih dalam menghadapi resiko dan ketidakpastian masa depan.

Seperti misalnya, seseorang menyumbang banyak materi seperti beras, kambing, ayam, sayur, bumbu dapur, dan sembako yang lain, maka di masa depan dia merasa telah memiliki jaminan atas kebutuhan-kebutuhan tersebut dari orang yang sudah diberi,

Dari sini terlihat bagaimana konsep menyumbang dengan landasan gotong royong, kerukunan dan keikhlasan telah pudar nilainya. Yang ada adalah budaya ‘titip bandha’ yang suatu saat titipan itu harus dikembalikan. Melihat fenomena ini, spirit gotong royong pun juga semakin surut. Mereka yang tidak mampu ‘mengembalikan’ sumbangan memilih berhutang dari pada digunjing.

Jelas bukan semangat gotong royong lagi yang menjadi landasan, terlebih kerukunan dan keikhlasan. Mereka memaksakan diri agar bisa mengembalikan titipan bandha tersebut. Bagaimana dengan si miskin yang juga takut digunjing dan dikucilkan? Sementara ketika musim hajatan, ‘keharusan’ menyumbang ini tak hanya satu tempat saja. Tentu ini akan menjadi tradisi yang sangat memberatkan, juga merugikan. Alih-alih ingin mengikuti pola kepatutan umum, yang ada malah menciptakan hutang yang menumpuk.

Tak heran, pada perayaan hajatan sekarang ini yang terlihat adalah upaya akumulasi modal sang sohibul hajat (yang punya hajat). Serupa mengumpulkan modal untuk mengganti modal hajatan yang telah keluar dan menyimpan kembali sisanya. Ini sudah bukan rahasia umum. Kendati ada sebagian sohibul hajat yang mengeluhkan justru uang yang terkumpul dari hasil penyumbang tidaklah cukup mengkaver modal untuk acara hajatan.

Ini tentu lebih konyol lagi. Hajatan memiliki nilai berbagi, dalam agama Islam kita mengenalnya sedekah. Nilai-nilai ini yang menjadi spirit ‘wani tuna’, berani rugi karena memang niatnya sesuai dengan nilai yang terkandung dalam konsep hajatan, yaitu berbagi kebahagiaan kepada sesama. Namun, nilai ini pun bergeser. Layaknya berdagang hajatan seolah harus ada ‘turahan’. Setidaknya impas dengan modal yang sudah dikeluarkan.

 

Tradisi nyumbang dalam hajatan kini tak lagi mengacu pada nilai-nilai yang diwariskan oleh nenek moyang. Budaya gotong royong sudah dikapitalisasi, nyumbang bukan lagi tentang kerukunan, melainkan keharusan atas alasan ‘pekewuh’ dan tidak enak dsb.Sering, besaran nilai sumbangan yang diberikan harus pilih-pilih, tidak atas niat menyumbang atau membantu, tetapi tuntutan gengsi.

 

Nyumbang dalam Kacamata Sosiologis

Dasar dari teori interaksionisme simbolik adalah teori behaviorisme sosial, yakni memusatkan diri sendiri pada interaksi alami yang terjadi antara individu dalam masyarakat dan sebaliknya, masyarakat dan individu. Interaksi yang muncul berkembang lewat simbol-simbol yang diciptakan, meliputi kebendaan, gerak tubuh, suara, gerak fisik, ekspresi hingga dilakukan dengan sadar.

Pada simbol-simbol yang dihasilkan oleh masyarakat mengandung makna yang bisa dimengerti oleh orang lain, Herbert menyebut gerak tubuh sebagai simbol signifikan sementara gerak tubuh mengacu pada tiap tindakan yang memiliki makna. Makna yang ada ditanggapi oleh orang lain dan memantulkannya lagi sehingga terjadi adanya interaksi.

Perangkat nyumbang yang dibawa seseorang untuk sohibul hajat adalah simbol bagaimana manifestasi gotong royong diwujudkan kendati kini telah bergeser nilainya. Tradisi nyumbang ini membentuk pola perilaku masyarakat bagaimana berpikir sebuah pengembalian yang impas. Nyumbang dalam terminologi tradisi tidak seperti nyumbang dalam arti istilah yaitu memberi ‘Cuma-Cuma’ dan tak mengharap imbalan. Dalam kajian budaya,nyumbang adalah simbol benteng sosial bagi masyarakat.

Menurut BRM. Kusumo Putro, SH, MH, ketua Yayasan Forum Budaya Mataram (2022), spirit atau semangat nyumbang didasari atas jiwa gotong-royong. Dimana inti dari semangat gotong-royong adalah bersatu untuk mewujudkan sesuatu. Dengan semangat gotong-royong, maka semua merasa berkewajiban untuk ikut andil dalam sebuah event, ataupun sebuah ide gagasan dalam komunitas atau koloninya. Jelas, dalam budaya atau tradisi sumbang-menyumbang tersebut, sarat akan nilai-nilai positif kearifan lokal. Misalnya tentang persatuan, juga keberagaman status sosial atau ekonomi yang bisa melebur menjadi satu tanpa diskriminasi apapun. Selain itu, tradisi tersebut juga menjadi semacam benteng sosial bagi masyarakat. Artinya menjadi semacam pertahanan atau solusi terakhir dalam memecahkan sebuah masalah.

 

JAWABAN PERTANYAAN

1. Apa permasalahan dari kasus tersebut di atas? Ingatlah, yang disebut dengan  permasalahan adalah segala sesuatu yang menyimpang dari keadaan ideal.  

Jawaban: Kasus diatas di ketahui “Perangkat nyumbang yang dibawa seseorang untuk sohibul hajat adalah simbol bagaimana manifestasi gotong royong diwujudkan kendati kini telah bergeser nilainya. Tradisi nyumbang ini membentuk pola perilaku masyarakat bagaimana berpikir sebuah pengembalian yang impas.”

2. Bila Anda tinggal di daerah itu dan mengalami permasalahan pada nomor 1 tersebut, apa yang akan Anda lakukan? Ingatlah, pindah tempat tinggal adalah sangat sulit, karena butuh biaya yang luar biasa banyak.  

Jawaban : kasus ini mayoritas di daerah perkampungan memang memiliki solidarias yang tinggi,memiliki empati dan rasa gotong royong dan akan menjadi pola kebiasaan masyarakat

3. Apakah situasi tersebut menunjukkan perilaku bergotong royong atau adanya ketakutan akan dampak dari perilaku tidak conform pada tetangga? Alasan Anda?  

Jawaban: Masyarakat Jawa memiliki jiwa kegotongroyongan dan kekeluargaan yang tinggi dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta suatu solidaritas antar masyarakat. Bentuk pemahaman masyarakat yang memaknai nyumbang sebagai wujud solidaritas atau membantu sesama tanpa ada rasa pamrih adalah tidak mencatat setiap sumbangan yang sudah diberikan kepada orang lain.

4. Sesuai dengan teori Albert Bandura, apakah Anda akan mengajarkan pada anak Anda tentang konformitas terhadap perilaku menyumbang tersebut? Alasan Anda?  

Jawaban: Tentu saja anak akan meniru kebiasaan orang tua nya atau orang yang dia lihat. Mereka akan mengajarkan kepada anak-anak mereka

5. Secara makro, apakah perilaku menyumbang ini sesuai dengan kebiasaan seseorang yang ingin menang di Pilkada (pemilihan kepala derah)? Jawaban hendaknya menggunakan teori dari Niccolo Machiavelli.  

Jawaban : Nicolo Machiavelli memandang kekuasaan bukanlah semata – mata untuk kepentingan diri sendiri, akan tetapi itu semua adalah untuk kehormatan dan kesejahteraan, itulah prinsip Machiavelli. Tidak juga hal itu berkaitan dengan seseorang yang ingin memenangkan pilkada karena menyumbang merupakan tradisi masyarakat turun temurun sebagai wujud gotong royong.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

https://nusantarapedia.net/tradisi-nyumbang-dan-pergeseran-nilainya/

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0 komentar:

Posting Komentar