Senin, 15 Mei 2023

Essay 3 Mereview Jurnal Tentang Psikologi Sosial Zainal Derwotubun

Mereview Jurnal Tentang Psikologi Sosial

Zainal Derwotubun

Nim : 22310410061


Fakultas Psikologi 

Universitas Proklamasi 45

Yogyakarta


Topik

Stigma terhadap Orang dengan Gangguan Mental: Pengaruh informasi status gangguan mental terhadap penilaian daya tarik fisik pada mahasiswi S1 Psikologi

Sumber

Althea Mutiara Celina & Retha Arjadi* 1Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta Selatan, DKI Jakarta

Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh informasi tentang status gangguan mental terhadap penilaian daya tarik fisik pada mahasiswi S1 Psikologi, dengan sampel mahasiswi S1 Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya. Penelitian menggunakan metode randomized pretestposttest control group design dengan teknik kontrol blocking. Pemberian pretest-posttest menggunakan visual analogue scale dilakukan untuk mengukur penilaian partisipan atas daya tarik fisik objektif dan subjektif dari model laki-laki yang ditampilkan melalui foto. Di kelompok eksperimen (n=31, Mean usia=20,48, SD=1,18), partisipan diberikan informasi yang menunjukkan bahwa model memiliki gangguan mental skizofrenia, sedangkan di kelompok kontrol (n=32, Mean usia=20,59, SD=1,13), partisipan diberikan informasi yang menunjukkan bahwa model sehat secara mental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa informasi status gangguan mental berpengaruh secara signifikan pada penilaian daya tarik fisik secara objektif (U=405.000, n1=31, n2=32, p

Permasalahan

 

Isi

 

Metode

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan randomized pretest-posttest control group design. Terdapat dua kelompok penelitian, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kedua kelompok diminta untuk memberi penilaian mengenai daya tarik fisik pada foto seorang laki-laki yang sama. Sedangkan pada kelompok eksperimen, diberikan perlakuan berupa manipulasi variabel bebas (informasi bahwa laki-laki pada foto memiliki gangguan mental), dan pada kelompok kontrol diberikan perlakuan netral (informasi netral bahwa lakilaki pada foto memiliki kondisi yang sehat dan dapat menjalani fungsi-fungsi kesehariannya dengan baik). Variabel terikat pada penelitian ini adalah penilaian daya tarik fisik. Variabel terikat ini diukur dua kali, yaitu sebelum diberikan perlakuan dan setelah diberikan perlakuan pada masing-masing kelompok. Dapat dilihat pada

Hasil

Statistik deskriptif dari data penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa mean dari selisih skor prestest – posttest untuk daya tarik fisik objektif dan subjektif di kelompok kontrol yang bernilai positif menunjukkan adanya peningkatan skor pada sebagian partisipan setelah diberikan perlakuan. Sebaliknya, Mean untuk daya tarik fisik objektif dan subjektif di kelompok eksperimen yang bernilai negatif menunjukkan adanya penurunan skor pada sebagian partisipan setelah diberikan perlakuan berupa informasi bahwa model pada foto memiliki gangguan mental. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan penilaian partisipan di kedua kelompok penelitian, baik untuk penilaian daya tarik fisik objektif maupun daya tarik subjektif. Untuk melihat signifikansi dari perbedaan mean pada kedua kelompok, dilakukan uji beda Mann-Whitney U-test (dapat dilihat pada Tabel 5).

Kesimpulan

Penelitian yang melibatkan mahasiswi S1 Psikologi dengan sampel mahasiswi S1 FPUAJ memiliki hasil yang sejalan dengan penelitian Farina dkk. (1977), yang melibatkan masyarakat umum sebagai sampel penelitian. Meskipun mahasiswi S1 Psikologi memiliki pengetahuan yang lebih luas terkait gangguan mental, menerima ajaran untuk memandang individu yang memiliki gangguan mental dengan lebih objektif, serta dituntut untuk menginternalisasi nilai tersebut secara tidak langsung, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa informasi mengenai gangguan mental dapat menurunkan penilaian mereka terhadap daya tarik fisik seseorang, baik secara objektif maupun subjektif. Dari sini, peneliti melihat bahwa partisipan penelitian yang mempelajari ilmu Psikologi tidak serta merta bisa dipastikan dapat memandang individu dengan gangguan mental secara netral dalam konteks yang menyangkut isu personal, dalam hal ini ketertarikan fisik dalam konteks romantis. Hal ini dapat dijelaskan oleh pemahaman bahwa penilaian terhadap daya tarik fisik bukan sesuatu yang berdiri sendiri, namun erat terkait dengan kualitas-kualitas lain dari individu tersebut, seperti kepandaian dan kesuksesan dalam pekerjaan (Dion dkk., 1972; Eagly dkk., 1991; Langlois dkk., 2000). Adanya kualitas-kualitas ini pada laki-laki dapat memicu ketertarikan romantis perempuan, karena kualitas-kualitas tersebut akan mampu mendukung peran laki-laki dalam relasi romantis sesuai pandangan sosial. Peran yang dimaksud adalah sebagai pemberi nafkah untuk keluarga (Loscocco & Spitze, 2007). Berdasarkan penjelasan ini, secara umum, sulit bagi partisipan untuk melepaskan penilaian daya tarik fisik dari keterkaitannya dengan aspekaspek kualitas laki-laki sebagai calon pasangan dalam konteks hubungan romantis. Konsekuensinya, saat manipulasi berupa informasi mengenai status gangguan mental yang erat dengan atribut-atribut negatif (Link dkk.; Nunnally; Olmsted & Durham dalam Phelan & Link, 2004) disampaikan kepada partisipan, penilaian mereka terhadap daya tarik fisik model laki-laki pada foto pun jadi cenderung menurun. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa penilaian partisipan terhadap daya tarik fisik model tidak terlepas dari bias, lebih spesifiknya bias negatif, meskipun mereka sudah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gangguan mental. Menurut Rozin dan Royzman (2001), individu cenderung memberikan penekanan yang lebih besar terhadap hal-hal negatif dibandingkan hal-hal positif dalam melihat sesuatu. Pada penelitian ini, kelompok kontrol menerima stimulus yang positif, yaitu foto laki-laki normal, dalam arti tidak memiliki gangguan mental, dengan daya tarik fisik yang tinggi. Pada kelompok eksperimen, selain menerima stimulus yang positif berupa foto laki-laki dengan daya tarik fisik yang tinggi, partisipan juga menerima stimulus yang negatif, yaitu informasi mengenai status gangguan mental yang dimiliki laki-laki pada foto. Dalam penelitian ini, saat dihadapkan dengan suatu stimulus yang sepenuhnya bersifat positif, partisipan dengan sendirinya hanya akan menggunakan informasi tersebut sebagai dasar memberikan penilaian terhadap daya tarik fisik terhadap model pada foto. Namun, saat dihadapkan dengan dua stimulus yang sifatnya positif dan negatif sekaligus, informasi yang negatif akan cenderung lebih dipertimbangkan dalam memberikan penilaian. Oleh karena itu, meskipun model pada foto memiliki daya tarik fisik yang tinggi (stimulus positif), partisipan akan cenderung memberikan penilaian akhir terhadap daya tarik fisik tersebut berdasarkan status gangguan mental yang dimiliki model (stimulus negatif). Perbedaan penilaian yang diberikan oleh partisipan di kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dapat dijelaskan berdasarkan teori prospek yang dikemukakan oleh Kahneman & Tversky (1979). Teori tersebut menjelaskan bahwa bias negatif erat kaitannya dengan penghindaran kerugian, yaitu kecenderungan individu untuk menghindari kerugian dibandingkan memperoleh keuntungan dalam menimbang sesuatu (Tversky & Kahneman, 1991). Jika dikaitkan dengan penelitian ini, saat memberikan penilaian akhir terhadap daya tarik fisik model pada foto, partisipan pada kelompok eksperimen dapat dikatakan cenderung menghindari kerugian. Dalam konteks ketertarikan romantis seperti saat mencari calon pasangan, adanya gangguan mental dapat dianggap merugikan karena terkait dengan penurunan atau bahkan hilangnya fungsi personal dan interpersonal (APA, 2013). Hal ini sekaligus dapat menambah wawasan untuk studi mengenai penghindaran kerugian, yaitu bahwa objek yang menjadi pembahasan tidak terbatas pada barang atau materi yang berwujud seperti uang (Rozin & Royzman, 2001), melainkan bisa juga berupa aspek yang tidak berwujud seperti trait individu, dan bagaimana aspek sosial mempengaruhinya. Lebih lanjut, berdasarkan perhitungan effect size, pengetahuan tentang status mental lebih besar pengaruhnya pada penilaian daya tarik fisik seseorang secara subjektif. Hal ini dapat didasari pada dua proses kognitif yang dilibatkan dalam penilaian daya tarik, yaitu “Sistem 1” atau yang sifatnya lebih spontan dan “Sistem 2” atau yang sifatnya lebih terkontrol (Gawronski & Creighton, 2013). Jika dikaitkan dengan kon-teks penelitian ini, pertimbangan yang dilakukan saat menilai daya tarik fisik subjektif (“seberapa menarik”) memang lebih kompleks dibandingkan saat menilai daya tarik fisik objektif (“seberapa tampan”). Saat partisipan diminta untuk menilai secara objektif, mereka hanya mengandalkan inderanya, atau apa yang dilihat oleh matanya secara langsung tanpa mempertimbangkan hal lain. Berbeda ketika partisipan diminta untuk menilai model secara subjektif, yaitu tidak hanya terpaku pada fitur wajahnya tetapi juga mempertimbangkan aspek lain yang tidak dilihatnya secara langsung. Di sini, partisipan akan mengacu pada informasi status mentalnya, sebagai satusatunya informasi tentang model yang mereka ketahui, dan cara memaknai informasi tersebut akan berbeda pada masing-masing partisipan. Informasi tersebut akan lebih berpengaruh pada caranya dalam menilai daya tarik fisik model, karena secara tidak langsung hal ini akan mempengaruhi penilaian seseorang dalam pemilihan pasangan—seperti yang dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa pertimbangan untuk memilih pasangan tidak hanya dari tampilan fisik seseorang tetapi juga dari kesehatan yang dimilikinya. Hal lain yang menjadi pembahasan pada penelitian ini adalah terdapat dua partisipan di kelompok eksperimen yang mengetahui bahwa model memang memiliki perilaku yang mengarah pada gangguan mental berdasarkan informasi yang diberikan oleh peneliti. Namun, keduanya memberikan pernyataan di lembar manipulation check bahwa raut muka model tampak normal dan merasa bahwa model tersebut tidak sewajarnya memiliki gangguan mental. Secara khusus, salah satu partisipan mengungkit bahwa senyuman yang ditampilkan oleh model tampak tidak dipaksakan, selayaknya senyuman orang pada umumnya. Teori klasik mengenai ekspresi menyatakan bahwa arti di balik senyuman adalah kebahagiaan (Ekman & Friesen, dalam Kraut & Johnson, 1979). Seseorang yang merasa senang cenderung menampilkan senyuman kecuali dirinya ingin menutupi hal tersebut (Kraut & Johnson, 1979). Kebahagiaan sendiri merupakan salah satu aspek penting dalam kesehatan (Cohn dkk., 2009) dan kesejahteraan atau well-being seseorang (Honkanen dkk., 2005). Di sisi lain, kesejahteraan atau well-being tersebut menunjukkan hubungan yang negatif dengan gejala gangguan mental (Keyes dalam Rahman dkk., 2016), sehingga dapat dikatakan bahwa individu dengan gangguan mental memiliki tingkat wellbeing yang rendah. Atas dasar ini, sebagian orang mungkin memiliki persepsi bahwa individu yang bisa berbahagia dan tersenyum adalah individu yang normal dan tidak memiliki gangguan mental, dan sebaliknya, individu yang memiliki gangguan mental kurang bisa berbahagia dan tersenyum. Mereka merasa bahwa individu dengan gangguan mental tidak sewajarnya tersenyum, tetapi lebih mungkin untuk menunjukkan eskpresi sedih atau murung karena permasalahan yang dialaminya. Padahal, menurut penelitian yang dilakukan oleh Tron dkk. (2015), individu dengan gangguan skizofrenia pun masih bisa tersenyum, meskipun dengan intensitas yang lebih sedikit. Berdasarkan diskusi hasil penelitian yang telah dijabarkan di atas, peneliti menyadari bahwa hasil penelitian ini masih dapat dikaji lebih lanjut pada penelitian selanjutnya. Peneliti merekomendasikan penelitian selanjutnya untuk melakukan penelitian serupa pada konteks personal lain di luar daya tarik dalam konteks romantis. Peneliti juga merekomendasikan penelitian selanjutnya untuk menggunakan kelompok sampel lain yang masih relevan, misalnya orangorang dengan latar belakang ilmu Psikologi yang sudah bekerja di bidang Psikologi pula. Kontrol terhadap latar belakang etnis partisipan perlu dipertimbangkan karena etnis seringkali sulit dilepaskan dari konteks ketertarikan fisik. Selain itu, penting untuk memperhatikan detil manipulasi yang diberikan pada saat eksperimen, misalnya memilih model dengan ekspresi netral untuk ditampilkan pada partisipan. Lebih lanjut, ada keterbatasan yang perlu disadari terkait desain eksperimental yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini dijalankan dalam kondisi laboratori terkontrol dengan penekanan kekuatan pada validitas internal untuk menjelaskan hubungan sebab akibat yang bersifat esensial antarvariabel, sehingga penerjemahan hasilnya ke dalam kondisi nyata di lapangan perlu dilakukan dengan hati-hati. Selain itu, terkait kontrol variabel sekunder, walaupun penelitian ini telah berusaha melakukan kontrol ketat terhadap variabel sekunder yang diprediksi dapat mempengaruhi hasil penelitian, kemungkinan adanya variabel lain yang dapat mempengaruhi hasil penelitian di luar prediksi tetap perlu disadari dan dipertimbangkan dalam studi selanjutnya. Penelitian ini memiliki implikasi untuk memberikan gambaran mengenai tantangan yang dapat dihadapi individu-individu dengan gangguan mental, khususnya dalam konteks hubungan romantis, mengingat penilaian terhadap daya tarik fisik mereka dapat menurun seturut terbukanya status gangguan mental mereka. Implikasi lain dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kesadaran bahwa, bahkan pada orang-orang yang berkuliah S1 Psikologi, dapat terjadi kesenjangan yang esensial antara pemahaman mengenai gangguan mental dengan penilaian, dalam hal ini penilaian mengenai daya tarik fisik, yang diberikan terhadap individu dengan gangguan mental. Artinya, pemahaman yang dimiliki mengenai gangguan mental perlu diimbangi dengan kepekaan terkait bias-bias yang mungkin muncul saat melakukan penilaian terhadap individu-individu dengan gangguan mental, agar penilaian yang akhirnya diberikan tidak merugikan mereka.

 

0 komentar:

Posting Komentar