Jumat, 05 Mei 2023

Essay 3 Meringkas Jurnal Panic Buying Pada Pandemi COVID-19

 Panic Buying Pada Pandemi COVID-19

Essay 3 Psikologi Sosial

 Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta, MA.

 


 Anis Nur Latifah

22310410042

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi

45 Yogyakarta

 

Topik

Panic buying, COVID-19, pandemi, psikologi, literature review Citra Tubuh pada Remaja Pengguna Instagram

Sumber

 Panic buying pada pandemi COVID-19: Telaah literatur dari perspektif psikologi. Jurnal Psikologi Sosial. 2021, Vol. 19, No. 02: Special Issue COVID-19, 131-141

Permasalahan

 Hingga 11 Mei 2020, WHO melaporkan sebanyak lebih 3,9 juta kasus corona virus disease 2019 atau COVID-19 terkonfirmasi diantara 215 negara (World Health Organization (WHO), 2020). Bebebrapa negara melaporkan terjadinya fenomena panic buying sebagai respon dari adanya pandemi ini. Dengan demikian, tidak hanya COVID-19, tetapi panic buying juga menyebar ke seluruh dunia. Indonesia sendiri, sesaat setelah pengumuman dua orang pertama yang positif terinfeksi COVID-19 pada 2 Maret 2020, beberapa stok barang seperti makanan pokok, hand sanitizer, hingga masker habis diserbu oleh masyarakat di Jakarta (Putra, 2020). Tidak hanya terjadi di Jakarta, fenomena ini juga terjadi di beberapa daerah lain, seperti Surabaya dan beberapa kota lainnya (Wahyudi, 2020). Selain wabah, panic buying juga dapat terjadi saat muncul perkiraan bencana alam (Wai Man Fung & Yuen Loke, 2010) hingga bencana non-alam seperti krisis akibat nuklir (Li, Wang, Gao, & Shi, 2017; Zhao, Zhang, Tang, & Kou, 2016)

Tujuan Penelitian

Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan lebih dalam mengenai perbedaan antara panic buying dengan buying frenzies, compulsive buying, dan impulsive buying. Ciri-ciri panic buying, dan memberikan beberapa saran implikasi praktis menghadapi panic buying.

Isi

 Panic buying = Pada kajian sosiologi, panic atau panik populer merupakan bentuk perilaku kolektif (Oliver, 2013; Quarantelli, 2001; Shadiqi, in press). Istilah perilaku kolektif ini merujuk pada aksi yang muncul tiba-tiba, spontan, bukan aktivitas rutinitas, dan cenderung tidak sesuai norma (non-normatif) (Oliver, 2013). Zhao dkk. (2016) mengategorikan panic buying sebagai perilaku kolektif. Karakteristik panik pada perspektif gangguan kejiwaan ditandai dengan serangan panik secara berulang-ulang, tiba-tiba, dan tidak terduga (Parks, 2013). Secara khusus, Strahle dan Bonfield (1989) lebih cenderung mengaitkan kepanikan konsumen pada perilaku kolektif melalui kajian sosiologi. Panik ditandai dengan ciri perilaku yang muncul secara tiba-tiba. Jika dikaitkan lebih jauh dengan panic buying pada isu COVID-19, fenomena ini mempunyai benang merah yang sama, yaitu terjadi secara tiba-tiba dan tidak terkontrol. 

Perbedaan panic buying dan buying frenzies = Pada perilaku panic buying lebih didasarkan pada kekhawatiran akan ketersediaan barang di masa depan (Shou dkk., 2011). Buying frenzies membuat orang berani membeli dengan harga yang lebih mahal karena ketidakjelasan penilaian suatu barang (Courty & Nasiry, 2016; Kendall, 2018).

Istilah lain yang mirip dengan panic buying juga dalam hal perilaku belanja adalah impulsive buying. Perilaku impulsive buying merupakan perilaku pembelian barang dengan sedikit atau tanpa pertimbangan setelah hasil dari dorongan mendadak dan kuat (Amos, Holmes, & Keneson, 2013; Block & Morwitz, 1999).

Compulsive buying adalah perilaku konsumen yang maladaptif, berlebihan berbelanja, dan mengganggu fungsi kehidupan sosial pribadi (Faber, O’Guinn, & Krych, 1987; Maraz, Griffiths, & Demetrovics, 2016).

Mengapa panic buying terjadi?

Perilaku Konsumen. Istilah yang diajukan oleh Arafat dkk. (2020) untuk menjawab penyebab panic buying dari faktor perilaku konsumen, yaitu persepsi kelangkaan barang. Artinya, panic buying dapat terjadi karena banyak orang-orang menilai bahwa ada barang-barang tertentu yang akan langka saat terjadi wabah penyakit.

Ketakutan dan kecemasan. Kecemasan yang terjadi pada masyarakat luas dapat mengakibatkan terjadinya panic buying saat wabah COVID-19 (Roy dkk., 2020). Pada kasus COVID-19, perilaku panic buying terjadi karena orang-orang mengalami konflik psikologi, antara keinginan untuk tetap aman dengan keinginan untuk hidup secara normal dan menyenangkan (Bacon & Corr, 2020).

Stres. Sebuah studi longitudinal menunjukkan bahwa respons stres meningkat saat ada kejadian yang mengancam dengan kesehatan fisik dan mental dari waktu ke waktu (Garfin dkk., 2020). Apalagi respon stres dapat meningkatkan suatu perilaku mencari bantuan yang tidak seimbang dan tidak tepat untuk dilakukan dalam menanggapi sebuah ancaman aktual (Garfin dkk., 2020).

Ketidakpastian. Pada kasus COVID19, orang-orang dapat mengalami konflik psikologis, yakni antara usaha untuk mempertahankan rutinitas dengan menghadapi ketidakpastian berakhirnya pandemi ini (Sim, Chua, Vieta, & Fernandez, 2020). Ketidakpastian juga berkaitan dengan konsumsi barang (Kalina & Tilley, 2020), artinya berupa ketidakpastian ketersediaan barang.

Peran paparan media. Masyarakat tidak akan panik jika mereka memiliki informasi yang tepat tentang peristiwa yang sedang terjadi. Fast dkk. (2015) juga menjelaskan bahwa kepanikan individu terkait wabah juga dipicu oleh rangsangan dari media massa dan komunikasi antar-tetangga di sebuah jejaring sosial. Berdasarkan perspektif psiko-sosiologis, kepanikan dipandang sebagai sifat bawaan dari kecemasan pribadi, yaitu ketika orang merasa tegang terkait kehidupan mereka, maka individu tersebut cenderung sangat sensitif untuk menyumbangkan kekhawatiran dalam pola sosial yang lebih luas (Cheng, 2004).

Metode Penelitian

Ini penelitian menggunakan pendekatan telaah literatur (literature review) yang terdiri dari bagian pendahuluan, metode penelitian, diskusi, dan kesimpulan (Kysh, 2013).

Untuk menjelaskan fenomena panic buying, kami melakukan pencarian dengan menggunakan kata kunci “panic buying” dan “panic bought” di pangkalan data PsycArticles dan PsycINFO. Kami memulai pencarian artikel dari tahun 2003 hingga 2020.

Kami menambahkan beberapa artikel yang ditelaah dari sejumlah 101 hasil pencarian di ScienceDirect. Di antara ratusan hasil pencarian tersebut terdiri dari 23 artikel dengan jenis: artikel telaah (review article), artikel penelitian (research article), surat atau korespondensi (correspondence), artikel diskusi, dan catatan editor.

Hasil

Panic buying merupakan perilaku belanja konsumen yang didorong oleh kekhawatiran dan ketakutan akan ketersediaan barang di masa depan dengan tetap mencari manfaat fungsional dari proses belanja namun dalam jumlah yang berlebihan atau di luar kebutuhan konsumen tersebut. Ciri-ciri perilaku ini ditandai dengan perilaku yang tiba-tiba, tidak terkontrol, dilakukan banyak orang, berlebihan, dan didasari oleh kekhawatiran.

Faktor penyebab perilaku panic buying, yaitu faktor dari perilaku konsumen (munculnya persepsi kelangkaan barang), adanya ketakutan, kecemasan, perasaan tidak aman, konflik psikologis, stres, persepsi ketidakpastian, dan paparan media.

Saran implikasi praktis menghadapi panic buying, yaitu (1) membatasi penjualan barang, misal setiap orang boleh membeli dengan jumlah tertentu setiap waktu tertentu (per minggu) dan penerapan besaran harga berkali-kali lipat jika konsumen membeli lebih dari jumlah yang ditentukan; (2) membuat aturan prioritas bagi orang lanjut usia dan anak-anak; (3) menguatkan peran otoritas dalam mengontrol harga, mengatur penyaluran barang, dan menindak oknum yang merugikan konsumen; (4) menyediakan pembelian barang secara daring dengan tetap menerapkan aturan jumlah barang dan prioritas pembeli; (5) menyebarkan informasi positif, jelas, terbuka, dan proporsional mengenai ketersediaan barang; (6) menekan penyebaran informasi yang menyesatkan dan palsu (hoaks).

Diskusi

Kepanikan berbelanja atau yang umumnya diistilahkan sebagai “panic buying” dapat dijelaskan sebagai perilaku konsumen berupa tindakan orang membeli produk dalam jumlah besar untuk menghindari kekurangan di masa depan (Shou dkk., 2011). Perilaku ini juga disebut sebagai perilaku penimbunan barang yang dilakukan oleh konsumen. Hal yang perlu digaris bawahi dalam definisi ini adalah konsumen membeli barang dalam jumlah banyak bukan bertujuan untuk mencari selisih harga yang akan timbul antara masa sekarang dan masa yang akan datang, tetapi bertujuan untuk menghindari kekurangan pasokan yang mungkin akan terjadi di masa depan.

Pada fenomena wabah COVID-19, orang-orang membeli masker karena dilanda kekhawatiran akan habisnya stok masker, ini disebut dengan panic buying. Sedikit berkebalikan, buying frenzies terjadi karena orang khawatir akan harga masker yang semakin tidak masuk akal, sehingga membeli secara banyak dan berani membeli dengan harga berapapun di pasaran.

Fenomena panic buying tampak menjadi sangat relevan jika dikaitkan dengan wabah COVID-19, karena orang cenderung menganggap sebuah ancaman virus baru memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan ancaman yang lebih umum seperti influenza (Hong & Collins, 2006).

 

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar