“PANIC
BUYING PADA PANDEMI COVID-19: TELAAH LITERATUR DARI PERSPEKTIF PSIKOLOGI”
Essay 3 Psikologi Sosial
Zaky Hilmi Muhammad
22310410065
Dosen Pengampu : Dr. Dra. Arundati Shinta, MA.
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
|
Topik |
Panic buying, COVID-19, pandemi, psikologi. |
|
Sumber |
Shadiqi, M. A., Hariati, R., Hasan, K. F. A., I’anah, N., & Al Istiqomah, W. (2021). Panic
buying pada pandemi
COVID-19: Telaah literatur dari perspektif psikologi. Jurnal Psikologi Sosial, 19(2), 131-141. |
|
Permasalahan |
Hadirnya
pandemi COVID-19 berdampak pada kesehatan, sosial, ekonomi, hingga psikologis. Salah satu dampak
dari COVID-19 adalah panic buying. Tidak
hanya COVID-19, tetapi
panic buying juga menyebar ke seluruh dunia. Mulai dari Singapura hingga
Amerika Serikat melaporkan adanya antrian panjang
di supermarket selama
beberapa minggu akibat
dari banyaknya konsumen yang
ingin membeli barangbarang seperti beras, hand sanitizer hingga kertas
toilet. Di Indonesia sendiri, sesaat setelah
pengumuman dua orang pertama yang positif terinfeksi COVID-19 pada 2 Maret
2020, beberapa stok
barang seperti makanan
pokok, hand sanitizer, hingga masker
habis diserbu oleh masyarakat di Jakarta. |
|
Tujuan Penelitian |
Untuk mengulas panic buying
melalui perspektif psikologi serta mengulas penjelasan psikologis di balik panic buying
melalui perilaku konsumen, ketakutan dan
kecemasan, stres, ketidakpastian, dan paparan media. |
|
Isi |
·
Hingga 11 Mei 2020, WHO melaporkan
sebanyak lebih 3,9 juta kasus corona virus disease 2019 atau
COVID-19 terkonfirmasi di antara 215 negara (World
Health Organization (WHO),
2020). Beberapa negara
melaporkan terjadinya fenomena panic buying
sebagai respon dari
adanya pandemi ini. ·
Panic
buying diartikan sebagai perilaku konsumen berupa pembelian produk dalam jumlah besar agar tidak
mengalami kekurangan di masa depan (Shou,
Xiong, & Shen,
2011). Menurut sejarah, Honigsbaum (2013) melaporkan bahwa panic buying pertama kali muncul
saat wabah flu Spanyol pada tahun
1918. Pada pandemi COVID-19, Garfin, Silver, dan Holman
(2020) berpendapat bahwa panic buying
muncul sebagai respon stres. ·
Menurut penjelasan psikologis, mengapa
panic buying bisa terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu perilaku konsumen, ketakutan dan kecemasan, stress,
ketidakpastian, dan peran
paparan media. |
|
|
·
Pada dimensi interpersonal, orang-orang yang melakukan panic
buying mengalami kondisi psikologi internal yang khas. Sebagian orang
mengalami beberapa kondisi
berikut: Konflik psikologis, stres, ketakutan, kecemasan, perasaan tidak aman, dan/atau persepsi ketidakpastian. Pada dimensi
lingkungan, ketersediaan barang, |
|
Metode |
Menggunakan pendekatan telaah literatur (literature review) yang terdiri dari bagian
pendahuluan, metode penelitian, diskusi, dan kesimpulan. Menurut Kysh (2013)
dan American Psychological Association (2020), telaah
literatur bertujuan untuk
membuat kesimpulan dan evaluasi pada
suatu topik tertentu. Untuk menjelaskan fenomena panic buying, melakukan pencarian dengan
menggunakan kata kunci
“panic buying” dan “panic bought”
di pangkalan data PsycArticles dan PsycINFO. Selain
itu, menambahkan beberapa artikel yang ditelaah dari sejumlah 101 hasil pencarian di ScienceDirect. Di antara
ratusan hasil pencarian tersebut terdiri
dari 23 artikel dengan jenis: artikel telaah (review article), artikel penelitian (research article), surat atau korespondensi (correspondence), artikel
diskusi, dan catatan editor. Alasan penggunaan keempat jenis artikel ini adalah karena
minimnya riset-riset empiris yang mengkaji panic buying. |
|
Hasil |
·
Panic
buying terjadi pada peristiwa wabah penyakit hingga bencana alam dan non-alam lainnya, begitu halnya
pada wabah COVID-19 ini. Panic buying
yang dilakukan oleh konsumen seringkali mengarah kepada hal-hal negatif seperti antrian panjang,
kehabisan stok dalam
jumlah besar, kecemasan yang luar biasa,
hingga akhirnya secara
signifikan ber-dampak negatif pada pasar. Sehingga, panic buying menjadi
suatu hal yang perlu diatasi saat menghadapi
keadaan maupun krisis
apapun. ·
Ciri-ciri khas dari panic buying adalah perilaku yang tiba-tiba,
tidak terkontrol, terjadi
pada banyak orang,
terlihat berlebihan, dan disebabkan oleh kekhawatiran. ·
Faktor penyebab perilaku panic buying, yaitu faktor dari
perilaku konsumen (munculnya persepsi kelangkaan barang), adanya ketakutan, kecemasan, perasaan tidak aman,
konflik psikologis, stres, persepsi ketidakpastian, dan paparan media. |
|
Diskusi |
·
.Perbedaan panic buying dan buying
frenzies. Pada bidang ekonomi, dikenal pula istilah buying frenzies. Meskipun kedua istilah
ini merupakan perilaku
pembelian barang dalam jumlah yang di luar
batas kebutuhan normal,
tetapi pertimbangan perilaku buying frenzies
didasarkan pada diskriminasi harga antar waktu (Courty & Nasiry, 2016). Pada perilaku panic buying lebih didasarkan pada kekhawatiran akan ketersediaan barang di
masa depan (Shou dkk., 2011). Buying frenzies membuat orang berani
membeli dengan harga yang lebih
mahal karena ketidakjelasan penilaian suatu barang
(Courty & Nasiry, 2016;
Kendall, 2018). ·
Pada beberapa kelompok produk
tertentu. Istilah yang diajukan oleh Arafat dkk. (2020)
untuk menjawab penyebab panic
buying dari faktor perilaku konsumen, yaitu
persepsi kelangkaan barang. Artinya, panic buying
dapat terjadi karena
banyak orang-orang menilai bahwa ada barang-barang tertentu
yang akan langka saat terjadi wabah penyakit. ·
Kecemasan yang terjadi pada
masyarakat luas dapat mengakibatkan terjadinya
panic buying saat wabah COVID-19 (Roy dkk., 2020). Pada kasus COVID-19, perilaku panic buying terjadi karena orang- orang mengalami konflik psikologi, antara keinginan untuk tetap aman
dengan keinginan untuk
hidup secara normal
dan menyenangkan. ·
Fenomena panic buying
tampak menjadi sangat
relevan jika dikaitkan dengan wabah COVID-19, karena orang cenderung menganggap sebuah ancaman virus baru memiliki risiko yang
lebih tinggi dibandingkan dengan ancaman
yang lebih umum seperti influenza. ·
Kurangnya informasi akibat tidak
mengetahui maupun akibat
kurangnya efektivitas komunikasi menyebabkan munculnya ambiguitas yang dapat menyebabkan penilaian terhadap suatu
ancaman meningkat dan kepanikan
muncul saat krisis kesehatan. Pada
kasus COVID-19, orang-orang dapat mengalami konflik psikologis, yakni
antara usaha untuk
mempertahankan rutinitas |
|
|
dengan menghadapi
ketidakpastian berakhirnya pandemi
ini. ·
Masyarakat tidak akan panik jika
mereka memiliki informasi yang tepat tentang
peristiwa yang sedang
terjadi. Namun karena
masyarakat, dalam hal ini kami pahami, masih kurang sosialisasi yang komprehensif sehingga seperti yang
dikatakan Jinqiu (2003), kekurangan informasi dan tambahan desas-desus mengakibatkan masyarakat menjadi panik. |






0 komentar:
Posting Komentar