Jumat, 12 Mei 2023

Essay 3. Meringkas Jurnal. “PANIC BUYING PADA PANDEMI COVID-19: TELAAH LITERATUR DARI PERSPEKTIF PSIKOLOGI”

 

PANIC BUYING PADA PANDEMI COVID-19: TELAAH LITERATUR DARI PERSPEKTIF PSIKOLOGI”

Essay 3 Psikologi Sosial

Zaky Hilmi Muhammad

22310410065

Dosen Pengampu : Dr. Dra. Arundati Shinta, MA.

Fakultas Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Topik

Panic buying, COVID-19, pandemi, psikologi.

Sumber

Shadiqi, M. A., Hariati, R., Hasan, K. F. A., I’anah, N., & Al Istiqomah, W. (2021). Panic buying pada pandemi COVID-19: Telaah literatur dari

perspektif psikologi. Jurnal Psikologi Sosial, 19(2), 131-141.

Permasalahan

Hadirnya pandemi COVID-19 berdampak pada kesehatan, sosial, ekonomi, hingga psikologis. Salah satu dampak dari COVID-19 adalah panic buying. Tidak hanya COVID-19, tetapi panic buying juga menyebar ke seluruh dunia. Mulai dari Singapura hingga Amerika Serikat melaporkan adanya antrian panjang di supermarket selama beberapa minggu akibat dari banyaknya konsumen yang ingin membeli barangbarang seperti beras, hand sanitizer hingga kertas toilet. Di Indonesia sendiri, sesaat setelah pengumuman dua orang pertama yang positif terinfeksi COVID-19 pada 2 Maret 2020, beberapa stok barang seperti makanan pokok, hand sanitizer,

hingga masker habis diserbu oleh masyarakat di Jakarta.

Tujuan Penelitian

Untuk mengulas panic buying melalui perspektif psikologi serta mengulas

penjelasan psikologis di balik panic buying  melalui perilaku konsumen, ketakutan dan kecemasan, stres, ketidakpastian, dan paparan media.

Isi

·       Hingga 11 Mei 2020, WHO melaporkan sebanyak lebih 3,9 juta kasus corona virus disease 2019 atau COVID-19 terkonfirmasi di antara 215 negara (World Health Organization (WHO), 2020). Beberapa negara melaporkan terjadinya fenomena panic buying sebagai respon dari adanya pandemi ini.

·       Panic buying diartikan sebagai perilaku konsumen berupa pembelian produk dalam jumlah besar agar tidak mengalami kekurangan di masa depan (Shou, Xiong, & Shen, 2011). Menurut sejarah, Honigsbaum (2013) melaporkan bahwa panic buying pertama kali muncul saat wabah flu Spanyol pada tahun 1918. Pada pandemi COVID-19, Garfin, Silver, dan Holman (2020) berpendapat bahwa panic buying muncul sebagai respon stres.

·       Menurut penjelasan psikologis, mengapa panic buying bisa terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu perilaku konsumen, ketakutan dan kecemasan, stress, ketidakpastian, dan peran paparan

media.


 

·       Pada dimensi interpersonal, orang-orang yang melakukan panic buying mengalami kondisi psikologi internal yang khas. Sebagian orang mengalami beberapa kondisi berikut: Konflik psikologis, stres, ketakutan, kecemasan, perasaan tidak aman, dan/atau persepsi

ketidakpastian. Pada dimensi lingkungan, ketersediaan barang,

Metode

Menggunakan pendekatan telaah literatur (literature review) yang terdiri dari bagian pendahuluan, metode penelitian, diskusi, dan kesimpulan. Menurut Kysh (2013) dan American Psychological Association (2020), telaah literatur bertujuan untuk membuat kesimpulan dan evaluasi pada suatu topik tertentu. Untuk menjelaskan fenomena panic buying, melakukan pencarian dengan menggunakan kata kunci panic buying dan “panic bought” di pangkalan data PsycArticles dan PsycINFO. Selain itu, menambahkan beberapa artikel yang ditelaah dari sejumlah 101 hasil pencarian di ScienceDirect. Di antara ratusan hasil pencarian tersebut terdiri dari 23 artikel dengan jenis: artikel telaah (review article), artikel penelitian (research article), surat atau korespondensi (correspondence), artikel diskusi, dan catatan editor. Alasan penggunaan keempat jenis artikel ini

adalah karena minimnya riset-riset empiris yang mengkaji panic buying.

Hasil

·       Panic buying terjadi pada peristiwa wabah penyakit hingga bencana alam dan non-alam lainnya, begitu halnya pada wabah COVID-19 ini. Panic buying yang dilakukan oleh konsumen seringkali mengarah kepada hal-hal negatif seperti antrian panjang, kehabisan stok dalam jumlah besar, kecemasan yang luar biasa, hingga akhirnya secara signifikan ber-dampak negatif pada pasar. Sehingga, panic buying menjadi suatu hal yang perlu diatasi saat menghadapi keadaan maupun krisis apapun.

·       Ciri-ciri khas dari panic buying adalah perilaku yang tiba-tiba, tidak terkontrol, terjadi pada banyak orang, terlihat berlebihan, dan disebabkan oleh kekhawatiran.

·       Faktor penyebab perilaku panic buying, yaitu faktor dari perilaku konsumen (munculnya persepsi kelangkaan barang), adanya ketakutan, kecemasan, perasaan tidak aman, konflik psikologis,

stres, persepsi ketidakpastian, dan paparan media.


Diskusi

·       .Perbedaan panic buying dan buying frenzies. Pada bidang ekonomi, dikenal pula istilah buying frenzies. Meskipun kedua istilah ini merupakan perilaku pembelian barang dalam jumlah yang di luar batas kebutuhan normal, tetapi pertimbangan perilaku buying frenzies didasarkan pada diskriminasi harga antar waktu (Courty & Nasiry, 2016). Pada perilaku panic buying lebih didasarkan pada kekhawatiran akan ketersediaan barang di masa depan (Shou dkk., 2011). Buying frenzies membuat orang berani membeli dengan harga yang lebih mahal karena ketidakjelasan penilaian suatu barang (Courty & Nasiry, 2016; Kendall, 2018).

·       Pada beberapa kelompok produk tertentu. Istilah yang diajukan oleh Arafat dkk. (2020) untuk menjawab penyebab panic buying dari faktor perilaku konsumen, yaitu persepsi kelangkaan barang. Artinya, panic buying dapat terjadi karena banyak orang-orang menilai bahwa ada barang-barang tertentu yang akan langka saat terjadi wabah penyakit.

·       Kecemasan yang terjadi pada masyarakat luas dapat mengakibatkan terjadinya panic buying saat wabah COVID-19 (Roy dkk., 2020). Pada kasus COVID-19, perilaku panic buying terjadi karena orang- orang mengalami konflik psikologi, antara keinginan untuk tetap aman dengan keinginan untuk hidup secara normal dan menyenangkan.

·       Fenomena panic buying tampak menjadi sangat relevan jika dikaitkan dengan wabah COVID-19, karena orang cenderung menganggap sebuah ancaman virus baru memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan ancaman yang lebih umum seperti influenza.

·       Kurangnya informasi akibat tidak mengetahui maupun akibat kurangnya efektivitas komunikasi menyebabkan munculnya ambiguitas yang dapat menyebabkan penilaian terhadap suatu ancaman meningkat dan kepanikan muncul saat krisis kesehatan. Pada kasus COVID-19, orang-orang dapat mengalami konflik

psikologis, yakni antara usaha untuk mempertahankan rutinitas


 

dengan menghadapi ketidakpastian berakhirnya pandemi ini.

·       Masyarakat tidak akan panik jika mereka memiliki informasi yang tepat tentang peristiwa yang sedang terjadi. Namun karena masyarakat, dalam hal ini kami pahami, masih kurang sosialisasi yang komprehensif sehingga seperti yang dikatakan Jinqiu (2003), kekurangan informasi dan tambahan desas-desus mengakibatkan masyarakat menjadi panik.

 


0 komentar:

Posting Komentar