BODY DISMORPHICH DISORDER; GANGGUAN DISMORFIK TUBUH
TUGAS
INDIVIDU PSIKOLOGI ABNORMALITAS
Dosen
Pengampu : FX. Wahyu Widiantoro, S.Psi.,MA
Poppy Priscila
22310410117
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
YOGYAKARTA
2024
Body Dismorphich
Disorder/BDD (Gangguan Dismorfik Tubuh)
adalah sebuah gangguan dimana seseorang terus menerus merasa cemas dengan
kekurangan fisik yang minor atau bahkan permasalahan pada citra tubuhnya.
Orang dengan gangguan dismorfik tubuh atau BDD
terpaku pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal
penampilan mereka (American Psychiatric Association [APA], 2000). Mereka dapat
menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang
dipersepsikan, bahkan menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan.
Sedangkan yang lainnya dapat membuang setiap cermin dirumah mereka.
DEFINISI
GANGGGUAN DISMORFIK TUBUH (BODY DISMORPHICH DISORDER)
Gangguan dismorfik tubuh adalah preokupasi
mengenai kerusakan atau kecatatan dalam penampilan fisik dan dapat menyebabkan
distress serta penurunan fungsi sosial. Penyakit ini tergolong sebagai suatu
penyakit yang agak jarang ditemukan dan teliti dibandingkan dengan masalah
kesehatan mental lainnya. Pada keadaan ini, pasien mengalami ketidakpuasan yang
ekstrim terhadap penampilan.
Orang
dengan BDD sering menunjukkan pola berdandan, mencuci, atau menata rambut
secara komplusif pada kerusakan yang dipersepsikan. Dengan mudah mereka dapat
percaya bahwa orang lain memandang diri mereka tidak sempurna, berubah bentuk
menjadi rusak, atau penampilan fisik mereka yang tidak menarik mendorong orang
lain untuk berpikir negatif tentang karakter atau harga diri mereka sebagai
seorang manusia (Rosen, dalam Nevid, 2005).
Sebuah penelitian yang dilakukan di Wesleyan
University kepada 1000 wanita yang berusaha antara 18-60 tahun menyebutkan
bahwa 91% dari mereka ingin mengubah tubuhnya (Kusuma, 1999). Penelitian ini
juga dilakukan pada 256 dokter bedah plastik dan hasilnya ditemukan sebanyak
178 diantaranya merawat pasien dengan gangguan BDD. Pada semua kasus, hanya 1%
saja pasien yang mengaku persoalan BDD mereka berkurang setelah di operasi.
Kemudian, penelitian lain juga menjelaskan
bahwa sebagian individu yang cenderung memiliki gejala BDD cenderung mengurung
diri dirumah untuk menghindari orang lain melihat kekurangan yang
dibayangkannya. Hal ini sangat mengganggu dan terkadang dapat mengarah pada
bunuh diri. Mereka sering kali berkonsultasi pada dokter bedah plastic, bahkan
beberapa individu yang mengalami gangguan ini melakukan operasi sendiri pada
tubuhnya. Namun sayangnya, operasi plastik berperan kecil dalam menghilangkan
kekhawatiran mereka (Castle, Rossell, & Kyrios, 2006).
KONSEP DAN
KARAKTERISTIK PERILAKU ABNORMAL PADA GANGGUAN DISMORFIK TUBUH
Orang yang mengalami BDD tidak hanya merasa
tertekan tetapi bahkan bisa gagal dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, baik
itu bekerja, belajar, maupun aktivitas yang lainnya. Preokupasi ini paling
sering melibatkan hidung, telinga, wajah, rambut, atau fitur yang berhubungan
dengan seksualitas (misalnya payudara pada wanita atau otot dan ukuran penis
pada pria). Namun demikian, bagian tubuh manapun dapat menempati fokus pasien
dengan gangguan BDD (Katharine, Phillips, William, Christina, & Maria,
Istilah BDD awalnya dikategorikan sebagai
dysmorphophobia yang berarti “menjadi jelek”. Istilah tersebut pertama kali
dicetuskan oleh dokter dari Italia yang bernama kali dicetuskan oleh dikter
dari Italia yang bernama Enrico Morselli pada abad ke 19. Dysmorphophobia
digunakan untuk menyebutkan sebuah perilaku yang menganggap suatu bagian tubuh
tertentu pada dirinya merupakan hal yang buruk. Namun Diagnostic and Statistic
Manual of Mental disorder 4th edition (DSM-IV) menyatakan bahwa
istilah dysmorphophobia dapat menimbulkan kekeliruan persepsi terhadap phobia
tertentu. Sehingga istilah dysmorphophobia berganti nama menjadi Body
Dysmorphic Disorder untuk mencegah adanya kekeliruan istilah klinis (Kindes,
2006). Istilah lain yang juga dapat digunakan untuk menggambarkan BDD selama
bertahun-tahun meliputi hypochondriasis dan beauty hyponchondria (Philips,
2004).
Tar 16 -17 tahun, dengan onset rata-rata pada
usia 15 tahun. Seorang individu mulai memperhatikan penampilannya pada usia 12
atau 13 tahun, dan sikapnya yang demikian akan terus berkembang untuk
menentukan kriteria diagnostik. Beberapa individu memungkinkan mengalami onset
mendadak dari BDD. Kondisi demikian dapat juga terjadi pada orang dewasa yang
lebih tua yang terlalu peduli dengan penampilan penuaan mereka. BDD biasanya
berlangsung secara terus-menerus. Kelainan ini sedikit lebih banyak dialami
oleh perempuan (2,4%) dibandingkan laki-laki (2,2%) dari jumlah pasien dewasa
di Amerika Serikat (Gray & Zide, 2015).
Dalam APA, para ahli memberikan beberapa
pengertian untuk istilah BDD, diantaranya adalah keasyikan dengan kekurangan
fisik yang imajiner pada penampilan atau perhatian yang sangat berlebihan
terhadap kekurangan yang sebenarnya tidak begitu berarti (Davison, 2010). Dalam
pandangan psikodinamika, gangguan BDD dapat diklasifikasikan ke dalam empat
aspek, yang pertama yaitu aspek kognitif dimana individu akan berfikir negatif
terhadap tubuh mereka. Yang kedua yaitu aspek afektif dimana individu merasa
tidak puas dengan bagian tubuhnya dan akan memiliki perasaan negatif terhadap
tubuhnya. Yang ketiga yaitu aspek perilaku, dalam aspek ini individu akan
merasakan perilaku obsesif terhadap tubuhnya. Dan yang keempat yaitu aspek
hubungan sosial, yang mana individu tersebut tidak menyukai hubungan sosial
(Rosen, dalam Nevid, 2005).
PENGOBATAN
GANGGUAN DISMORFIK TUBUH
Tahap awal untuk mengobati pasien dengan BDD
yaitu dengan terapi nonfarmakologis. Terapi yang dikenal dalam menangani pasien
tersebut yaitu Cognitive-Behavioral Therapy (CBT). Penelitian yang ada
menunjukkan bahwa CBT berpengaruh untuk BDD. Kebanyakan studi telah meneliti
kombinasi komponen kognitif (misalnya, restrukturisasi kognitif yang berfokus
pada perubahan asumsi terkait penampilan dan kepercayaan) dengan komponen
perilaku, terutama terdiri dari paparan dan pencegahan respon untuk mengurangi
penghindaran terhadap sosial dan perilaku kompulsif.
Temuan dari penelitian neuropsikologis mendukung penggunaan strategi kognitif perilaku untuk membantu pasien mengurangi fokusnya pada detail kecil dari penampilan mereka dan justru membantu pasien agar melihat tubuh mereka lebih “holistik” (Williams, 2004). Salah satu tantangan ketika merawat pasien dengan CBT adalah bahwa banyak dari mereka yang kurang termotivasi untuk pengobatan, karena wawasan yang buruk (misalnya, tidak menerima bahwa mereka memiliki penyakit jiwa yang perlu diobati atau percaya bahwa mereka perlu perawatan kosmetik daripada pengobatan kesehatan mental). Kesan klinis menunjukkan bahwa penggunaan teknik wawancara motivasi dapat sangat berguna. Selain itu, gejala BDD mungkin memerlukan teknik khusus, seperti penggunaan pelatihan kebiasaan reversal untuk perilaku kompulsif (Veale, 2001). Saat ini, CBT adalah satu-satunya pengobatan psikososial dengan dukungan empiris awal.
0 komentar:
Posting Komentar