Sabtu, 04 Mei 2024

BODY DISMORPHICH DISORDER; GANGGUAN DISMORFIK TUBUH

 

BODY DISMORPHICH DISORDER; GANGGUAN DISMORFIK TUBUH

TUGAS INDIVIDU PSIKOLOGI ABNORMALITAS

Dosen Pengampu : FX. Wahyu Widiantoro, S.Psi.,MA



Poppy Priscila

22310410117

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA

2024

Body Dismorphich Disorder/BDD (Gangguan Dismorfik Tubuh) adalah sebuah gangguan dimana seseorang terus menerus merasa cemas dengan kekurangan fisik yang minor atau bahkan permasalahan pada citra tubuhnya.

Orang dengan gangguan dismorfik tubuh atau BDD terpaku pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka (American Psychiatric Association [APA], 2000). Mereka dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang dipersepsikan, bahkan menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan. Sedangkan yang lainnya dapat membuang setiap cermin dirumah mereka.

DEFINISI GANGGGUAN DISMORFIK TUBUH (BODY DISMORPHICH DISORDER)

Gangguan dismorfik tubuh adalah preokupasi mengenai kerusakan atau kecatatan dalam penampilan fisik dan dapat menyebabkan distress serta penurunan fungsi sosial. Penyakit ini tergolong sebagai suatu penyakit yang agak jarang ditemukan dan teliti dibandingkan dengan masalah kesehatan mental lainnya. Pada keadaan ini, pasien mengalami ketidakpuasan yang ekstrim terhadap penampilan.

Orang dengan BDD sering menunjukkan pola berdandan, mencuci, atau menata rambut secara komplusif pada kerusakan yang dipersepsikan. Dengan mudah mereka dapat percaya bahwa orang lain memandang diri mereka tidak sempurna, berubah bentuk menjadi rusak, atau penampilan fisik mereka yang tidak menarik mendorong orang lain untuk berpikir negatif tentang karakter atau harga diri mereka sebagai seorang manusia (Rosen, dalam Nevid, 2005).

Sebuah penelitian yang dilakukan di Wesleyan University kepada 1000 wanita yang berusaha antara 18-60 tahun menyebutkan bahwa 91% dari mereka ingin mengubah tubuhnya (Kusuma, 1999). Penelitian ini juga dilakukan pada 256 dokter bedah plastik dan hasilnya ditemukan sebanyak 178 diantaranya merawat pasien dengan gangguan BDD. Pada semua kasus, hanya 1% saja pasien yang mengaku persoalan BDD mereka berkurang setelah di operasi.

Kemudian, penelitian lain juga menjelaskan bahwa sebagian individu yang cenderung memiliki gejala BDD cenderung mengurung diri dirumah untuk menghindari orang lain melihat kekurangan yang dibayangkannya. Hal ini sangat mengganggu dan terkadang dapat mengarah pada bunuh diri. Mereka sering kali berkonsultasi pada dokter bedah plastic, bahkan beberapa individu yang mengalami gangguan ini melakukan operasi sendiri pada tubuhnya. Namun sayangnya, operasi plastik berperan kecil dalam menghilangkan kekhawatiran mereka (Castle, Rossell, & Kyrios, 2006).

KONSEP DAN KARAKTERISTIK PERILAKU ABNORMAL PADA GANGGUAN DISMORFIK TUBUH

Orang yang mengalami BDD tidak hanya merasa tertekan tetapi bahkan bisa gagal dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, baik itu bekerja, belajar, maupun aktivitas yang lainnya. Preokupasi ini paling sering melibatkan hidung, telinga, wajah, rambut, atau fitur yang berhubungan dengan seksualitas (misalnya payudara pada wanita atau otot dan ukuran penis pada pria). Namun demikian, bagian tubuh manapun dapat menempati fokus pasien dengan gangguan BDD (Katharine, Phillips, William, Christina, & Maria,

Istilah BDD awalnya dikategorikan sebagai dysmorphophobia yang berarti “menjadi jelek”. Istilah tersebut pertama kali dicetuskan oleh dokter dari Italia yang bernama kali dicetuskan oleh dikter dari Italia yang bernama Enrico Morselli pada abad ke 19. Dysmorphophobia digunakan untuk menyebutkan sebuah perilaku yang menganggap suatu bagian tubuh tertentu pada dirinya merupakan hal yang buruk. Namun Diagnostic and Statistic Manual of Mental disorder 4th edition (DSM-IV) menyatakan bahwa istilah dysmorphophobia dapat menimbulkan kekeliruan persepsi terhadap phobia tertentu. Sehingga istilah dysmorphophobia berganti nama menjadi Body Dysmorphic Disorder untuk mencegah adanya kekeliruan istilah klinis (Kindes, 2006). Istilah lain yang juga dapat digunakan untuk menggambarkan BDD selama bertahun-tahun meliputi hypochondriasis dan beauty hyponchondria (Philips, 2004).

Tar 16 -17 tahun, dengan onset rata-rata pada usia 15 tahun. Seorang individu mulai memperhatikan penampilannya pada usia 12 atau 13 tahun, dan sikapnya yang demikian akan terus berkembang untuk menentukan kriteria diagnostik. Beberapa individu memungkinkan mengalami onset mendadak dari BDD. Kondisi demikian dapat juga terjadi pada orang dewasa yang lebih tua yang terlalu peduli dengan penampilan penuaan mereka. BDD biasanya berlangsung secara terus-menerus. Kelainan ini sedikit lebih banyak dialami oleh perempuan (2,4%) dibandingkan laki-laki (2,2%) dari jumlah pasien dewasa di Amerika Serikat (Gray & Zide, 2015).

Dalam APA, para ahli memberikan beberapa pengertian untuk istilah BDD, diantaranya adalah keasyikan dengan kekurangan fisik yang imajiner pada penampilan atau perhatian yang sangat berlebihan terhadap kekurangan yang sebenarnya tidak begitu berarti (Davison, 2010). Dalam pandangan psikodinamika, gangguan BDD dapat diklasifikasikan ke dalam empat aspek, yang pertama yaitu aspek kognitif dimana individu akan berfikir negatif terhadap tubuh mereka. Yang kedua yaitu aspek afektif dimana individu merasa tidak puas dengan bagian tubuhnya dan akan memiliki perasaan negatif terhadap tubuhnya. Yang ketiga yaitu aspek perilaku, dalam aspek ini individu akan merasakan perilaku obsesif terhadap tubuhnya. Dan yang keempat yaitu aspek hubungan sosial, yang mana individu tersebut tidak menyukai hubungan sosial (Rosen, dalam Nevid, 2005).

PENGOBATAN GANGGUAN DISMORFIK TUBUH

Tahap awal untuk mengobati pasien dengan BDD yaitu dengan terapi nonfarmakologis. Terapi yang dikenal dalam menangani pasien tersebut yaitu Cognitive-Behavioral Therapy (CBT). Penelitian yang ada menunjukkan bahwa CBT berpengaruh untuk BDD. Kebanyakan studi telah meneliti kombinasi komponen kognitif (misalnya, restrukturisasi kognitif yang berfokus pada perubahan asumsi terkait penampilan dan kepercayaan) dengan komponen perilaku, terutama terdiri dari paparan dan pencegahan respon untuk mengurangi penghindaran terhadap sosial dan perilaku kompulsif.

Temuan dari penelitian neuropsikologis mendukung penggunaan strategi kognitif perilaku untuk membantu pasien mengurangi fokusnya pada detail kecil dari penampilan mereka dan justru membantu pasien agar melihat tubuh mereka lebih “holistik” (Williams, 2004). Salah satu tantangan ketika merawat pasien dengan CBT adalah bahwa banyak dari mereka yang kurang termotivasi untuk pengobatan, karena wawasan yang buruk (misalnya, tidak menerima bahwa mereka memiliki penyakit jiwa yang perlu diobati atau percaya bahwa mereka perlu perawatan kosmetik daripada pengobatan kesehatan mental). Kesan klinis menunjukkan bahwa penggunaan teknik wawancara motivasi dapat sangat berguna. Selain itu, gejala BDD mungkin memerlukan teknik khusus, seperti penggunaan pelatihan kebiasaan reversal untuk perilaku kompulsif (Veale, 2001). Saat ini, CBT adalah satu-satunya pengobatan psikososial dengan dukungan empiris awal.

0 komentar:

Posting Komentar