Septi Iing Hijjriyah
22310410132
Psikologi
Abnormalitas
Fx. Wahyu Widiantoro S.Psi., MA.
Lingkup Psikologi Abnormalitas: Drama
Politikus yang Suka Bohong tapi Tetap saja Dicoblos tanpa Batas, Gejala Mythomania?
Gebyar pesta
demokrasi di Indonesia mungkin sudah dilalui. Namun benih ketidakwajaran masih
terus tak teralih. Berbincang soal politik tidak akan ada habisnya. Namun berbicara
soal korelasi politik dengan segala keanehannya jika ditinjau dari kacamata Psikologi
tidak kalah asyiknya.
Susah rasanya
percaya pada politisi di zaman sekarang, jika tidak dikorupsi uang rakyatnya,
ya akan dibohongi dengan memanipulasi datanya. Kendati tidak semua politisi
seperti itu, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hati rakyat kerap dikhianati
dengan pola yang itu-itu saja.
Politikus yang gemar berbohong tapi tetap saja dicoblos
rasa-rasanya mengganjal namun begitu adanya. Bahkan ada yang
bilang, kebohongan itu candu bagi politikus. Faktanya pada kasus politikus,
para peneliti menyebut bahwa kebohongan digunakan untuk membangun keyakinan palsu
dan mengumpulkan dukungan. Sudah menjadi rahasia umum informasi palsu dapat
memengaruhi cara berpikir seseorang bahkan setelah mereka menyadari bahwa
informasi tersebut palsu. Meskipun pemeriksaan fakta menyebabkan berkurangnya
kepercayaan terhadap klaim yang tidak akurat itu, hal ini tidak berarti niat
memilih di kalangan pendukung berkurang. Berbeda dengan opini oleh peneliti
sebelumnya, seorang peneliti psikologi, Bella DePaulo dari University of
California menyebut bahwa kebohongan dari politikus dianggap benar karena hal
tersebut adalah yang ingin masyarakat dengar.
Mengapa bisa
semua ini terjadi begitu saja? Apakah masyarakat yang tidak peka atas adanya
kebohongan tersebut? Mari kita ulas kasus ini dari sudut pandang Psikologi,
terutama Psikologi Abnormalitas.
Manusia memang
cenderung mencari informasi yang mendukung apa yang telah
dipercayainya. Biasanya, orang hanya menginterpretasi bukti untuk
mengkonfirmasi apa yang dipercaya, dan pada saat yang sama mereka juga
menghindari atau menolak informasi yang berlawanan. Proses atau situasi
demikian disebut dengan istilah bias konfirmasi.
Dijelaskan,
korteks prefrontal medial posterior memainkan peran penting dalam proses bias
konfirmasi ini. Penilaian yang telah ada mengubah representasi saraf karena
kekuatan informasi dalam pikiran seseorang, membuat orang itu cenderung
tidak mengubah pendapat yang tidak disetujui. Bias konfirmasi ini biasanya
dilalui dengan beberapa tahap. Pertama, saat menerima informasi. Konfirmasi
bias berfungsi sebagai cara yang efisien untuk memproses informasi karena
informasi yang tidak terbatas yang diterima oleh manusia. Karena faktor self-esteem membuat
diri seseorang merasa percaya diri untuk hanya mencari informasi yang
mengonfirmasi apa yang ia percaya. Kondisi ini membuat orang tidak mau
mendengarkan pendapat atau pandangan lain. Pada tahap berikutnya, terjadi
disonansi kognitif yakni ketika seseorang dihadapkan pada dua hal yang
kontradiktif dan menyebabkan orang itu mengalami stres psikologis.
Setelah
pembahasan ini, justru timbul pertanyaan besar, ketidakwajaran di atas
disebabkan karena memang proses kepekaan manusianya yang patut dipertanyakan
dan amat rumit, atau memang politisi kita tengah mengidap Mythomania? Salah satu
gangguan mental atau kondisi abnormal yang ditandai dengan kebiasaan berbohong
secara terus-menerus. Apakah ada kaitannya dengan gangguan abnormal tersebut? Entahlah,
jawabannya bergantung dan bertumpu pada perbedaan antara pemahaman konvensional
kita mengenai kejujuran dan gagasan “keaslian”. Elemen utama dari kejujuran
adalah akurasi faktual, sedangkan elemen utama dari keotentikan adalah
keselarasan antara persona pribadi dan persona publik dari seorang politikus.
0 komentar:
Posting Komentar