Sabtu, 04 Mei 2024

Septi Iing Hijjriyah-22310410132-SP-Artikel 1 Psikologi Abnormalitas

Septi Iing Hijjriyah

22310410132

Psikologi Abnormalitas

Fx. Wahyu Widiantoro S.Psi., MA.

 

Lingkup Psikologi Abnormalitas: Drama Politikus yang Suka Bohong tapi Tetap saja Dicoblos tanpa Batas, Gejala Mythomania?

 


Gebyar pesta demokrasi di Indonesia mungkin sudah dilalui. Namun benih ketidakwajaran masih terus tak teralih. Berbincang soal politik tidak akan ada habisnya. Namun berbicara soal korelasi politik dengan segala keanehannya jika ditinjau dari kacamata Psikologi tidak kalah asyiknya.

Susah rasanya percaya pada politisi di zaman sekarang, jika tidak dikorupsi uang rakyatnya, ya akan dibohongi dengan memanipulasi datanya. Kendati tidak semua politisi seperti itu, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hati rakyat kerap dikhianati dengan pola yang itu-itu saja.

Politikus yang gemar berbohong tapi tetap saja dicoblos rasa-rasanya mengganjal namun begitu adanya. Bahkan ada yang bilang, kebohongan itu candu bagi politikus. Faktanya pada kasus politikus, para peneliti menyebut bahwa kebohongan digunakan untuk membangun keyakinan palsu dan mengumpulkan dukungan. Sudah menjadi rahasia umum informasi palsu dapat memengaruhi cara berpikir seseorang bahkan setelah mereka menyadari bahwa informasi tersebut palsu. Meskipun pemeriksaan fakta menyebabkan berkurangnya kepercayaan terhadap klaim yang tidak akurat itu, hal ini tidak berarti niat memilih di kalangan pendukung berkurang. Berbeda dengan opini oleh peneliti sebelumnya, seorang peneliti psikologi, Bella DePaulo dari University of California menyebut bahwa kebohongan dari politikus dianggap benar karena hal tersebut adalah yang ingin masyarakat dengar.

Mengapa bisa semua ini terjadi begitu saja? Apakah masyarakat yang tidak peka atas adanya kebohongan tersebut? Mari kita ulas kasus ini dari sudut pandang Psikologi, terutama Psikologi Abnormalitas.

Manusia memang cenderung mencari informasi yang mendukung apa yang telah dipercayainya. Biasanya, orang hanya menginterpretasi bukti untuk mengkonfirmasi apa yang dipercaya, dan pada saat yang sama mereka juga menghindari atau menolak informasi yang berlawanan. Proses atau situasi demikian disebut dengan istilah bias konfirmasi.

Dijelaskan, korteks prefrontal medial posterior memainkan peran penting dalam proses bias konfirmasi ini. Penilaian yang telah ada mengubah representasi saraf karena kekuatan informasi dalam pikiran seseorang, membuat orang itu cenderung tidak mengubah pendapat yang tidak disetujui. Bias konfirmasi ini biasanya dilalui dengan beberapa tahap. Pertama, saat menerima informasi. Konfirmasi bias berfungsi sebagai cara yang efisien untuk memproses informasi karena informasi yang tidak terbatas yang diterima oleh manusia. Karena faktor self-esteem membuat diri seseorang merasa percaya diri untuk hanya mencari informasi yang mengonfirmasi apa yang ia percaya. Kondisi ini membuat orang tidak mau mendengarkan pendapat atau pandangan lain. Pada tahap berikutnya, terjadi disonansi kognitif yakni ketika seseorang dihadapkan pada dua hal yang kontradiktif dan menyebabkan orang itu mengalami stres psikologis.

Setelah pembahasan ini, justru timbul pertanyaan besar, ketidakwajaran di atas disebabkan karena memang proses kepekaan manusianya yang patut dipertanyakan dan amat rumit, atau memang politisi kita tengah mengidap Mythomania? Salah satu gangguan mental atau kondisi abnormal yang ditandai dengan kebiasaan berbohong secara terus-menerus. Apakah ada kaitannya dengan gangguan abnormal tersebut? Entahlah, jawabannya bergantung dan bertumpu pada perbedaan antara pemahaman konvensional kita mengenai kejujuran dan gagasan “keaslian”. Elemen utama dari kejujuran adalah akurasi faktual, sedangkan elemen utama dari keotentikan adalah keselarasan antara persona pribadi dan persona publik dari seorang politikus.

0 komentar:

Posting Komentar