KONSTRUKSI
SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP WARIA
Essay
3 Psikologi Sosial
Dosen
Pengampu : Dr., Dra. Arundati Shinta, MA.
DEA
AMANDA
22310410093
Psikologi
SJ
Fakultas
Psikologi Unversitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Topik |
Konstruksi
sosial masyarakat terhadap waria |
Sumber |
Arfanda,
Firman S.ST. Dr. Sakaria, M.Si . 2015. Konstruksi sosial masyarakat terhadap
waria. Vol. 1, No. 1. |
Permasalahan |
Penulis
akan paparkan problem-problem yang dihadapi oleh para individu waria dalam
kehidupan mereka. Kontruksi sosial terhadap waria dalam masyarakat sendiri
memiliki dua permasalahan yaitu permasalahan internal dan permasalahan eksternal.
Kehidupan waria harus menghadapi tekanan sosial, yaitu paksaan dari
lingkungan yang mengharuskan tingkah laku mereka mau mengikuti kebiasaan yang
ada di lingkungan tersebut. Ada dua tekanan sosial yang dihadapi waria yaitu
tekanan dari keluarga yang biasanya waria dipandang sebagai aib karena dunia
waria banyak dibingkai oleh dunia pelacuran dan perilaku seksual yang
abnormal, hal ini biasanya menjadikan waria tidak betah di lingkungan
keluarga. Tekanan selanjutnya adalah tekanan dari masyarakat biasanya
dikarenakan perilakunya yang menyimpang dari norma. |
Tujuan |
Rasionalitas instrumental adalah tindakan rasional
yang paling tinggi pertimbangan dan pemilihannya secara sadar berhubungan
dengan tujuan tindakan dan alat yang digunakan untuk mencpainya. Pada tiap
individu memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui tindakann yang
rasional. Waria walaupun dibenci tetapi tetap merupakan kesatuan dari
masyarakat yang dimana memiliki manfaat. Keluwesan waria dalam hal kecantikan
dan mengurus aara pernikahan menjadi potensi yang akan selalu dimanfaatkan oleh
masyarakat. Tindakan instrumental masyarakat yang selalu mencari maksud
tertentu dapat menjelaskan ketergantungan masyarakat pada waria dari sisi
potensinya. Menurut Kementerian Sosial (2008) bahwa waria potensial adalah
waria yang mempunyai kapasitas yang dapat dikembangkan untuk kepentingan
dirinya, kelompok dan masyarakat. |
Isi |
Waria
alami tekanan struktur & kultur. Serupa dibiarkan & diskriminasi.
Studi tentang sikap masyarakat terhadap waria sangat penting untuk memahami
fenomena ini, dengan tujuan memperoleh gambaran sikap masyarakat terhadap
waria dari aspek pengetahuan, perasaan, dan perilaku. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif untuk menggambarkan sikap masyarakat terhadap
waria. Analisis menunjukkan mayoritas masyarakat tidak tahu tentang waria.
Masyarakat tidak setuju dengan keberadaan waria dan menghindari mereka,
kecuali jika ada kepentingan terkait. Hal tersebut mengkonstruksi pemikiran
negatif tentang waria dan masyarakat Indonesia hanya mengenal dua jenis
kelamin: laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan ditempatkan secara
khas sesuai gender mereka dan dipasangkan secara tepat. Larangan untuk
laki-laki dan perempuan dengan jenis kelamin atau penampilan yang berbeda. Dianggap
keabnormalan dan dianggap diluar aturan baku. Normalitas dan abnormalitas
masih samar batasnya. Kebiasaan dianggap normal oleh satu kelompok, namun
dianggap abnormal oleh kelompok lainnya. Menurut Ruth Benedict, konsep
kepribadian "normal" dan "abnormal" terkait erat dengan
pola kebudayaan suatu masyarakat. Jika perilaku yang dianggap abnormal sudah
sangat berbeda dengan norma yang berlaku, biasanya akan dianggap sebagai
abnormal. Indonesia punya banyak waria. Data dari Persatuan Waria Republik
Indonesia, jumlah waria yang punya KTP mencapai 3. 887.000 jiwa 2007. Menurut
Kementerian Sosial RI, belum ada data akurat mengenai profil waria. Hal ini
menyulitkan pembuatan kebijakan dan program bagi lembaga terkait. Banyak
waria di Indonesia, termasuk SulSel. Didasarkan pada pengamatan waria yang
sering mangkal di sana. Bukti lain dukung tambahnya waria: adanya festival
dan tempat nongkrong. Masyarakat umum punya struktur normatif, termasuk
pandangan tentang waria. Stigma masyarakat terhadap waria melanggar norma
`yang seharusnya`. Laki-laki harus maskulin, perempuan harus feminin, dan
waria menghadapi diskriminasi dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik,
budaya, dan hukum. UUD 45 menyebutkan hak warga negara terkait hak asasi
manusia seperti pengakuan, perlindungan, kepastian hukum, perlakuan yang sama
dihadapan hukum, bekerja, imbalan, dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja. "Pasal 28D ayat (3) UUD 45: Kesempatan yang sama dalam
pemerintahan untuk semua warga negara; normatif masyarakat berkembang waria
yang tidak berperan aktif." Waria stigmatisasi karena dianggap sebagai
orang yang berbeda dalam fisik, gender, dan seksualitas, yang menyimpang dari
norma-norma budaya, hukum, dan agama. Menurut Oetomo, pendapat orang di
Indonesia tentang LGBT dan isme beragam; beberapa dapat menerima sepenuhnya
keberadaan LGBT, seperti aktivis HAM, HIV dan pekerja media sekuler. Sebagian
besar orang di Indonesia dapat menerima orang LGBT, terutama transgender
seperti waria. Ada yang mendukung LGBT, adanya juga yang menentang. Orang
yang menentang biasanya mencampurkan moralitas agamis dan pandangan budaya
yang tidak ilmiah. "Tanggapan negatif atas LGBT terutama laki-laki gay
dan waria muncul berupa ketakutan, kebencian, dan kemarahan."
Transgender adalah orang yang berpenampilan berbeda dengan jenis kelamin
fisiknya, seperti waria. Mereka dapat mengidentifikasi diri sebagai
heteroseksual, homoseksual, atau biseksual. Ada yang aseksual atau perempuan
tomboy. Di beberapa daerah waria diterima, tapi di daerah lain berhadapan
dengan stigma dan diskriminasi seperti gay dan lesbian. Beberapa negara di
Eropa Barat sudah legalisasi pernikahan gay dan lesbian. Negara-negara yang
mengizinkannya: Belanda, Belgia, Spanyol, Kanada, Afrika Selatan, Norwegia,
Swedia, Portugal, Islandia, Argentina, Meksiko, Uruguay, New Zeland dan
Prancis. Fobia pada LGBT disebabkan oleh kurangnya sikap humanis dan tidak
menghormati privasi individu. Ada yang terperangkap dalam penafsiran agama
harfiah, sementara yang lain kurang informasi tentang homoseksualitas. Oleh
karena itu, pemerintah perlu membuat kurikulum pendidikan seksualitas yang
lengkap. |
Metode |
Jurnal
ini menggunakan metode observasi pasif dengan studi pustaka sebagai alat
analisis fenomena. Menurut M. Menurut Nazir (1998), studi kepustakaan adalah
teknik pengumpulan data dengan meneliti buku-buku, literatur, catatan, dan
laporan yang berhubungan dengan masalah yang ingin dipecahkan. Aktivitas ini
tak terpisahkan dari penelitian pada objek tertentu. Teori dan bidang yang
diteliti didapat dari studi kepustakaan dan informasi penelitian sejenis.
Dengan studi kepustakaan, peneliti dapat menggunakan informasi dan pemikiran
relevan dari penelitian sebelumnya. Mempersingkat jurnal ini. |
Hasil |
Kompas
(2015) melaporkan penelitian Arus Pelangi pada 2013 di Jakarta, Yogyakarta,
dan Makassar menemukan 89,3% LGBTIQ mengalami kekerasan verbal, fisik, dan
psikis. 46,3% mengalami kekerasan fisik dan 79,1% mengalami kekerasan psikis.
Kekerasan sering terjadi di sekolah yang seharusnya memberi pemahaman tentang
gender. Kekerasan diskriminatif rentan membuat LGBTIQ mau bunuh diri.
Sebanyak 17,3% LGBTIQ pernah mencoba bunuh diri, 16,4% melakukan percobaan
bunuh diri lebih dari sekali. (sumber: San Fransisco Department of Public
Health study, Ekasari 2011) 83% waria mengalami pelecehan verbal, 37%
mengalami pelecehan seksual/fisik, 46% mengalami diskriminasi di masyarakat,
dan 37% mengalami penolakan di keluarga. Data di atas menunjukkan bahwa
perilaku masyarakat terhadap waria didominasi oleh kekerasan dan penindasan
hak asasi manusia. Menurut penelitian (Umi 2013), masyarakat sekarang lebih
terbuka terhadap waria. Mereka melihat waria dari pribadinya, meskipun
masyarakat sulit menerima kewariaan karena esensialisme, namun mereka mulai
menghargai dan berbaur dengan waria. Afanda (2013) menunjukkan perilaku
negatif yang masih dialami oleh waria sehari-hari, termasuk dikucilkan,
diumpat, dan dilempari batu. Bagaimana waria survive sampai sekarang? Weber
menjelaskan bahwa setiap tindakan individu memiliki tujuan yang rasional,
maka waria mungkin bertindak rasional untuk bertahan hidup. Rasionalitas
instrumental = tindakan rasional yg mempertimbangkan tujuan dan alat.
Individu punya tujuan & tindakan. Waria dibenci tapi bermanfaat.
Keluwesan mereka dalam kecantikan dan mengurus acara pernikahan sangat
berharga bagi masyarakat. Tindakan masyarakat cari maksud menjelaskan
ketergantungan pada waria potensial untuk kepentingan individu, kelompok dan
masyarakat (Kem. Sosial, 2008). Di sini, waria membuka lapangan kerja. Waria
PMKS mengalami gangguan fungsi sosial, seperti tuna susila, gelandangan, dan
pengemis. Menurut penelitian (Latiefa 2013), faktor utama dalam
merekonstruksi identitas adalah faktor ekonomi. Waria yang berhasil
merekonstruksi identitas yang baru umumnya sudah mapan secara ekonomi.
Lamanya waria di pesantren berpengaruh pada penggunaan pesantren untuk
memperjuangkan identitas dalam masyarakat. Orang yang belum mapan secara
ekonomi belum dapat merekonstruksi identitas baru karena fokus pada pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Waria mengalami penolakan dalam berbagai profesi dan
mengurus KTP. Penampilan banci/waria di dunia hiburan trend dan disukai,
bisa jadi penghasilan. Dipopulerkan & ditiru masyarakat, mendorong
pertumbuhan jumlah waria. Meski begitu, stigma waria sebagai kelompok yang
menyimpang atau memiliki kelainan jiwa tetap melekat pada mereka. |
Diskusi |
"Sikap
masyarakat mengucilkan waria karena kurang pengetahuan." Penyebab waria
belum disadari oleh orang tua dan lingkungan sosialnya, meski faktor gen juga
berpengaruh. Masih terdapat perilaku diskriminatif dan melecehkan waria di
masyarakat. Meskipun waria telah diterima oleh sebagian masyarakat, stigma
masih ada. Namun, waria tetap dibutuhkan untuk kecantikan dan dekorasi
pernikahan. Kerja waria lebih memuaskan danfenomena masyarakat yang perlu
dipahami. Strategi konformitas pada waria untuk hindari pelecehan fisik dan
jadi waria potensial melalui program nyata. "Potensi waria dapat
memperbaiki kesejahteraan sosialnya dan memberikan manfaat lebih bagi
masyarakat." Ini adalah sebuah contoh teks panjang yang akan
dipersingkat menjadi bagian yang lebih singkat. |
0 komentar:
Posting Komentar