Meringkasan
Jurnal Psikologi Sosial “Panic Buying pada Pandemi COVID-19: Telaah Literatur
dari Perspektif Psikologi”
Essay III Psikologi Sosial
Dosen Pengampu
Dr. Dra. Arundati Shinta, MA.
Saputri Oktiani
22310410088
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PSIKOLOGI 45 YOGYAKARTA
Topik |
Panic buying pada pandemi COVID-19:
Telaah literatur dari perspektif psikolog
|
Sumber |
Jurnal Psikologi Sosial DOI: 10.7454/jps.2021.15 2021, Vol. 19, No. 02: Special Issue COVID-19, 131-141 DOI: 10.7454/jps.2021.15
|
.Permasalahan |
Beberapa negara melaporkan terjadinya fenomena panic buying sebagai respon dari adanya pandemi ini. Dengan demikian, tidak hanya COVID-19,tetapi panic buying juga menyebar ke seluruh dunia. Mulai dari Singapura hingga Amerika Serikat melaporkan adanya antrian panjang di supermarket selama beberapa minggu akibat dari banyaknya konsumen yang ingin membeli barang-barang seperti beras, hand sanitizer hingga kertas toilet |
Tujuan Penelitian |
definisi panic buying dan perbandingan dengan konstruk psikologi lainnya serta faktor penyebab terjadinya panic buying. |
Isi |
Panic buying menjadi fenomena yang tidak dapat
dihindari selama pandemi COVID-19. Artikel "Panic buying pada pandemi
COVID-19: Telaah literatur dari perspektif psikologi" menyoroti faktor
psikologis yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam melakukan panic buying.
Artikel tersebut mengambil perspektif psikologi dalam mengeksplorasi
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen selama krisis kesehatan
global ini. Pertama-tama, artikel membahas tentang rasa takut dan
kekhawatiran akan kekurangan stok sebagai salah satu faktor utama yang memicu
perilaku panic buying. Selama pandemi, orang khawatir akan kekurangan bahan
makanan dan benda kebutuhan sehari-hari, sehingga membuat mereka membeli
dalam jumlah yang besar dan tidak wajar. Hal ini terjadi karena
ketidakpastian dan ketidakmampuan untuk memprediksi kapan krisis akan
berakhir. Selanjutnya, artikel juga membahas tentang kebutuhan
untuk merasa aman dan terlindungi. Orang merasa bahwa membeli dalam jumlah
besar akan membuat mereka merasa lebih aman dan terlindungi selama krisis.
Ini juga terkait dengan kepercayaan bahwa memiliki lebih banyak stok akan
memberikan ketenangan pikiran dan mengurangi ketidakpastian. Selain itu, persepsi kolektif bahwa panic buying adalah
perilaku yang wajar dilakukan selama krisis juga menjadi faktor psikologis
yang mempengaruhi perilaku konsumen. Ketika orang melihat orang lain
melakukan panic buying, mereka merasa terdorong untuk melakukan hal yang
sama. Ini terkait dengan pengaruh dari kelompok sosial dalam mempengaruhi
perilaku konsumen selama pandemi COVID-19. Media sosial juga mempengaruhi perilaku konsumen selama
pandemi COVID-19. Orang sering mendapat informasi tentang kekurangan stok dan
kepanikan melalui media sosial, yang dapat memicu perilaku panic buying.
Informasi yang tidak akurat atau terlalu dramatis dapat memicu kekhawatiran
yang berlebihan dan membuat orang membeli dalam jumlah yang lebih besar. Dalam rangka mengatasi perilaku panic buying, artikel
menyarankan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang perilaku panic
buying. Ini melibatkan pendidikan dan kampanye yang memberikan informasi yang
akurat tentang stok dan ketersediaan bahan makanan dan barang kebutuhan
lainnya. Selain itu, penting untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya
berbelanja dengan bijak dan tidak merugikan orang lain. Dalam kesimpulannya, artikel tentang panic buying pada
pandemi COVID-19 membahas tentang faktor psikologis yang mempengaruhi
perilaku konsumen selama krisis kesehatan global ini. Perilaku panic buying
dapat dipahami melalui perspektif psikologi dan memperhatikan faktor-faktor
ini dapat membantu merumuskan strategi untuk mengatasi perilaku ini. Melalui
pendidikan dan kampanye yang tepat, konsumen dapat belanja dengan bijak dan
tidak merugikan orang lain selama pandemi COVID-19.
|
Metode |
Artikel ini ditulis menggunakan pendekatan telaah literatur (literature review) yang terdiri dari bagian pendahuluan, metode penelitian, diskusi, dan kesimpulan |
Hasil |
Definisi Panic buying* Kepanikan berbelanja atau yang umumnya diistilahkan sebagai “panic buying” dapat dijelas- kan sebagai perilaku konsumen berupa tindakan orang membeli produk dalam jumlah besar untuk menghindari kekurangan di masa depan *Perbedaan panic buying dan buying frenzies.*Pada bidang ekonomi, dikenal pula istilah buying frenzies. Meskipun kedua istilah ini merupakan perilaku pembelian barang dalam jumlah yang di luar batas kebutuhan normal, tetapi pertimbangan perilaku buying frenzies didasarkan pada diskriminasi harga antar waktu (Courty & Nasiry, 2016). Pada perilaku panic buying lebih didasarkan pada kekhawatiran akan ketersediaan barang di masa depan (Shou dkk.,2011). Buying frenzies membuat orang berani membeli dengan harga yang lebih mahal karena ketidakjelasan penilaian suatu barang (Courty &Nasiry, 2016; Kendall, 2018). *Perbedaan panic buying, impulsive buying, dan compulsive buying.*Istilah lain yang mirip dengan panic buying juga dalam hal perilaku belanja adalah impulsive buying. Perilaku impulsive buying merupakan perilaku pembelian barang dengan sedikit atau tanpa pertimbangan setelah hasil dari dorongan mendadak dan kuat (Amos,Holmes, & Keneson, 2013; Block & Morwitz, 1999).Persamaan antara kedua perilaku ini terletak pada sedikitnya pertimbangan dan merupakan hasil dari dorongan yang mendadak dan kuat. Namun, perbedaannya adalah pada impulsive buying, sedikitnya pertimbangan dan dorongan yang mendadak didasari didorong oleh motif utilitarianistik (kegunaan barang) dan hedonik (bersenang-senang), kontrol diri yang rendah,dan mood positif (Iyer, Blut, Xiao, & Grewal, 2019). *Penjelasan psikologis: Mengapa panic buying terjadi?* terdapat beberapa faktor yang menyebapkan panic buying terjadi yaitu Perilaku Konsumen Ketakutan dan kecemasan Stress Ketidakpastian Paparan Media
|
Diskusi |
(1) membatasi penjualan barang, misal setiap orang boleh membeli dengan jumlah tertentu setiap waktu tertentu (per minggu) dan penerapan besaran harga berkali-kali lipat jika konsumen membeli lebih dari jumlah yang ditentukan; (2) membuat aturan prioritas bagi orang lanjut usia dan anakanak; (3) menguatkan peran otoritas dalam
mengontrol harga, mengatur penyaluran barang, dan menindak
oknum yang merugikan konsumen; (4) menyediakan
pembelian barang secara daring dengan
tetap menerapkan aturan jumlah barang dan
prioritas pembeli; (5) menyebarkan informasi positif,
jelas, terbuka, dan proporsional mengenai ketersediaan barang; (6) menekan penyebaran informasi yang menyesatkan dan palsu
(hoaks).
|
Lampiran :
0 komentar:
Posting Komentar