Panic Buying Yang Terjadi Pada Pandemic
Covid-19 Terhadap Tingkah Laku Masyarakat Terdampak
Irmawati
NIM : 22310410031
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi
45 Yogyakarta
Dosen Pengampu : Dr.,
Dra. ARUNDATI SHINTA MA
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Topik |
Dampak Pandemic Covid-19 Terhadap Psikis Masyarakat |
Sumber |
Muhammad Abdan Shadiqi*, R. H. (2021). Panic buying
pada pandemi COVID-19: Telaah literatur dari. Jurnal Psikologi Sosial,
131-137. |
Permasalahan |
Sejak pandemi COVID-19 menyebar ke seluruh dunia,
terdapat lebih dari 3,9 juta kasus terkonfirmasi di lebih dari 215 negara,
menurut laporan WHO hingga 11 Mei 2020. Fenomena panic buying terjadi di
beberapa negara sebagai respon dari adanya pandemi ini, di mana konsumen
ingin membeli barang-barang seperti beras, hand sanitizer, dan kertas toilet
dalam jumlah yang berlebihan. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia setelah
pengumuman dua orang pertama yang positif terinfeksi COVID-19 pada 2 Maret
2020, di mana beberapa stok barang seperti makanan pokok, hand sanitizer, dan
masker habis diserbu oleh masyarakat di Jakarta dan beberapa kota lainnya. |
Tujuan Penelitian |
·
Menelaah definisi panic
buying beserta perbandingannya dengan istilah lain yang serupa. ·
Menjelaskan faktor
penyebab terjadinya panic buying pada peristiwa wabah penyakit. |
Isi |
·
Menurut kajian
sosiologi, panic buying merupakan bentuk perilaku kolektif yang muncul
tiba-tiba, spontan, dan tidak sesuai norma. Istilah perilaku kolektif merujuk
pada aksi yang bukan aktivitas rutin dan cenderung tidak sesuai dengan norma.
Pada ilmu perilaku, panik dijelaskan sebagai gangguan panik atau serangan
panik yang ditandai dengan serangan yang tiba-tiba dan tidak terduga. Baik
dari pandangan sosiologi maupun psikiatri, panik ditandai dengan ciri
perilaku yang muncul secara tiba-tiba. Kaitannya dengan panic buying pada isu
COVID-19, fenomena ini juga terjadi secara tiba-tiba dan tidak terkontrol. ·
Perbedaan panic buying
dan buying frenzies. Pada bidang ekonomi, dikenal pula istilah buying
frenzies. Meskipun kedua istilah ini merupakan perilaku pembelian barang
dalam jumlah yang di luar batas kebutuhan normal, tetapi pertimbangan
perilaku buying frenzies didasarkan pada diskriminasi harga antar waktu. Pada
fenomena wabah COVID-19, orang-orang membeli masker karena dilanda
kekhawatiran akan habisnya stok masker, ini disebut dengan panic buying.
Sedikit berkebalikan, buying frenzies terjadi karena orang khawatir akan
harga masker yang semakin tidak masuk akal, sehingga membeli secara banyak
dan berani membeli dengan harga berapapun di pasaran. ·
Berbagai factor
penyebab terjadinya panic buying seperti kecemasan dan ketakutan, stress,
ketidakpastian, peran paparan media, dan dinamika psikologi dari perilaku
panic buying. |
Metode |
·
Metode penelitian ini
didasarkan pada penelitian telaah literatur (literature review) dengan
berbagai referensi yang ada. Dengan membandingkan setiap literatur yang ada
pada saat itu penelitian ini mampu menghasilkan riset baru dengan menumbuhkan
pemahaman dengan berbagai teori oleh ilmuwan terkemuka. ·
Metode penelitian ini
pada umumnya dilakukan dengan mengumpulkan, meninjau, dan menganalisis
literatur atau dokumen yang relevan dengan topik penelitian. |
Hasil |
·
Panic buying yang
dilakukan oleh konsumen seringkali mengarah kepada hal-hal negatif seperti
antrian panjang, kehabisan stok dalam jumlah besar, kecemasan yang luar
biasa, hingga akhirnya secara signifikan ber-dampak negatif pada pasar. ·
Implikasi praktis
menghadapi panic buying, yaitu (1) membatasi penjualan barang, misal setiap
orang boleh membeli dengan jumlah tertentu setiap waktu tertentu (per minggu)
dan penerapan besaran harga berkali-kali lipat jika konsumen membeli lebih
dari jumlah yang ditentukan; (2) membuat aturan prioritas bagi orang lanjut
usia dan anakanak; (3) menguatkan peran otoritas dalam mengontrol harga,
mengatur penyaluran barang, dan menindak oknum yang merugikan konsumen; (4)
menyediakan pembelian barang secara daring dengan tetap menerapkan aturan
jumlah barang dan prioritas pembeli; (5) menyebarkan informasi positif,
jelas, terbuka, dan proporsional mengenai ketersediaan barang; (6) menekan
penyebaran informasi yang menyesatkan dan palsu (hoaks). ·
Pemerintah terkait juga
harus mempersiapkan segala kebijakan yang ada untuk menekan masyarakat
terhadap panic buying ini. |
Diskusi |
·
Ciri-ciri khas dari
panic buying adalah perilaku yang tiba-tiba, tidak terkontrol, terjadi pada
banyak orang, terlihat berlebihan, dan disebabkan oleh kekhawatiran. Artikel
ini juga memaparkan faktor penyebab perilaku panic buying, yaitu faktor dari
perilaku konsumen (munculnya persepsi kelangkaan barang), adanya ketakutan,
kecemasan, perasaan tidak aman, konflik psikologis, stres, persepsi
ketidakpastian, dan paparan media. Serta membuat model dinamika psikologi
sosial yang dapat memicu munculnya panic buying menggunakan teori kognitif
sosial ·
Terjadinya panic buying
sendiri adanya kepanikan antar perilaku konsumen terhadap ancaman Pandemic
Tersebut. Dengan adanya survei dari penelitian di Ritel Hungaria terjadi
perubahan perilaku belanja pelanggan yaitu frekuensi belanja, preferensi
toko, pengeluaran dan preferensi produk dan penolakan terhadap barang. Serta
orang – orang di Singapura membeli barang demi menjaga ketersediaan bahan
makanan. Panic buying dapat terjadi karena banyak orang-orang menilai bahwa
ada barang-barang tertentu yang akan langka saat terjadi wabah penyakit. ·
Ketakutan atau
kepanikan merupakan bentuk emosi dasar yang mengaktivasi respon
‘fight-or-flight’ yang memungkinkan individu merespon dengan cepat ketika
menghadapi suatu bahaya. Panic buying dapat dipahami sebagai bentuk mekanisme
bertahan hidup atau insting hidup yang membuat masyarakat takut mati, yang
mana mereka melakukan hal tersebut sebagai usaha melindungi dan
mempertahankan diri. Adanya tingkah laku seperti ini menimbulkan kekurangan
pasokan dan gangguan sosial. Kecamasan ini juga akan menimbulkan kepanikan,
kepanikan tidak akan terjadi bila masyarakat berpikiran rasional. ·
Pada kasus COVID-19,
perilaku panic buying terjadi karena orang-orang mengalami konflik psikologi,
antara keinginan untuk tetap aman dengan keinginan untuk hidup secara normal
dan menyenangkan. Perasaan tidak aman, terlihat sangat berkaitan dengan
ketakutan. Dengan demikian adanya tingkah laku ini factor terjadinya panic
buying adalah adanya ketakutan, kecemasan, perasaan tidak aman. ·
Ketidakpastian terhadap
informasi pada saat itu yang membuat ambigu masyarakat, dengan mudah
dikombinasikan dengan sebuah ancaman yang tidak terlihat oleh panca indera
seperti virus. Ketakutan dan kekhawatiran semakin memperburuk penyebaran
informasi yang salah. Panik muncul saat individu berpikir bahwa ada informasi
yang disembunyikan atau hanya sebagian diungkapkan terkait wabah, karena
ketakutan akan hal yang tidak diketahui sering memicu kecemasan dan reaksi
panik. ·
Kurangnya informasi
akibat tidak mengetahui maupun akibat kurangnya efektivitas komunikasi
menyebabkan munculnya ambiguitas yang dapat menyebabkan penilaian terhadap
suatu ancaman meningkat dan kepanikan muncul saat krisis Kesehatan. Kurangnya
informasi akibat tidak mengetahui maupun akibat kurangnya efektivitas
komunikasi menyebabkan munculnya ambiguitas yang dapat menyebabkan penilaian
terhadap suatu ancaman meningkat dan kepanikan muncul saat krisis Kesehatan. Perilaku
semacam ini khasnya adalah apa yang disebut dengan “following the crowd” atau
“going with the flow”. Masyarakat saling berkomunikasi dengan tetangganya dan
akan condong mengadopsi pendapat yang mengkhawatirkan daripada pendapat yang
menenangkan. |
0 komentar:
Posting Komentar