Senin, 01 Mei 2023

MERINGKAS JURNAL

 

Panic Buying Yang Terjadi Pada Pandemic Covid-19 Terhadap Tingkah Laku Masyarakat Terdampak

Irmawati

NIM : 22310410031

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Dosen Pengampu : Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA MA

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

 

Topik

Dampak Pandemic Covid-19 Terhadap Psikis Masyarakat

Sumber

 

Muhammad Abdan Shadiqi*, R. H. (2021). Panic buying pada pandemi COVID-19: Telaah literatur dari. Jurnal Psikologi Sosial, 131-137.

 

Permasalahan

Sejak pandemi COVID-19 menyebar ke seluruh dunia, terdapat lebih dari 3,9 juta kasus terkonfirmasi di lebih dari 215 negara, menurut laporan WHO hingga 11 Mei 2020. Fenomena panic buying terjadi di beberapa negara sebagai respon dari adanya pandemi ini, di mana konsumen ingin membeli barang-barang seperti beras, hand sanitizer, dan kertas toilet dalam jumlah yang berlebihan. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia setelah pengumuman dua orang pertama yang positif terinfeksi COVID-19 pada 2 Maret 2020, di mana beberapa stok barang seperti makanan pokok, hand sanitizer, dan masker habis diserbu oleh masyarakat di Jakarta dan beberapa kota lainnya.

Tujuan Penelitian

·       Menelaah definisi panic buying beserta perbandingannya dengan istilah lain yang serupa.

·       Menjelaskan faktor penyebab terjadinya panic buying pada peristiwa wabah penyakit.

Isi

·       Menurut kajian sosiologi, panic buying merupakan bentuk perilaku kolektif yang muncul tiba-tiba, spontan, dan tidak sesuai norma. Istilah perilaku kolektif merujuk pada aksi yang bukan aktivitas rutin dan cenderung tidak sesuai dengan norma. Pada ilmu perilaku, panik dijelaskan sebagai gangguan panik atau serangan panik yang ditandai dengan serangan yang tiba-tiba dan tidak terduga. Baik dari pandangan sosiologi maupun psikiatri, panik ditandai dengan ciri perilaku yang muncul secara tiba-tiba. Kaitannya dengan panic buying pada isu COVID-19, fenomena ini juga terjadi secara tiba-tiba dan tidak terkontrol.

·       Perbedaan panic buying dan buying frenzies. Pada bidang ekonomi, dikenal pula istilah buying frenzies. Meskipun kedua istilah ini merupakan perilaku pembelian barang dalam jumlah yang di luar batas kebutuhan normal, tetapi pertimbangan perilaku buying frenzies didasarkan pada diskriminasi harga antar waktu. Pada fenomena wabah COVID-19, orang-orang membeli masker karena dilanda kekhawatiran akan habisnya stok masker, ini disebut dengan panic buying. Sedikit berkebalikan, buying frenzies terjadi karena orang khawatir akan harga masker yang semakin tidak masuk akal, sehingga membeli secara banyak dan berani membeli dengan harga berapapun di pasaran.

·       Berbagai factor penyebab terjadinya panic buying seperti kecemasan dan ketakutan, stress, ketidakpastian, peran paparan media, dan dinamika psikologi dari perilaku panic buying.

Metode

·       Metode penelitian ini didasarkan pada penelitian telaah literatur (literature review) dengan berbagai referensi yang ada. Dengan membandingkan setiap literatur yang ada pada saat itu penelitian ini mampu menghasilkan riset baru dengan menumbuhkan pemahaman dengan berbagai teori oleh ilmuwan terkemuka.

·       Metode penelitian ini pada umumnya dilakukan dengan mengumpulkan, meninjau, dan menganalisis literatur atau dokumen yang relevan dengan topik penelitian.

Hasil

·       Panic buying yang dilakukan oleh konsumen seringkali mengarah kepada hal-hal negatif seperti antrian panjang, kehabisan stok dalam jumlah besar, kecemasan yang luar biasa, hingga akhirnya secara signifikan ber-dampak negatif pada pasar.

·       Implikasi praktis menghadapi panic buying, yaitu (1) membatasi penjualan barang, misal setiap orang boleh membeli dengan jumlah tertentu setiap waktu tertentu (per minggu) dan penerapan besaran harga berkali-kali lipat jika konsumen membeli lebih dari jumlah yang ditentukan; (2) membuat aturan prioritas bagi orang lanjut usia dan anakanak; (3) menguatkan peran otoritas dalam mengontrol harga, mengatur penyaluran barang, dan menindak oknum yang merugikan konsumen; (4) menyediakan pembelian barang secara daring dengan tetap menerapkan aturan jumlah barang dan prioritas pembeli; (5) menyebarkan informasi positif, jelas, terbuka, dan proporsional mengenai ketersediaan barang; (6) menekan penyebaran informasi yang menyesatkan dan palsu (hoaks).

·       Pemerintah terkait juga harus mempersiapkan segala kebijakan yang ada untuk menekan masyarakat terhadap panic buying ini.

Diskusi

·       Ciri-ciri khas dari panic buying adalah perilaku yang tiba-tiba, tidak terkontrol, terjadi pada banyak orang, terlihat berlebihan, dan disebabkan oleh kekhawatiran. Artikel ini juga memaparkan faktor penyebab perilaku panic buying, yaitu faktor dari perilaku konsumen (munculnya persepsi kelangkaan barang), adanya ketakutan, kecemasan, perasaan tidak aman, konflik psikologis, stres, persepsi ketidakpastian, dan paparan media. Serta membuat model dinamika psikologi sosial yang dapat memicu munculnya panic buying menggunakan teori kognitif sosial

·       Terjadinya panic buying sendiri adanya kepanikan antar perilaku konsumen terhadap ancaman Pandemic Tersebut. Dengan adanya survei dari penelitian di Ritel Hungaria terjadi perubahan perilaku belanja pelanggan yaitu frekuensi belanja, preferensi toko, pengeluaran dan preferensi produk dan penolakan terhadap barang. Serta orang – orang di Singapura membeli barang demi menjaga ketersediaan bahan makanan. Panic buying dapat terjadi karena banyak orang-orang menilai bahwa ada barang-barang tertentu yang akan langka saat terjadi wabah penyakit.

·       Ketakutan atau kepanikan merupakan bentuk emosi dasar yang mengaktivasi respon ‘fight-or-flight’ yang memungkinkan individu merespon dengan cepat ketika menghadapi suatu bahaya. Panic buying dapat dipahami sebagai bentuk mekanisme bertahan hidup atau insting hidup yang membuat masyarakat takut mati, yang mana mereka melakukan hal tersebut sebagai usaha melindungi dan mempertahankan diri. Adanya tingkah laku seperti ini menimbulkan kekurangan pasokan dan gangguan sosial. Kecamasan ini juga akan menimbulkan kepanikan, kepanikan tidak akan terjadi bila masyarakat berpikiran rasional.

·       Pada kasus COVID-19, perilaku panic buying terjadi karena orang-orang mengalami konflik psikologi, antara keinginan untuk tetap aman dengan keinginan untuk hidup secara normal dan menyenangkan. Perasaan tidak aman, terlihat sangat berkaitan dengan ketakutan. Dengan demikian adanya tingkah laku ini factor terjadinya panic buying adalah adanya ketakutan, kecemasan, perasaan tidak aman.

·       Ketidakpastian terhadap informasi pada saat itu yang membuat ambigu masyarakat, dengan mudah dikombinasikan dengan sebuah ancaman yang tidak terlihat oleh panca indera seperti virus. Ketakutan dan kekhawatiran semakin memperburuk penyebaran informasi yang salah. Panik muncul saat individu berpikir bahwa ada informasi yang disembunyikan atau hanya sebagian diungkapkan terkait wabah, karena ketakutan akan hal yang tidak diketahui sering memicu kecemasan dan reaksi panik.

·       Kurangnya informasi akibat tidak mengetahui maupun akibat kurangnya efektivitas komunikasi menyebabkan munculnya ambiguitas yang dapat menyebabkan penilaian terhadap suatu ancaman meningkat dan kepanikan muncul saat krisis Kesehatan. Kurangnya informasi akibat tidak mengetahui maupun akibat kurangnya efektivitas komunikasi menyebabkan munculnya ambiguitas yang dapat menyebabkan penilaian terhadap suatu ancaman meningkat dan kepanikan muncul saat krisis Kesehatan. Perilaku semacam ini khasnya adalah apa yang disebut dengan “following the crowd” atau “going with the flow”. Masyarakat saling berkomunikasi dengan tetangganya dan akan condong mengadopsi pendapat yang mengkhawatirkan daripada pendapat yang menenangkan.

 

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar