Kasus Kekerasan Pada Anak di Bawah
Umur Jakarta Internasional School (JIS)
Tugas
Individu Psikologi Abnormalitas
Dosen Pengampu: FX. Wahyu Widiatoro, S.Psi., MA
Dhika
Putra Utama
22310420043
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Kasus
Jakarta International School (JIS) menyita banyak perhatian pada pertengahan
tahun 2014. Kasus ini merupakan salah satu dari sekian banyak kasus kekerasan
seksual terhadap anak yang terjadi di Indonesia. Kasus kekerasan seksual
terjadi di lingkungan sekolah, sebuah institusi yang seharusnya dipercaya oleh
orang tua sebagai tempat belajar anak namun seolah menjadi neraka bagi anak.
Peristiwa
JIS terjadi di salah satu fasilitas pendidikan kelas dunia, cukup membuat
banyak orang bertanya-tanya mengapa peristiwa kekerasan seksual bisa terjadi di
sekolah tersebut. Dan sangat disayangkan kasus kekerasan seksual ini baru
terungkap kini. Faktanya, kekerasan seksual terhadap anak mempunyai dampak
psikologis yang cukup parah dan kemudian akan mempengaruhi perilaku, kepribadian
bahkan preferensi seksual korban kekerasan seksual.
Kasus
pencabulan JIS awalnya terungkap dari orang tua siswa yang melaporkan bahwa
anaknya menjadi korban pencabulan.
Belakangan terungkap, pelaku peristiwa kekerasan seksual JIS melibatkan 12
orang guru JIS dan petugas kebersihan. Informasi yang ada menunjukkan, selain
melakukan tindak kekerasan seksual terhadap anak, pelaku juga merupakan seorang
homoseksual yang mempunyai hubungan istimewa dengan salah satu pelaku lain yang
juga melakukan tindak kekerasan seksual terhadap anak di JIS.
Dari
hasil pemeriksaan, pelaku pernah menjalin hubungan asmara dengan pria yang juga
pelaku kekerasan seksual di JIS dan kerap menjalin hubungan intim berupa sodomi
dengan orang tersebut. Selain itu, pelaku diketahui juga merupakan korban pelecehan seksual saat masih
anak-anak.
Analisis
kasus diatas adalah, pedofilia dalam diagnosis multiaksial termasuk dalam Axis
II yang termasuk dalam gangguan kepribadian dan perilaku pada masa dewasa.
Dalam kasus Jakarta International School (JIS), pelaku kekerasan seksual
terhadap anak dapat digolongkan sebagai pedofil dan sebagian pelaku juga
merupakan kaum gay.
Dilihat dari pemaparan latar belakang salah
satu pelaku kekerasan seksual JIS, maka akan terlihat pola perilaku menyimpang
yang dilakukan pelaku. Pelaku yang sebenarnya mengalami pelecehan seksual saat
masih anak-anak cenderung melakukan hal yang sama seperti orang dewasa.
Berdasarkan panduan diagnosis, pelaku memiliki
ketertarikan seksual terhadap anak-anak, mulai dari usia praremaja hingga
pubertas dini. Hal tersebut kerap dilakukan pelaku secara berulang-ulang dan
terus-menerus, karena selain korban anak-anak, pelaku juga memiliki preferensi
terhadap pasangan yang sudah dewasa, khususnya rekan kerja yang bekerja di JIS.
Jika pelaku tergolong pedofil homoseksual
karena memiliki riwayat homoseksualitas dan memiliki preferensi seksual
terhadap anak laki-laki. Pelaku mungkin pernah mengalami pengalaman seksual traumatis yang tidak menyenangkan
pada masa kanak-kanak, seperti dalam teori psikodinamik yang menekankan
bagaimana pengalaman masa kanak-kanak dapat mempengaruhi perilaku orang di masa
dewasa melalui pola-pola yang tidak disadari.
Pengalaman seksual yang tidak menyenangkan
atau traumatis yang terjadi pada masa kanak-kanak ditekan ke dalam pola yang
tidak disadari. Adanya peristiwa yang tidak menyenangkan seperti pelecehan
seksual yang dilakukan oleh orang dewasa pada masa kanak-kanak seorang pedofil
menimbulkan persepsi yang salah bahwa berhubungan seks dengan orang yang
seumuran atau dengan orang yang lebih dewasa adalah hal yang menakutkan.
Oleh karena itu, para pedofil menularkan
pengalaman seksualnya kepada anak-anak. pengarang. Pelaku yang sebenarnya
mengalami pelecehan seksual saat masih anak-anak cenderung melakukan hal yang
sama seperti orang dewasa. Berdasarkan panduan diagnosis, pelaku memiliki
ketertarikan seksual terhadap anak-anak, mulai dari usia praremaja hingga
pubertas dini.
Hal tersebut kerap dilakukan pelaku secara
berulang-ulang dan terus-menerus, karena selain korban anak-anak, pelaku juga
memiliki preferensi terhadap pasangan yang sudah dewasa, khususnya rekan kerja
yang bekerja di JIS.
Jika pelaku tergolong pedofil homoseksual
karena memiliki riwayat homoseksualitas dan memiliki preferensi seksual
terhadap anak laki-laki. Pelaku mungkin pernah mengalami pengalaman seksual traumatis yang tidak menyenangkan
pada masa kanak-kanak, seperti dalam teori psikodinamik yang menekankan
bagaimana pengalaman masa kanak-kanak dapat mempengaruhi perilaku orang di masa
dewasa melalui pola-pola yang tidak disadari.
Pengalaman seksual yang tidak menyenangkan
atau traumatis yang terjadi pada masa kanak-kanak ditekan ke dalam pola yang
tidak disadari. Adanya peristiwa yang tidak menyenangkan, seperti pelecehan
seksual yang dilakukan oleh orang dewasa pada masa kecil seorang pedofil,
menimbulkan persepsi yang salah bahwa berhubungan seks dengan orang yang
seumuran atau dengan orang yang lebih tua adalah hal yang menakutkan.
Oleh karena itu, para pedofil menularkan
pengalaman seksualnya kepada anak-anak. Dalam kasus JIS, pelaku terlihat pernah
mengalami pelecehan seksual saat masih anak-anak yang merupakan stimulus yang
tidak menyenangkan, namun seiring pola respon orang tersebut beradaptasi dengan
situasi, pelaku berusaha 'menerima stimulus yang ada dan kesadarannya'. sebagai
stimulus netral.
Pada akhirnya, hal inilah yang membentuk
semacam pemahaman bahwa perilaku seksual yang pantas menurut pelaku adalah
perilaku seksual dengan sesama jenis dan paling baik dilakukan pada anak-anak.
Selain
itu, hal ini juga dapat dijelaskan oleh dampak peristiwa yang tidak
menyenangkan seperti pelecehan seksual pada masa kecil sang pedofil, sehingga
membuatnya menganggap aktivitas seksual itu menyenangkan untuk dilakukan dengan
anak kecil. Selain itu, harga diri yang rendah menyebabkan para pedofil mencari
karakter yang lebih lemah, khususnya anak-anak pra-puber.







0 komentar:
Posting Komentar